Jumat, 14 Desember 2018

Surat untuk Cinta #9 (Kangen Cinta)



Menjelang pagi...
Harus aku mulai darimana...
Baiklah, begini saja. Aku mulai dari melihat foto-foto bunga angsana kuning. Kau tahu itu mengingatkan kita dengan apa?

Aku tahu kau pasti akan menjawab cepat-cepat. Yes, itu adalah pohon yang ada di kampus kita. Sudah berapa tahun kita tak menengok kesana lagi?

Aku pikir, sekarang memang sedang musim semi. Setidaknya bagi bunga yang memberi banyak kenangan pada tempat yang mempertemukan kita. Angsana. Dulu aku tak sempat memikirkan namanya. Hanya warnanya. Kuning, dan hampir menyelimuti jalan-jalan di kampus. Kita memang beda fakultas, tetapi bertetangga.

Aku lebih beruntung karena bisa sering menikmati hutan. Tempat dimana pohon-pohon angsana menemukan rumahnya. Mungkin sama sepertiku. Telah menemukan rumah. Itu kamu, ada di kamu, Cinta.

Sebuah tempat berkumpulnya mimpi-mimpi. Melepas lelah, mendulang peluh, menikmati pagi dengan secangkir madu hangat. Mulai membiasakan makan sambal terasi. Hingga sudah mulai bosan mengunyah bandeng presto. Itulah rumah.

Ada waktu berkumpul, ada saatnya berangkat kerja. Bercengkerama dengan anak-anak. Menemani mereka belajar. Mendiskusikan sesuatu denganmu saat anak-anak sudah tidur. Kecupan selamat malam. Itulah rumah.

Ia sebuah ruang dan waktu untuk kembali, pulang...

Dulu, kau pernah bertanya. Pernahkah aku rindu? Sejujurnya, aku lebih rindu anak-anak, jawabku. Dan itu memang benar. Seolah memang anak-anak menjadi penawar baru bagi kita. Coba saja sehari dua hari tidak bersama mereka. Kalau aku bertanya, apakah kau rindu aku, itu sebuah pertanyaan retoris. Kau akan jawab, lebih rindu anak-anak. Itulah kita, Cinta.

Keberadaan mereka tak merenggutmu darimu, atau sebaliknya. Mereka menyatukan. Mereka rumah-rumah yang mungil. Mereka melengkapimu menjadi rumah paling nyaman untuk pulang.

Kau pasti bertanya, kapan aku bisa rindu lagi. Mungkin saat aku menulis surat inilah waktu yang paling pas. Aku kangen, Cinta. Sudah berapa purnama, aku lupa. Beruntungnya aku, memilikimu. Syukuri, dan terus memuji.

Ini hanya surat ringkas, bukan pungkas. Rindu, tak disangka-sangka. Ia ada, memang seharusnya ada. Entah dimana selama ini. Aku memang tak menemukanmu seperti yang pernah kulihat sepuluh tahun lalu. Tapi itulah kita, terus bergerak. Memang harus bergerak, bahkan kalaupun harus merangkak. Ingatkah dengan cerita tentang cicak dan nyamuk. Mereka juga bergerak.

Apapun itu, aku rindu. Setidaknya saat ini, sampai hari sudah semanis senja bagi malam. Aku belum bisa memejamkan mata. Sudah cukup surat ini, Cinta. Aku hanya ingin mengatakan. Aku kangen, Cinta. Itu saja.

Jakarta, 15 Desember 2018

*foto dari https://www.idntimes.com/life/education/jcnd/hal-hal-ini-akan-kamu-rasakan-ketika-menjadi-alumni-kampus-kentingan-uns-c1c2/full

Senin, 03 April 2017

Menanti Surat-Surat Tan Malaka dari Moskow

Tan Malaka sudah lama tak ada. Konon ia gugur dieksekusi di suatu tempat di Kediri, Jawa Timur. Makamnya pun baru ditemukan beberapa tahun belakangan. Baru-baru ini, upacara adat dilakukan untuk memulangkan Tan Malaka ke tanah kelahirannyam Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Sebuah makam yang sudah diidentifikasi sebagai makam Tan Malaka ditemukan di Desa Selopanggung, Kediri. Ia memang telah lama gugur, namun, namanya terus menggema sebagai Bapak Republik Indonesia. Sebab, dialah sosok yang pertama kali mengenalkan Republik Indonesia, jauh sebelum Soekarno maupun Mohammad Hatta mengucapkan Republik Indonesia.

Peneliti Tan Malaka dari Belanda, Harry A. Poeze menuturkan, masih ada jejak-jejak autentik dari Tan Malaka. Jejak itu ada pada puluhan surat yang saat ini berada di Moskow, Rusia. Wajar kalau Tan Malaka menulis surat yang ditujukan ke Moskow. Saat aktif sebagai anggota PKI, Tan Malaka merupakan tokoh penting PKI di Indonesia. Dia menjadi perwakilan Indonesia dalam konferensi Partai Komunis dunia di Moskow.

Dalam posisinya, Tan Malaka punya tugas untuk selalu memberi laporan pada Komitern Partai Komunis di Moskow. Surat-surat itulah yang menjadi laporan Tan Malaka pada Komitern Partai Komunis. “Ada puluhan surat Tan Malaka dimana dia melaporkan untuk mewujudkan tugas Komitern Partai Komunis,” tutur Poeze dalam sebuah kesempatan di Jakarta beberapa waktu lalu.

Surat-surat itu hingga kini masih tersimpan rapi di pemerintahan Rusia. Tepatnya di Moskow, dimana kota itu menjadi pusat kegiatan Partai Komunis dunia saat itu. “Surat-surat itu asli dan ditandatangani dengan tulisan tangan,” ungkap Poeze.

Surat yang ditulis tangan oleh Tan Malaka ini menggunakan berbagai bahasa. Selain bahwa Inggris, juga menggunakan bahasa Melayu maupun Mandarin. Bahasa, bagi Tan Malaka bukan masalah. Sebelum melakoni hidup dalam kejaran polisi rahasia Hindia Belanda, Amerika, dan Jepang, dia sudah menguasai berbagai bahasa. Masa 20 tahun dalam pelarian di berbagai negara semakin mematangkannya dalam berkomunikasi dengan siapapun.

Kini, surat-surat itu siap untuk diterbitkan. Poeze berharap dapat segera menyelesaikan proyek besar untuk meneliti surat-surat Tan Malaka. Setelah merampungkan proyek mengenal karakter Tan Malaka dan membaginya dalam 14 karakter utama, Poeze berniat menuntaskan penelitiannya pada surat-surat Tan Malaka.

“Saya harap, saya masih punya waktu untuk meneliti surat-surat itu,” kata dia.

Tan Malaka tak bernasib mujur seperti mereka yang menikmati kekuasaan pasca kemerdekaan. Sosok yang pertama mengenalkan Republik Indonesia ini harus meregang nyawa di tangan negara yang selama hidupnya ia perjuangkan. Nasib Tan Malaka memang tak sejalan dengan ide dan gagasannya tentang Indonesia. Sebagian besar ide dan gagasannya berhasil ia tuangkan dalam bentuk buku. Surat yang ditujukannya ke Moskow menjadi bahan baru mengenal ide dan pemikiran tokoh yang disebut Poeze sebagai pemikir Islam.

“Dalam pemikiran Barat, Tan Malaka disebut sebagai orang Islam tulen dan harus ditafsirkan sebagai pemikir Islam,” kata Poeze saat membedah pemikiran Tan Malaka.

Menurut Poeze, Tan Malaka menegaskan pentingnya Islam di Indonesia. Dia juga menjadi sosok yang berani mengutarakan ide bahwa Islam mewakili salah satu pemikiran revolusi dan harus didukung saat konferensi Partai Komunis di Moskow.

#tulisan ini pernah dipublikasikan di Republika => http://www.republika.co.id/berita/selarung/breaking-history/17/04/03/ontx5j361-menanti-suratsurat-tan-malaka-dari-moskow

Minggu, 02 April 2017

Bola itu (masih) Bundar

‘Bola itu bundar.’
Itulah kalimat yang sering diucapkan untuk pertandingan sepakbola. Bola memang bundar, belum pernah menjadi bentuk lain. Namun, ada kiasan tersendiri dari arti kalimat itu. Segala sesuatu bisa terjadi selama bola terus bergulir di lapangan. Itulah pesan yang ingin disampaikan bola berbentuk bundar.
Pesan itu banal sekaligus dalam. Bola menyimpan rahasianya sendiri dari ribuan pertanyaan nasib dua klub yang saling menghabisi. Waktu kurang lebih 90 menit menjadi pertanyaan, siapa tim pemenang. Rahasia itu akan tersimpan, selama bola terus bergulir. Dari kaki ke kaki, kadang melambung ke masing-masing pertahanan tim lawan. Gambaran itu akan selesai setelah pengadil lapangan meniup peluit panjang. Laga berakhir, rahasia terbongkar. Siapa yang layak jadi pemenang.
Hal itulah yang dua pekan ini kita saksikan. Sepakbola membuktikan dirinya sendiri. Bola tetap bundar, terkadang menempatkan satu sisi di atas, lainnya di bawah. Di lain kesempatan, keadaan bisa berbalik. Terkadang, keajaiban bisa muncul tiba-tiba, hanya dalam waktu delapan menit. Itulah yang terjadi dalam drama tujuh gol laga klub La Liga Barcelona saat menjamu wakil Ligue 1 Prancis, Paris Saint Germain (PSG), Kamis (9/3) kemarin.
Barcelona yang tertinggal agregat empat gol dari PSG harus yakin bola masih berbentuk bundar. Apapun bisa terjadi saat mereka melakoni laga leg kedua di Spanyol. Kemudian, keajaiban benar-benar terjadi. Lionel Messi, Neymar, Suarez dan Sergi Roberto menjadi aktor penyingkap tabir rahasia di laga itu. Mereka membuat keajaiban dengan membalikkan keadaan setelah menang 6-1 dari Les Parisiens. Barcelona membuktikan bola itu masih bundar. Mereka menyingkirkan PSG yang sudah selangkah lagi lolos ke perempat final Liga Champions Eropa.
“Kemenangan ini didedikasikan untuk mereka (yang tak percaya) kami bukan Harlem Globe Trotters, ini sepakbola,” tutur Enrique dikutip dari Marca usai pertandingan untuk membungkam mereka yang meragukan Barcelona, dan bola itu bundar tentunya.
Di Tanah Air, laga yang hampir mirip juga terjadi pada Piala Presiden 2017. Tim asal Kota Malang, Arema Cronus harus mengejar defisit satu gol pada laga leg pertama saat bertandang ke markas Semen Padang. Alih-alih mencetak gol sejak awal laga di leg kedua, Singo Edan justru kebobolan dua gol di Stadion Kanjuruhan, Malang. Namun, sekali lagi, bola itu bundar. Selama wasit belum meniup peluit akhir, rahasia di lapangan tak terbuka.
Striker gaek, Cristian ‘El Loco’ Gonzalez menuntaskan penasaran publik sepakbola Tanah Air. Lima gol yang bersarang ke gawang Kabau Sirah dari pemain berjuluk Si Gila ini jadi bait-bait panjang penantian hasil akhir pertandingan. Arema memastikan diri melaju ke babak final Piala Presiden untuk menantang Pusamania Borneo.
Itulah sepakbola. Ia selalu menyimpan rahasianya sendiri. Menyingkap tabir hasil akhir setelah laga dinyatakan tuntas. Rahasia dalam sepakbola, hanya pemain dan pelatih yang harus mencari pertanyaan dan jawabannya sendiri. Hasil akhir ditentukan oleh 22 pemain yang bertanding di lapangan. Rahasia dalam sepakbola ini mengingatkan pada salah satu sajak milik Hasan Aspahani dalam buku kumpulan puisi Pena sudah Diangkat, Kertas sudah Mengering. Aspahani menyuratkan puisi berjudul ‘Rahasia Laut, Rahasia Angin’ di halaman 56 untuk menggambarkan sebuah tabir yang belum tersingkap:
Ada rahasia laut dan angin, Nak, yang
harus engkau temukan sendiri pertanyaannya
dan mesti engkau cari sendiri jawabannya


#tulisan ini pernah dimuat di Harian Republika edisi 11 Maret 2017