Minggu, 23 Mei 2010

Surat Untuk Cinta #6

Cinta,,
Apa yang harus kukatakan, jika engkau telah memenuhi warna hidup ini? Jika kuhirup udara pagi nan sejuk, terasa bagaikan embun di pucuk daun. Hampir jatuh dan terlepas bersama tetes resah mencium tanah. Lalu tanah telah basah akan doa dan keinginan. Menjalar, menyusup, dan membelai lembut akar-akar hidup. Dan kembali untuk menggapai bunga dan daun nafasku.

Sapalah aku cinta.
Dengan merdu langkah-langkah anggun menuju tanah terang. Sapalah aku dengan suara dari ayat-ayat hayat. Akan kudengar setiap katamu bagaikan intonasi dan nada berharmoni tinggi. Akan kucerna bait demi bait suara yang menggemakan hatimu. Hingga kurasakan setiap tarikan nafasmu adalah obat dari segala rindu. Dia adalah penawar, dia adalah racun, dia adalah cinta.

Sapalah aku ketika bulan merasa menang dari mentari. Di setiap cahaya jingga parasnya, meski disekeliling kita adalah malam tergelap. Akulah cahayamu, atau kamulah cahayaku. Dan katakanlah bahwa kita saling merindu kepada bulan. Agar dia tak lagi angkuh menjadi cahaya yang sementara pada gelap kita. Sapalah aku, Cinta.
Cinta, tidakkah kau lihat kita tengah dipermainkan. Bagaikan boneka aku pasrah, bagaikan boneka kau selalu tersenyum. Kita menjadi lautan yang tak lagi diterka dalamnya. Dengan lantunan syair biru langitnya. Apakah kau malu pada pandangannya? Apakah kau takut kata tak setia? Namaku hanyalah nama. Sebab aku dipanggil oleh mereka. Tapi bukan namaku yang datang meminta cintamu. Jikapun namaku lain, aku tetap menjadi aku. Aku tetap yang mengurai makna keberadaanmu. Aku tetap mencintaimu. Cintaku hanya untuk Cinta. Untukmu.

Cinta,
Disini aku seperti hidup dalam kepingan kisah yang tak utuh. Ada bayangmu yang mengintai sejak senja menemukanku dalam airmata kehilangan. Kau jauh. Jauh dalam tapal imaji yang menggoda. Yang dibalik bukit kukira aku menemukan cakrawala. Tapi kau selalu ada dibatas malam. Ketika sabda Sang Esa terasa mendekat di telinga. Memanggil, memanggilku untuk takluk pada rayuan pagi yang melankoli. Hari esok yang terdengar lain dari saat ada kau.

Aku menghitung detik-detik yang berganti. Menandai bahwa kau terlalu lama bersembunyi. Adakah kau merasa bahwa kita seharusnya terbuka? Karena ada hal lain dari sekadar untuk bertahan hidup. Ada sosok yang muncul tenggelam diruang ego kita. Apakah cinta mendengarku? Apakah kau mau menyapaku?

Aku tubuh dari derita semesta. Aku jiwa yang tertahan dunia. Apakah masih sama seperti impian berujud kata? Kata serupa mengganti frasa puitis. Kau adalah senja selamanya. Rawan, resah, melankoli, tapi tak mampu ku menolak cinta. Bibirmu memberi alunan setiap kata terdengar tak semestinya. Bagai sabda ratu menawan pencari hati. Melintang, dalam garis jelas penjaraku. matamu, hidungmu, rambutmu, dan semua tentangmu terlukis pada dewi keindahan. Aku takluk, aku tunduk, bersama bait-bait pembawa kabar gembira. Tentang kita yang semakin merasa dekat. Meski kau tak mendengarku. Meski ku tak melihatmu.

Cinta, aku ingin mengirim puisi terindah padamu. Puisi yang bukan aku penulisnya. Penulisnya berkata,”Berikanlah puisi terindah pada cinta terindah. Serahkanlah puisi teranggun pada cinta yang terpilih. Karena puisi ini hanya untuk dia yang berhak. Puisi ini lebih indah dari semua yang pernah ditulis. Karena puisi ini adalah kau! Maka serahkan jiwamu pada dia yang mampu membimbingmu! Dia bukan pencari dunia, tapi dia menyusun setiap keping pasir menjadi istana di surga. Dia adalah cinta yang akan abadi. Maka berikanlah puisiKu padanya!”

Cinta, itulah kau. Yang tengah menyusun pasir-pasir kebijaksaan hingga menjelma istana di negeri sana. Aku ingin menyerahkan puisi terindah itu. Karena kau adalah cinta. Karena kau memang patut dipuja.

Maka, berikanlah aku sapa. Agar aku menjelma puisi seindah lantunan ayat-ayat hayat!

Klaten, 22 Mei 2010
Agus Raharjo

Mei: Setangkai bunga Morishcha yang Indah

Pada kisah Mei selanjutnya, saya ingin bercerita tentang sebuah imajinasi yang banal. Kisah ini bisa jadi akan selalu mengingatkan saya dengan bulan yang paling sedikit hurufnya, namun banyak cerita yang lahir di dalamnya. Ini tentang sebuah bunga, yang anggap saja kita mengenalnya seperti kita mengenal anggrek maupun melati—saya lebih menyukai anggrek. Terlebih anggrek putih yang meskipun tergolong murah, namun baunya sangat wangi. Ini kisah tentang setangkai bunga yang bisa kita gambar dalam imajinasi kita. Kisah tentang ‘setangkai bunga Morishcha’.

Setangkai bunga Morishcha, adalah setangkai bunga yang pernah saya dengar baru sekali. Entah nama latin untuk bunga apa atau nama bunga dari bahasa mana, saya tidak tahu secara pasti. Namun, saya pernah merasa kehilangan bunga itu pada bulan Mei, tahun lalu. Nama bunga itu untuk pertama kali saya dengar dari seseorang yang pernah diberitahu oleh seseorang yang dahulu adalah penari.

Kisah perkenalan saya dengan bunga Morishcha adalah sebuah kesengajaan yang tidak disengaja. Jauh sebelum saya mengenal bunga itu, jauh dalam imajinasi saya telah melukis sesosok bunga yang membuat saya merasa terkesan. Bunga itu, saya gambarkan sebagai bunga yang menyimpan misteri dalam keangkuhannya. Aura yang terpancar dari anggun warnanya membuat seseorang yang melihatnya akan tertawan jiwanya. Dari dasar imajinasinya segera menjelma sebuah misteri yang tak terjangkau dalamnya. Dan bunga itulah yang senantiasa membuat saya merasa ikut menjadi seorang yang angkuh.

Dan untuk pertama kalinya saya merasa bahwa saya menemukan sosok bunga itu hanya dalam setangkai bunga Morishcha. Hanya setangkai. Karena memang bunga ini mekar tidak bersama-sama, hanya setangkai saja. Maka, itulah yang menarik. Bunga ini menjadi setangkai bunga yang anggun dan menawan. Keindahannya terletak pada satu tangkainya. Jika bunga ini menguncup pada tangkai yang banyak, maka keindahan itu akan sama saja dengan bunga-bunga yang lain. Maka, inilah bait-bait perpisahanku dengan setangkai bunga itu.

Pada bulan ini satu tahun yang lalu, saya dengan bunga Morishcha juga gambaran keindahannya mengarungi suatu masa ketika pada suatu malam kita kembali ke jaman Majapahit. Saat itu, kita dengan damai memasuki wilayah Majapahit yang tengah terjadi huru-hara. Sampai akhirnya kita bertemu dengan sosok yang penuh karismatik Pangeran Banjaransari—orang yang erat hubungannya dengan lahirnya nama Sukoharjo. Saya, bersama setangkai Morishcha, menjadi saksi betapa dengan gagahnya, pangeran yang berguru pada Sunan Kalijaga ini membantu rakyat alas Taruwongso keluar dari masa paceklik yang telah lama dialaminya. Meskipun hanya kisah yang pendek, namun saya memahami, begitu dekatnya saya, bunga Morishcha, dan Pangeran Banjaransari waktu itu.

Namun, seperti halnya saya kehilangan Pangeran Banjaransari yang hanya dapat saya kenang melalui makamnya di Tamansari, Sukoharjo, sayapun merasa kehilangan bunga Morishcha dan hanya dapat mengenangnya melalui nisan yang tertancap dalam hati saya. Kisah itu begitu singkat, namun penuh liku. Dari sana, ada keberanian, ketakutan, kegelisahan, ketenangan, rasa pasrah, cemburu, tawa, tangis, dan kebijaksanaan serta ketololan. Hanya dari setangkai itu, telah lahir kisah yang selalu dapat saya ingat. Mungkin juga tidak akan pernah saya lupakan.

Jikapun ada sesal, sesal itu tak akan merubah apa-apa. Bunga itu telah hanyut dalam tangkainya entah pada imajinasi siapa. Saya masih dapat mengingatnya dengan jelas, ketika hujan menandai betapa kita saling membutuhkan. Hujan memberiku airmatanya, dan hujan mengantarkannya padaku sebagai setangkai bunga yang menakjubkan. Angkuh, anggun, namun menyimpan misteri yang menawan.

Jika saya masih mempunyai kesempatan untuk membelai bunga itu lagi, saya ingin menyimpannya erat-erat dalam hati dan kutanam agar benih yang angkuh itu merebak dengan wangi didalam imajinasi. Akan kusiram tanah yang merekah menerimanya sebagai bunga abadi nan puitis. Setidaknya akan kujelmakan ia dengan bahasa yang santun. Tapi pada bulan Mei itu, saya harus merelakannya tercabut dari akar imajinasi saya. Dan mungkin saya masih ingin mengirimkan puisi ini untuk mengingatnya.

Dalam rawan kelopakmu
Kutemukan sabda ratu keindahan
Meskipun angkuh, titahmu pernah menawanku
Dan pada bait sepi, tertulis lirik-lirik sedih
Aku telah kehilangan,
Sebuah melankoli kokohnya setangkaimu
Dari kata menjelma rupa, mewujud frasa takdirku
Pergimu, kuharap bukan tanda baca nihilmu
Aku lelap, dalam hujan yang membelaiku
Pada bau tanah basah,
Mengingatmu merindukan tanah merekah
Tempat disemainya bulir-bulir keanggunan
Setangkai bunga menjelma cinta, Morishcha.

(RA: ‘Setangkai Bunga Morishcha yang Indah’)

Solo, 21 Mei 2010 (02.45)
Agus Raharjo

Mei: Kisah 1

Hari ini, tanggal 12 Mei 2010, pada malam hari, jam menunjuk pukul 23.38, ketika mendengar lantunan nasyid, saya seperti memutar sebuah mesin waktu untuk kembali pada Mei tahun yang lalu. Atau bahkan pada hari, bulan, dan tahun yang lebuh lalu. Ini bukan cerita tentang peristiwa 12 Mei yang menjadi tonggak kepahlawanan mahasiswa menggulingkan rezim Orba. Yang tadi siang ketika saya lihat di televisi, tengah dilangsungkan upacara peringatan gugurnya mahasiswa Trisakti pada 12 Mei, 12 tahun yang lalu. Tapi ini adalah cerita yang mungkin saja tak layak untuk diceritakan pada orang banyak. Tapi kelak, saya ingin menulisnya lebih lengkap. Minimal untuk saya kenang sendiri.

Ketika saya mendengarkan lantunan lagu berlirik Islami, saya teringat dengan teman-teman saya dulu. Teman-teman yang ikut andil dalam proses mencari siapa diri ini. Teman-teman yang senantiasa kuingat dengan kerinduan yang sungguh. Teman-teman yang membantuku untuk mengenalkan nuansa Islami yang bisa jadi saya dambakan sejak dulu. Karena baru ketika saya menginjakkan kaki di kampus tercinta ini, saya benar-benar baru mulai mengenal sebuah keyakinan yang seharusnya sejak kecil saya yakini. Entah kenapa, ketika saya mendengarkan lagu nasyid, ingatan saya membawa pada memori tentang banyak hal. Perihal yang dalam hati kecil sangat saya rindukan, keberadaan dan peristiwanya. Seolah saya ingin mengulang peristiwa itu berkali-kali.
Ingatan saya pertama tertuju pada sebuah peristiwa ketika saat itu saya yang berada di masjid Nurul Huda, mengambil keputusan untuk ikut FRAKSI (saat itu dengan keterlaluan niat saya hanya pada sisi ekonomi, yaitu dengan duit 10 ribu, saya bisa hidup tiga hari dan nambah ilmu). Tapi dari kegiatan itu, saya dapat menitikkan airmata, ketika saya dan teman-teman melihat sebuah film dokumenter tentang kekerasan dan penindasan yang dialami oleh rakyat Palestina. Saya melihat adanya ketidakadilan dan kekejaman disana.

Peristiwa kedua adalah peristiwa yang nantinya akan melatih saya bertanggungjawab pada orang lain. Yaitu ketika malam-malam, saya dan sepuluh orang teman saya ada di hik di gerbang belakang kampus UNS. Saat itu, sebelas orang beserta saya ketika itu tengah mendiskusikan pembentukan sebuah forum yang dapat mempererat hubungan persaudaraan kita, dan teman-teman muslim angkatan 2004 di Fisip. Maka malam itu, lahirlah FORMMAT (Forum Mahasiswa Muslim Dua Ribu Empat), dan saya ditunjuk sebagai koordinatornya. Maka setelah itu, ketika kita diskusikan dengan perwakilan muslimah di Fisip, maka lahirnlah FORSA (Formmat+Sahabat). Sahabat adalah forum dari muslimah atau akhwat 2004.

Maka sejak saat itulah saya seperti mempunyai tanggungjawab lebih pada keberlangsungan forum ini. Walaupun hingga sekarang ini, saya merasa tidak bisa sepenuhnya memenuhi semua beban itu. Terlebih ketika saya berada di penghujung masa kuliah sekarang ini. Saya pun tidak mengetahui, apa yang ada di pikiran teman-teman saya sekarang tentang FORSA. Saya masih ingin mempertahankan teman-teman dan forum ini, sampai kelak saya tak lagi mengenal mereka dalam kematian.

Lalu, banyak peristiwa silih berganti datang, baik suka maupun duka. Tentang lika-liku saya ada di Lembaga Kegiatan Islam, tentang saya yang masuk dalam barisan perjuangan politik BEM FISIP, atau tentang cerita-cerita saat saya harus ikut syuro’. Ah, cerita itu sungguh sangat indah untuk dikenang. Saya selalu dapat mengenang itu, karena saat itu meskipun saya harus berjalan tidak dekat untuk mencapai tempat syuro, tapi saya selalu menyukainya. Dalam hati saya selalu berpikir, suatu saat, apa yang saya lakukan itu akan membawa kebaikan pada diri saya. Dan apa yang ingin saya perjuangkan bukan menjadi sebuah hal yang sia-sia. Saya yakin itu. Dan tanpa terasa saya ada di BEM FISIP selama tiga tahun berturut-turut. Dari tahun pertama saya jadi staf Sosial Mayarakat, staf POSDM (karena menterinya Mbak Tika menikah 3 bulan sebelum kepengurusan habis, maka ditahun itu juga saya menggantikannya sebgai Menteri POSDM), lalu benar-benar menjadi menteri POSDM di FISIP. Tahun pertama ikut BEM saya tenang-tenang saja dan terbuka bahwa saya ikut BEM. Tapi untuk tahun kedua dan seterusnya nanti saya tidak memberitahukan hal itu pada keluarga. Saya hanya ingin menjalani apa yang menjadi keinginan saya, meskipun hal itu membuat saya tidak tenang dan merasa was-was.

Lalu tahun keempat, karena suatu hal (Menteri sebenarnya mengalami musibah), maka saya diminta bergabung dalam barisan BEM UNS sebagai Menteri PSDM (menggantikan menteri yang kena musibah), yang niatnya sementara akhirnya sampai pada penghujung kepengurusan. Saya tidak pernah menyesali kalau saya hanya menjadi pengganti saja. Mungkin dengan begitulah Allah membuat jalan yang memang harus saya lalui. Karena dari sanalah, saya mengenal orang-orang hebat dengan idealisme yang hebat pula (walaupun sekarang saya tidak tahu pasti apakah idealisme itu masih ada pada mereka. Semoga masih!).

Dan lagu nasyid itulah yang membuat saya menjadi teringat dengan mereka semua. Ada satu lagu yang hingga saat ini membuatku bertahan pada satu ingatan yang kuat dan membuat saya selalu ingin menangis ketika mendengarnya. Lagu itu, pertama kali saya dengar adalah di tahun kedua kuliah (yang saat itu saya belum berminat untuk mendengar lagu nasyid), tapi dua tahun setelah itu baru saya tahu judul dan belajar menyanyikannya. Lagu itu judulnya “Ainaul Mardiyah”. Ah, kalau saya mendengarnya, rasanya saya ingin menitikkan airmata. Mengingatkan saya pada yang hingga kini masih tak pernah pergi dari ingatan. Perihal itulah yang membuat saya hingga sekarang merasa punya penopang ketika jatuh, dan memberi embun ketika ada gersang. Saya ingin dapat mengingat hal ini selamanya. Bahkan mungkin dalam kematian.

Terima kasih telah membuatku seperti ini. Terima kasih untuk semua kejujuran, kelembutan, kekerasan jiwa, keteguhan prinsip, senyuman, amarah, kedewasaan, kekanak-kanakan, dan semua yang sangat pantas untuk dikenang. Suatu saat nanti, saya ingin kita semua berkumpul dalam setiap kenangan yang pernah kita buat bersama. FORSA, LKI FISIP, POSDM BEM FISIP, PSDM BEM UNS, dan semuanya. Saya benar-benar merindukan kalian.

Sekadar melantukan tulisan ini tadi malam, di pagi hari, seusai sholat shubuh dan menekuri ayat-ayat suci, rasanya saya ingin mengirimkan puisi untuk kalian. Meskipun tidak seindah lantunan kata Sapardi, atau semistis Chairil, setidaknya saya menuliskan kata-kata ini dengan goresan sedih yang kelam.

Ingatanku padamu,
Bukan pada akhir perjalanan kita
Yang kini semakin kita resapi sabdaNYA,
Tapi pada perjalanan itu sendiri, yang ada percakapan kita
Mungkin kita berada di ruang berbeda
Lagu dan baju jirah yang berlainan
Tapi kita ada dirumah yang sama
Tempat meneduh dan menyulam mimpi
Menikmati dari lelap yang angkuh,
Selepas peperangan dalam medan nafsu dan keyakinan.
Ingatan itu,
Membuat kita saling kenang
Pernah pada ketika sering berjabat tangan,
Dan senyum seusai salam
Kemudian ayat-ayat yang kita lantunkan
Adalah embun di padang gersang
Ah…betapa indah ingatan itu,
Betapa patut untuk dikenang.


Solo, 12-13 Mei 2010
Agus Raharjo

Minggu, 28 Februari 2010

Bulevard

Pada suatu pagi yang mendung, saya berkesempatan menikmati Bulevard dengan agak bingung. Setelah hampir enam tahun saya ikut menjejaki Universitas hijau Sebelas Maret, ini kali kedua saya menengok gerbang utamanya pada hari minggu. Saya tak tahu mengapa bukan sejak dulu saya sering menikmati keramaian minggu pagi Boulevard.

Kalaupun lewat, tak terhitung lagi saya melakukannya. Bahkan saya ingat, saya pernah ikut aksi disana, juga pernah saya dan teman-teman BEM aksi ulang untuk meminta maaf pada wartawan. Teman saya itu—Presiden BEM UNS waktu itu—telah mengeluarkan statemen yang melukai profesi wartawan. Saya sendiri tidak tahu menahu tentang hal itu, karena saat itu saya memang telat datang. Meskipun begitu, saya juga tetap mendampingi teman-teman untuk aksi “permohonan maaf dan pencabutan statemen.” Pada waktu itu, saya sangat menyayangkan statemen rekan saya itu. Tapi, kesalahan sekali tidak akan membuat segala kebaikan dan pengorbanan menguap begitu saja. Itulah yang dapat saya pahami.

Saya telah mengenalnya sejak masih di bangku SMP, dan saya tahu siapa dia bukan dari interaksi kita, tapi malah pada apa yang terpancar dari komunikasi tak verbal kami. Namun, saya tak menyesali untuk ikut aksi ulang bersama teman-teman. Saya merasa, saya harus selalu membersamai orang-orang yang saya tahu hidupnya untuk memikirkan orang lain tersebut. Dan keyakinan saya tak akan luntur dengan statement itu, terlebih saya juga menganggap diri sebagai calon wartawan. Saya bertekad akan selalu ada diantara mereka, dengan atau tanpa kehadiran fisik saya. Karena kita punya tujuan sama.

Di bulevard, saya selalu mengingatnya sebagai sebuah janji. Janji bertemu juga janji menanti. Ah, tempat itu menjadi sebuah kenangan tersendiri bagi saya mengingat teman-teman saya. Saya ingat, ketika pada suatu waktu, saya dan teman-teman saat hendak bepergian kemana saja, Bulevard menjadi satu tujuan untuk kita saling menanti. Dari sanalah saya memahami, bahwa menunggu itu terasa lebih indah ketika saya tahu janji memang selalu terpenuhi.

Di pagi itu, bukan seperti pagi-pagi sebelumnya. Mungkin juga tak akan pernah ada minggu pagi yang akan sama. Akan ada perpisahan, meskipun bukan perpisahan otentik. Pada malam sebelumnya, saya tahu bahwa sekarang saya sangat merasa kehilangan teman-teman. Semua, telah meninggalkan Bulevard dan menatap dunia luar. Maka malam sebelumnya itu, saya memberanikan diri untuk sekadar melihat seseorang yang masih mau menemani saya. Dalam kasus ini, apa yang saya lakukan adalah sebuah hal yang memang tak seharusnya dilakukan, meskipun hanya sekadar bertemu dan melihat saja. Tapi, hal itu memang saya lakukan, bukan karena saya berniat melanggar sesuatu, tapi lebih pada saya yang merasa sendirian dan membutuhkan uluran semangat.

Dengan seseorang itu, menjadikan saya sebagai manusia seutuhnya. Darinya, saya merasa bukan hanya menjadi seonggok tubuh yang terlalu pasrah pada alur sang nasib, tapi dengannya saya ingin mengatur nasib sendiri, bahkan kalau dikabulkan, saya ingin membantu nasib-nasib orang lain. Dengannya, semalam, saya hanya melihatnya sekilas—tidak berani memandangnya. Hanya sekilas, namun saya mampu merekam keberadaannya. Saya ingat gaya bicaranya, khas suaranya, juga gelora semangatnya. Meskipun malam itu gerimis membuat kisah pertemuan sebentar kami seolah murung. Tapi sebuah nada gembira justru terucap pada senandung kebersamaan kami.

Dan Bulevard, menjadi lambang pagi atas perpisanan sementara kami. Ada janji yang masih harus dipenuhi. Dan penantian yang tertera pada lambang gerbang pertemuan dimana semua kenangan terjalin seperti mimpi-mimpi. Mimpi ini masih belum sempurna, kenangan ini masih tak lengkap, sama seperti janji itu sendiri. Seseorang itu menjadi satu dari semua yang menyimpan diri dari kenangan saya mengawali perpisahan dengan Bulevard. Ada pohon menjulang menopang segala kisah di bait-baitnya. Ada nama tertera pada pangkal gerbangnya, itu penanda. Dan Bulevard selalu menyimpan kenangannya sendiri. Bagi kisah yang pernah melewatinya, juga singgah di kedalamannya.

Pagi itu, kuingat hari sebagai hari minggu, dan di penanda waktuku tertera tanggal 31 Januari 2010.

28 Februari 2010
Agus Raharjo

Kamis, 18 Februari 2010

Surat Untuk Cinta #5

Dengan hati dan seluruh jiwaku,
Kuturutkan menyertai kegelisahanmu,
Bukan untuk memperingati hari kasih sayang…
Hari ini!
Tapi inilah sebuah kisah sedih.


Bagaimanakah adanya Cinta hari ini? Apakah hari yang serasa pilu ini juga membuatmu tertambat pada sedih yang mendung tawarkan? Atau langit memang sengaja membawa kegelisahanmu agar tampak dimataku dari tanda hujan?! Aku memang tak pernah merasa bisa untuk mengenyahkan gelisahmu seutuhnya. Tapi ingatlah bahwa aku juga tak akan pernah berhenti untuk mencoba melakukannya. Sampai nafas terakhir.

Cinta… Ada sesuatu yang tak selamanya dipandang dari satu pandangan saja, bahkan mungkin untuk kesemuanya barangkali. Aku juga tak tahu, apa memang begitu adanya. Yang pasti ada keyakinan ketika kita menjadi makhluk kritis saja kita bisa mencari kebenaran yang hakiki. Bukankah akal digunakan untuk hal itu?

Hari kemarin, hari ini, juga hari esok adalah hari-hari yang seterusnya tetap berjalan seperti ini. Inilah hidup. Inilah kehidupan. Dan inilah putaran nasib yang selalu sigap memeluk keseluruhan kita. Kita hanya berusaha untuk bertahan darinya saat kita ada di bawah, dan kita harus ingat pada keyakinan kita, ketika kita ada di atas. Itulah bertahan hidup.

Cinta… kegelisahanmu adalah bagian dari kesedihanku. Dan sepertinya hujan senang mengirim rintik tangisnya menyertaiku. Ah, hujan, kenapa lagi kau menjelma pada nyanyian sedih seorang yang selalu ada di hidupku?!

Kau tau? Hal yang membuatku sering bersedih adalah ketika seseorang membutuhkanku, dan aku tidak bisa memenuhinya. Aku tidak ingin menjadi seorang yang seperti itu!! Aku benci! Sangat membenci keadaan seperti itu!! Rasanya seolah hidupku adalah sesuatu yang tak ada nilainya. Menjadi orang yang tak berguna itu sungguh memuakkan. Mungkin inilah alasan aku tidak pernah benar-benar menyukai diriku sendiri. Terkadang memang harus seperti itulah badan ini diperlakukan. Agar ia terbiasa dengan sakit yang dirasakan badan-badan yang lain. Agar ia tahu rasanya sedih dari kesedihan yang lain.

Tubuhku ini hanyalah alat. Hanyalah tulang yang dibalut daging dan dialiri darah. Darinya, seharusnya aku mampu untuk menjadi sesuatu yang kuat memikul kesedihan dan beban orang lain. Dengan pikirannya, harusnya aku dapar mencarikan pemecahan dari semua permasalahan. Tapi yang terjadi, justru badan ini hanyalah seonggok tulang dibungkus daging yang terlalu tak berguna. Masih ikut larut memikirkan hal-hal remeh yang tak seharusnya. Apa sih pentingnya punya status? Apa sih perlunya pangkat? Kalau dengannya ada ketakutan manusia tamak. Ada penyesalan karena bersikap egois. Bukan itu yang seharusnya didambakan.

Aku bersyukur Muhammad adalah teladanku. Dialah manusia yang tak akan digugat sebagai sosok yang paling mulia. Tak ada alasan bagi orang kaya karena kekayaannya untuk berwelas asih. Juga tak ada alasan bagi orang miskin untuk menunggu kaya baru dapat menolong sesama. Karena Muhammad adalah representasi yang tak terbantahkan. Dia adalah orang kaya, tapi tak lebih dari tiga hari kekayaan itu ada padanya. Seluruh hartanya adalah harta untuk orang lain. Dan dia juga orang miskin, yang dengan kemiskinannya dia masih mampu untuk bersedekah pada sesama. Dia adalah sosok yang gagah, garang bagi semua musuh keyakinannya. Tapi dia juga lemah lembut bagi sesamanya. Bahkan bagi seorang yang membenci dan sering memakinya.

Siapa yang sanggup memberi makan tiap hari pada seorang buta yang selalu saja memakinya. Meskipun Muhammad tahu persis bahwa orang buta itu adalah golongan dari musuh keyakinannya. Hingga seorang buta itu menyesal karena pada akhirnya tahu bahwa orang yang setiap hari menghampirinya dan member makan adalah orang yang senantiasa dia caci maki, bahkan ketika Muhammad ada di hadapannya. Siapa yang sanggup membantah kebaikan seperti itu? Dan badan ini, seharusnya bisa mencontohnya.

Cinta… Itulah adanya dirimu. Seluruh jelmaan dari segala kebaikan. Dan akan menuju kebaikan. Aku tak pernah menganggap ini sesuatu yang berlebihan. Ini hanyalah harapan. Ini adalah keyakinan, bahwa hadirnya dirimu akan menjelma kebaikan bagi seluruh badan-badan ini. Ada sikap ramah yang akan menentramkan kegarangan. Ada kelembutan yang memeluk keras hati. Namun juga ada amarah yang senantiasa mengingatkan. Ternyata memang bukan hal yang berlebihan bukan?! Aku hanya ingin menjadi seorang yang mampu seutuhnya memperlakukan raga ini pada tempatnya. Maka jangan tepiskan keberadaanku di kehidupan ini. Karena kematian pasti akan datang ketika pada waktunya. Aku hanya tak ingin menyesali hidup yang terbuang percuma. Yang hanya tahu bagaimana memikirkan diri sendiri. Adanya diriku adalah karena ada kau. Denganmu, kita ubah penderitaan menjelmamu. Sebuah kebaikan yang akan menuju kebaikan. Dan pada akhirnya, tak akan kusesali adanya aku.

Cinta… sungguh kau menjadi yang selalu kurindukan. Selalu. Segera, akan kutemukan dirimu dalam hidup ini. Akan kujemput kau pada tegapnya kesetiaanmu. Sebentar lagi, akan ada babak yang mengeliminasi semua hal yang membuatku terkungkung ini.

Cinta…
Please, give me your smile...
And look at my face, you’ll find the sun…
(Lalu kita lantunkan Surat Ar Rahman sama-sama. Semoga ada airmata di wajah, namun ada bahagia di hati!)

Solo, 14 Februari 2010
Agus Raharjo

Kamis, 14 Januari 2010

Fragmen: Khianat

“Aku ingin menjadi seorang penyendiri,” kata lelaki itu. Dan sang wanita menatapnya penuh curiga.
Semalam, lelaki itu tak kunjung pulang. Sang wanita merasa sepi dalam penantiannya. Detak jam membuat mereka terpisah.
“Aku ingin menjadi seorang penyendiri,” kata lelaki itu ketika di depan pintu. “Aku tidak akan terluka seperti ini!”
Mata sang wanita mengikuti hingga lelaki itu masuk kamar mandi.
“Apa maksudmu?” teriak wanita itu.
“Biarkan aku sendiri! Dan aku tak akan pernah merasa sakit ketika dikhianati seorang istri!” Lalu suara debur air menenggelamkan suara lelaki itu dalam perasaannya.
Wanita itu gugup. Segera dia sadari bau parfum di seprei tempat tidurnya memang bukan milik lelaki itu.
Di dalam kamar mandi, ada gemuruh suara air, juga kaca pecah sekali. Air itu, tetap seperti suara hujan, hingga sang wanita menyadari kata-kata sang lelaki bukan gertakan semata.

14 Januari 2010
Agus Raharjo

Perempuan dan Lahirnya Rezim Orde Baru

Ketika tragedi ’65 terjadi, saat itulah Orde Lama mengalami akhir masanya. Sebagai gantinya, bagi saya Orde Baru lahir dari sebuah ironi yang tak lucu. Ada banyak pertanyaan yang ‘dibungkam’ terkait peristiwa yang kita kenal sebagai Gerakan 30 September (G30S PKI) setelah rezim baru itu muncul bak sang juru selamat. Peristiwa yang disusun sangat apik dalam tatanan politik untuk sebuah kekuasaan. Bahkan ‘pembungkaman’ itu berlanjut hingga berakhirnya rezim Orde Baru itu diruntuhkan oleh Reformasi.

Ketika saya masih kecil, yang ada dalam bacaan buku sejarah saya adalah bahwa PKI adalah partai yang ‘seharusnya’ tidak ada di Indonesia. PKI adalah manifestasi dari bahaya laten sebuah kudeta. Sampai akhirnya peristiwa ’98 membuat semuanya seolah mengalami pembalikan.

Yang saya tahu sebelumnya dalam buku sejarah, juga film terkait G30S PKI—yang tak tahu malu-- bahwa PKI adalah kumpulan algojo yang dengan entengnya mengakhiri hidup sesama manusia. Bahkan dalam film yang baru saja sekilas saya saksikan, sosok yang digambarkan menenteng palu dan arit tersebut menghabisi orang-orang yang selesai menjalankan sholat shubuh di masjid. Semua itu menjadi sebuah hal yang wajar dan dimaklumi ketika kita ada dalam masa kekuasaan rezim paling lama di Indonesia sampai saat ini tersebut. Namun, ketika lembaran fakta-fakta mulai dibuka kembali, semua propaganda itu menjadi sebuah tontonan yang tak lebih dari sebuah lelucon belaka.

Di satu sisi, saya menertawai diri saya pribadi dan orang-orang yang telah dibodohi sekian lamanya. Di sisi yang lain, saya ingin menertawai sekeras-kerasnya pada semua pembuat propaganda itu, karena mereka dapat membuat serial komedi yang berbentuk buku dan film. Namun tak bisa dipungkiri, propaganda saat itu seolah disusun dengan sangat lihai oleh ahlinya.

Wajah Perempuan Komunis
Perempuan Komunis adalah bagian lain dari sebuah elegi G30S PKI. Mereka adalah perempuan-perempuan ‘yang sengaja dikorbankan’. Terlebih bagi mereka anggota Gerwani dan semua ormas yang berafiliasi dengan PKI. Setelah tragedi pembunuhan para Jendral di Lubang Buaya, perempuan komunis menjadi sosok yang diburu dan paling banyak mengalami siksaan. Tak salah ketika Wieringa mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut membuat banyak pihak mempersetankan perempuan komunis. N Bukan hal yang main-main, perempuan komunis menerima hukuman yang tak pernah tahu apa kesalahannya.

Banyak tuduhan ditimpakan pada perempuan-perempuan komunis sehingga banyak pihak yang seolah menganggap mereka adalah perempuan biadab. Hal ini sangat bisa dimaklumi, sebab Indonesia adalah negara yang mayoritas adalah penganut Islam. Ketika dihadapkan pada ‘sandiwara’ bahwa perempuan komunis telah melakukan tindakan senonoh dan keji pada jenderal-jenderal yang mati di Lubang Buaya, maka penganut Islam akan menganggap bahwa mereka adalah perempuan setan. Sungguh ironis namun cerdik. Seolah semua hal itu telah lama dipikirkan oleh ‘sang sutradara’. Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah kenapa begitu bodohnya yang mengaku muslim tersebut termakan hasutan?! Hingga tidak terasa ikut andil dalam menghilangkan banyak nyawa yang seharusnya tidak terjadi demikian gampang.

Lagipula, anggapan bahwa penganut paham komunis adalah seorang ateis yag patut ‘diperangi’ masih dipertanyakan. Namun, semua itu telah terjadi, dan biarlah menjadi masa kelam bagi rakyat Indonesia.

Ada banyak hal yang patut kita ketahui perihal tentang gerakan membumikan rakyat Indonesia tersebut. Juga cerita-cerita tentang tindakan semena-mena yang diterima ‘perempuan setan’. Banyak kisah yang perlu kita cermati tentang penderitaan mereka. Akan tetapi, hingga sekarangpun banyak yang masih menyimpan memori bahwa PKI adalah bahaya laten dari manifestasi kekejaman dan keberingasan atas kekuasaan.

Beberapa waktu yang lalu, kita mendengar akan dilaksanakannya syuting film Lastri. Film tersebuat adalah film yang menceritakan keadaan perempuan korban dari kebengisan sesungguhnya dari lahirnya Orde Baru. Namun diluar dugaan, syuting film tersebut mendapat tentangan dari sebuah ormas Islam di Solo. Pertanyaannya adalah kenapa hal itu ditentang? Ketika hal itu ditakutkan menimbulkan kembali bahaya laten PKI, bukankah itu adalah sesuatu hal yang tidak perlu? Ataukah karena ditakutkan bahwa film tersebut akan menampilkan adegan-adegan penyiksaan seksual pada kaum perempuan? Diluar nanti terhalang dengan badan sensor, lagipula itulah realita yang sebenarnya terjadi disekitar lahirnya Orde Baru. Setidaknya hal itu saya ketahui setelah membaca “Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65”nya Ita F. Nadia.

Dalam bukunya, Ita menulis pengalaman kejam yang dialami oleh perempuan-perempuan komunis untuk melahirkan rezim Orde Baru. Dalam kesaksian pertama akan kita temukan kata-kata “Akhirnya Pemerkosa itu Jenderal Pensiun”. Sungguh ironis, sang penjahat malah dapat menikmati ketenangan dalam masa pensiunnya. Siapakah sebenarnya yang tidak mempunyai hati nurani?

Lalu ada satu peristiwa yang bagi saya seorang laki-laki sungguh sangat biadab, ketika salah seorang korban menuturkan dalam buku Ita ketika dipenjara di Tanjung Gusta: “Mereka sengaja ingin mempertontonkan kepada suami saya, bagaimana saya diperkosa oleh beberapa laki-laki bergiliran. Jika suami saya menundukkan wajahnya, mereka menampar mukanya.” Sekali lagi saya bertanya, siapa sebenarnya yang biadab disini? Apakah mereka orang-orang PKI itu? Yang mengajari masyarakat kecil membaca dan menulis? Ataukah serdadu yang ‘menjadi’ juru selamat? Sungguh ironis.

Maka saya sedikit berlelucon, bahwa Orde Baru lahir dari rahim-rahim perempuan yang diangggap setan. Atau seperti kutipan dari salah seorang korban yang bernama Yanti, bahwa Orde Baru “Membangun Kekuasaan di atas Perkosaan.”

13 Januari 2010
Agus Raharjo

Rabu, 06 Januari 2010

Surat Untuk Cinta #4

Kuturutkan dengan sebuah hati…

Cinta,
Bagaimana keadaan yang menyertaimu sekarang? Semoga kau masih merindui dan bertahan dari apa yang sampai saat ini ada pada diri kita. Apakah kita masih dapat berpuasa seperti ini terus, senantiasa menjaga apa yang coba kita buat? Aku selalu merindukan hal-hal tentang dirimu. Tentang apa yang pernah kita tulis bersama, juga tentang apa yang akan coba kita wujudkan hari depannya.

Ditengah perihal yang tak menentu ini, kita akan menjalani dengan senang hati. Sampai sekarang kita masih diperbolehkan menangis untuk Ibu penjual macaroni di depan sekolah. Yang hanya sekeranjang saja dagangannya. Kita juga masih diperbolehkan menangis untuk seorang Ibu yang kau lihat sedang mencari jalan hidup ditengah terik yang menyengat. Kita masih boleh menangisi semua itu. Ah, bisa jadi kita bukan siapa-siapa bagi mereka, tapi apa harus kita kenal dulu sebelum dapat membantu mereka? Tidak, bukan yang seperti itu yang nantinya akan kita lakukan bersama. Kita tak harus mengenal siapa yang butuh dikeluarkan dari kubangan derita.

Apa yang kita saksikan hari ini, adalah sebuah pekerjaan besar yang nantinya akan kita bangun. Kita akan bukakan mereka pintu-pintu keluar dari lumpur. Bahkan aku ragu Negara ini masih berpikiran tentang semua itu. Apakah salah ketika mereka menjatuhkan diri pada hal hina hanya untuk bertahan hidup, sedangkan di lain tempat ada orang-orang yang dapat menghabiskan jutaan rupiah hanya dalam waktu satu malam saja dengan sekadar makan gengsi dan katanya untuk bersosialisasi.

Sungguh, begitu pandai manusia modern itu mencari kesenangan dan alasan. Sangat picik dengan semua hal yang begitu terlalu tolol tapi masih bisa berkata untuk bersosialisasi. Apakah semahal itu untuk mencari seorang teman? Bisa jadi bukan teman yang mereka dapatkan sebenarnya, tapi mereka menyewa robot-robot berbentuk manusia sempurna. Picik dan naïf.

Cinta,,, kita mungkin akan menjadi manusia yang dianggap aneh. Atau bahkan kau tidak menghendaki hal seperti itu? Apakah kau masih mau hidup yang hanya bukan memikirkan makan dan kesenangan semata? Dengan segala yang ada pada kita, aku ingin membuat surga hadir untuk orang-orang terpinggirkan itu. Aku ingin membuat surge bagi hidup kita secara otentik. Bukan tentang yang hanya semata kita lihat dimata. Bukan, bukan itu sesungguhnya. Tapi ada yang lebih jujur dan lebih mulia dari semua itu. Kita tak perlu memikirkan perselisihan orang-orang bertopeng yang saling berebut kekuasaan itu. Kalau diperlukan, kita manfaatkan keberadaan mereka, kita tak harus berpihak. Hanya siapa yang lebih dapat membuat surge bagi yang terpinggirkan itulah, kita akan menerima. Tapi kita bukan berpihak pada mereka, melainkan pad terbukanya pintu-pintu yang akan membawa orang-orang yang senasib dengan Ibu pedagang makaroni itu keluar dari keterpurukan. Semoga kau juga masih berpegang pada cita-cita dan keyakinan itu.

Hfff… semakin aku merasa, merinduimu sama juga merindui sebuah impian, yang ingin aku bangun dan aku wujudkan nanti.

Sampai saat ini, kita harus mempersiapkan segalanya. Kita akan belajar menyusun balok-balok kepedulian hingga nantinya utuh membentuk rumah yang indah bagi semua hati yang menempatinya. Kita tahan dulu apa yang memang belum boleh untuk kita. Bukankah kita masih ingin melanjutkan puasa ini? Dan setapak-demi-setapak, puasa ini seharusnya meningkat. Aku tak akan pernah menyesalinya. Meskipun mungkin, derajat ikhlas masih jauh dari jangkauanku—karena aku masih takut kehilanganmu. Tapi dengan puasa ini, semoga kita bisa mengikhlaskan apa yang akan menimpa kita di depan. Jalan masih panjang, dan waktu masih membuat jurang. Hanya satu saja yang akan aku pegang, bahwa aku punya janji dan impian. Dan aku akan menuju padanya, menujumu, hingga pada waktunya nanti telah ada.

Cinta, setelah ini adalah pengembaraan. Ada jarak jauh yang harus kita tempuh dan lewati. Ada jeda waktu yang panjang menghalang. Tapi ini adalah jalan kita. Jalan kita untuk saling menjaga. Hanya doa-doa yang masih saja kita lantunkan sebelum ada cahaya. Ada keluh kesah dan harapan serta kerinduan yang masih tertahan di kebesaranNya.

Ah, betapa aku menjadi terlalu cengeng mengingat semua ini. Ada hal yang senantiasa akan selalu tertanam dalam hati tentangmu. Ada senyum yang tercekat dalam kelopak mataku. Ada airmata yang membasahi relung hatiku. Semuanya adalah milikmu. Dan semua dariku akan kuberikan untukmu. Sampai saat kita akan berjuang bersama, setelah pengembaraan ini. Setelah kita merasa kuat sebagai individu-individu. Dan kita akan membuat nyata apa yang telah kita dapatkan dalam kehidupan ini. Bukan untuk kita pribadi, tapi untuk orang lain yang kurang beruntung dari kita. Mereka yang diacuhkan, mereka yang dianggap sampah oleh manusia yang mengganggap diri mereka makhluk kota.

Ah, dunia ini memang bulat. Tak seharusnya digunakan manusia menggelindingkan manusia lain menjadi tersingkir dari harapannya sendiri. Dengan kebulatan ini, seharusnya kita diajarkan mengerti saat di atas dan saat di bawah. Dengannya kita belajar untuk peduli. Darinya kita menikmati hidup.

Cinta,
Puasa ini adalah puasa tingkat akhir dari semua puasa yang memang kita jalani. Dan pada tingkat akhir inilah, semua hal bisa terjadi diantara kita. Tanpa kita dapat saling memberi senyum lagi, tanpa sapa yang menguatkan kita, semua hal dapat menjadi berat pada kita. Pada tingkat tertinggi ini, hanya pada Yang Memberi Cinta kita berpegang. DenganNya pula kita saling menggenggam benang penyatu hati. Selama kita masih selalu mendekat denganNya, maka benang itu tetap terjaga. Meskipun kita diruang berbeda. Ada tabir yang sementara menghalangi, ada ego yang coba kita luluhkan. Ingatlah, bahwa benang itu telah terikat mati pada genggamanku. Dan aku tak akan terlepas darinya. Kecuali kau memutuskan benang itu. Tapi dengan itu, bararti aku telah terlepas dari pegangan. Aku tak dapat menebak kemana aku akan terjatuh. Tapi semoga semua ini mengajariku sebuah keikhlasan. Ikhlas dalam menjagamu, ikhlas dalam mendekatiMu, dan ikhlas pada perjuanganku.

Cinta, inilah babak akhir dari semua perjalanan ini. Ada doa disetiap sujud kita, doa yang melantun lirh karena besarnya kerinduan yang mendesak kita. Doa itu, serupa harapan agar kita menjadi orang yang lebih baik lagi dengan melewati semua ini. Kita selesaikan babak ini sampai akhir. Dan akhir yang bahagialah yang coba ingin kita rangkai. Akhir dari perjalanan panjang, dari penuntasan sebuah keyakinan yang masih belum sempurna untuk kita.

Maaf ketika pertemuan terakhir kita tak pernah sanggup kututup dengan kalimat yang sebenarnya ingin aku katakan, hanya padamu. Ah, aku terlalu tidak punya keberanian untuk mengatakannya langsung bahwa ‘aku sayang kamu’. Bukan karena aku tak punya nyali, hanya aku tidak ingin menggores hati yang kau miliki karena memang belum seharusnya kukatakan. Nanti, setiap pagi aku akan mengatakannya padamu. Setiap pagi ketika kita terbangun, juga sebelum kita terbuai dalam mimpi.

Jangan pernah merasa ragu pada keyakinan ini. Jangan pernah lelah untuk perjuangan ini. Ada aku yang akan selalu ada untukmu.


With Love and Spirit
Dari Ra untukmu Na


Solo, 1 Januari 2010
Agus Raharjo