Senin, 07 Mei 2012

“Dead Zoo”

Saat menginjakkan kaki pertama di Surabaya sekitar satu bulan yang lalu, hal yang saya ingat adalah saya melewati sebuah kebun binatang. Letaknya, yang membuat saya heran, adalah di wilayah kota yang padat. Saya, masuk ke kota Surabaya dari arah Gresik, lantas jalan yang saya lewati waktu itu adalah Jalan Diponegoro. Kebun binatang itu terletak diantara banyak jalan, jalan Diponegoro, Jalan Raya Darmo, jalan Raya Wonokromo, jalan Joyoboyo, jalan Aditya Warman, dan jalan Ciliwung. Alhasil, posisi kebun binatang itu sangat strategis. Pertama kali berhenti di lampu merah depannya dari jalan DIponegoro, saya langsung mengenali tempat itu adalah kebun binatang, karena papan nama yang terpasang di atasnya jelas bertuliskan ‘Kebun Binatang Surabaya’ dengan gambar berbagai binatang sebagai ‘background’nya.

Lalu, setelah beberapa hari tinggal di Surabaya, ternyata kebun binatang yang disingkat KBS tersebut saat ini tengah mengalami masalah. Masalahnya sangat kompleks, kata salah satu teman saya saat kami berbincang di gedung Negara Grahadi. Masalah itu meliputi konflik karyawan dengan pihak manajemen, lalu pengelolaan KBS, banyaknya satwa yang mati, dan juga pencabutan izin konservasi dari pemerintah. Lantas, berbekal sedikit informasi, saya memberanikan diri kesana dan mulai menggali informasi. Selanjutnya, apa yang saya temukan disana, sangat erat kaitannya dengan sebutan yang melekat dengan kebun binatang itu setelahnya.

Saya datang kesana bersama salah seorang teman saya. Sebelum masuk, saya melihat banyak orang berseragam sedang duduk-duduk di luar KBS. Apa yang mereka lakukan, waktu itu saya masih tidak terlalu peduli. Ternyata, apa yang saya lihat waktu itu, bahkan hingga saat ini adalah efek dari masalah di KBS yang sangat kompleks tadi. Mereka adalah korban dari konflik manajemen. Akibatnya, mereka yang seharusnya telah diangkat dengan Surat Keputusan dari manajemen lama, kembali menelan pil pahit karena SK manajemen lama tidak diakui oleh manajemen baru. Lantas nasib mereka menjadi terkatung-katung yang akhirnya membuat mereka dipecat oleh pihak manajemen baru. Jumlah mereka tak sedikit, 30 orang.

Menurut salah seorang karyawan yang diPHK sepihak itu, Dinas Tenaga Kerja bahkan sudah menghimbau pihak manajemen baru untuk mempekerjakan mereka lagi, dan membayar seluruh gaji bulan yang telah dilewati. Namun, putusan melalui pengadilan tersebut tak digubris. Pihak manajemen malah mengajukan kasasi ke tingkat Mahkamah Agung. Hingga saat ini, nasib ke-30 karyawan KBS sangat menyedihkan. Mereka kehilangan sumber penghasilan, di sisi lain, mereka memiliki beban tanggungan keluarga. Saat saya mencoba mengklarifikasi masalah tersebut kepada pihak manajemen melalui Public Relationnya, dia menolak berkomentar dan menyerahkan masalah tersebut pada pihak Human Resource Development. Lantas, saat saya mencoba mengklarifikasi ke pihak HRD, tidak ada tanggapan sama sekali. Kesimpulan umum saya, memang terjadi masalah dalam lingkup kebun binatang yang menjadi andalan masyrakat jawa Timur tersebut.

Tak hanya itu, ketika masuk ke dalam KBS, hal pertama yang saya tangkap adalah sepi. Ya, ternyata hewan yang ada di KBS tidak selengkap nama besarnya. Apa yang saya lihat disana tak lebih baik daripada kebun binatang andalan masyarakat Yogyakarta Kebun binatang ‘Gembira Loka’. Selain sepi, kondisi satwanyapun terbilang menyedihkan. Ada satwa yang dalam satu kandang disesaki oleh satu jenis spesiesnya, namun tak jarang saya dapati satwa yang hanya sendirian tanpa pasangan. Bahkan, saya mendapat informasi bahwa satwa di KBS sudah banyak yang mati. Hal itu membuat saya lebih miris lagi dengan kondisi KBS. Kabar terakhir yang saya dapat, seekor jerapah dan Celeng Goteng mati. Jika Jerapah mati karena didalam perutnya terdapat 20 kilogram benda asing seperti plastic yang tak bisa dicerna, Celeng Goteng malah mati akibat racun Sianida.

Lantas, predikat ‘Dead Zoo’ KBS tidak berhenti disana. Karena masih banyak satwa yang hingga hari ini mati. Terakhir, seekor ikan terbesar air tawar Aipama juga ditemukan mati. Dari data yang saya dapatkan dari humas KBS, angka kematian satwa di KBS berkisar 50an setiap bulan. Bukankah itu aneh?! Menurut saya, sangat layak jika izin KBS sebagai wahana konservasi satwa dicabut oleh pemerintah. Karena manajemen KBS tidak mampu mengelola kekayaan fauna langka di Indonesia. Menurut humas KBS, satwa yang mati dari berbagai jenis, yang paling banyak didominasi oleh burung dan mamalia. Akibatnya, predikat ‘Dead Zoo’ memang layak jika disematkan pada kebun binatang kebanggaan Jawa Timur ini. Bahkan anak sekolah dasar di Surabayapun telah memiliki persepsi bahwa KBS merupakan ‘Dead Zoo’.

Bagaimana penyelesaiannya? Harus melibatkan keseriusan pihak terkait. Permasalahan antara manajemen dan karyawan juga menjadi pemicu bagaimana pengelolaan KBS tidak diurusi secara benar. Pasalnya, akibat kebijakan manajemen baru, berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari mantan karyawan, ada seorang pawang gajah yang sudah ahli dan bersertifikasi justru dipindah menjadi security. Bukankah itu hal yang ironis? Atau justru masalah ini sangat politis?! Kita belum mampu melihat faktanya. Yang perlu kita pikirkan di sini, ada seekor Bison di KBS yang saat ini sedang sekarat. Bahkan untuk berjalan saja bukan lagi melihat dengan mata, tapi sudah menggunakan instingnya karena kedua matanya buta. Ironisnya, satwa bukan asli Indonesia itu hanya satu-satunya di KBS.

Maka kesimpulan KBS menyandang predikat ‘Dead Zoo’ harus segera dibenahi. Bagaimanapun caranya. Butuh keseriusan dan partisipasi banyak pihak untuk menyelesaikannya, agar fungsi konservasi kembali berlaku untuk kelestarian kekayaan fauna di Indonesia. Damai Indonesiaku, damailah satwa-satwaku.

Surabaya, 3 Mei 2012
Agus Raharjo