Kamis, 05 Juli 2012

Rumah dan Satu Peristiwa di Waktu Sahur


Pagi-pagi, Ibu membangunkanku, juga seluruh saudaraku. Hari masih gelap. Diantara pukul 02.30 hingga 03.00 Waktu Indonesia bagian Klaten. Beberapa saat kemudian, radio kecil hiburan kami yang paling mewah menyala. Seorang ulama dengan suara khasnya lalu sayup memenuhi ruangan tempat makan. Suara ulama yang sering menyebut kata “betul” dengan nada yang tak kalah khasnya. Bukan ruang makan, karena kami tak memiliki itu. Tak ada meja makan, juga tak ada piring ditata rapi agar meja disebut meja makan.

Lalu, Ibu yang sudah bangun lebih dahulu. Biasanya satu jam sebelum kami dibangunkan, masih menyiapkan nasi atau lauk untuk kami semua. Yang paling saya ingat, telur dadar di piring itu dipotong sesuai jumlah kami yang akan makan sahur. Kenapa tidak memilih di goreng telur mata sapi atau telur? Karena memang tidak ada pilihan itu. Dua butir telur sengaja digoreng dadar agar semua kebagian untuk memakannya. Irisan-irisan telur yang kadang saya rindukan setelah 15 tahun berlalu.

Saya sangat ingat, disaat kami saling berebut untuk mengambil telur pertama kali. Sebab, yang pertama memiliki kesempatan paling besar untuk memilih irisan terbesar telur dadar yang kadang dicampur dengan irisan bawang merah dan cabai. Selanjutnya, mengelilingi suara radio, kami makan sahur tanpa Ibu dan Bapak. Ibu dan Bapak hanya menyiapkan makan sahur untuk kami. Meskipun kami ingin mereka ikut makan sahur dengan kami, tapi kehidupan demokrasi dan kebebasan yang tertanam secara tak sengaja di keluarga kami, membuat kami (ketujuh anak Ibu-Bapak) tidak pernah mempermasalahkan hal itu.

Secuil peristiwa itu adalah rutinitas yang terjadi di bulan Ramadhan, saat 9 anggota keluarga masih berkumpul 15 tahun lalu. Di sebuah tempat yang selalu kami rindukan untuk kembali. Sebuah tempat yang disebut rumah bagi sebuah keluarga besar Suranto Martowardoyo. Saat ini, rumah itu sudah lain. Peristiwa makan sahur di bulan Ramadhan sudah tak ada lagi seperti waktu aku kecil dulu. Waktu itu, kami masih berkumpul, lengkap. Sampai Lebaranpun, kami tetap berkumpul. Tapi saat ini, dan mungkin Ramadhan yang kurang sebulan lagi datang, sebagian kami ada di tempat yang jauh.

Bisa jadi rumah itu sepi. Sulung Ibu, saat ini masih berjuang dan berusaha mewujudkan impian di negeri nun jauh disana, Jerman. Kakak kedua, meskipun lebih dekat, tapi juga berusaha membangun rumah impian untuk keluarganya. Entah di Klaten atau di Ciamis. Aku sendiri, bahkan tahun lalu tidak dapat berkumpul saat Ramadhan dan Lebaran. Aku sedang berjuang membangun apa yang pernah aku impikan. Kedua adik perempuanku, saat ini lebih banyak tinggal di kota tempat mereka merancang masa depan, Yogyakarta. Praktis, hanya kakak perempuan dan adik laki-lakiku yang setia menjaga rumah. Menjaga Ibu dan Bapak. Semoga tetap menjaga suasana tenteram disana.

Kami, pergi untuk selalu kembali. Itulah yang selalu tertanam di pikiranku. Kembali pada keluarga, kembali untuk keluarga, dan kembali ke rumah. Meskipun, saat Ahmad Albar menyanyi, rumahku ‘hanya bilik bambu, tempat tinggal kita, tanpa hiasan tanpa lukisan, beratap jerami beralaskan tanah’, namun itu rumah kami.

Rumah yang senantiasa terbawa selalu dalam perjalanan kami. Sejauh apapun itu, rumah selalu ada di hati kami. Juga seisinya. Kadang tawa, tangis, diam, sunyi, keluh, peluh, marah, pertengkaran. Namun kami mengerti, kami lahir dalam keadaan yang kami syukuri saat ini. Bersama rumah itu, Ibu-Bapak, Kakak-Adik, aku mengerti, aku lahir di sana bukan tanpa alasan. Aku mengerti arti hidup sesungguhnya, arti menghargai pendapat, belajar bijaksana bukan hanya berpijak pada satu sudut pandang, dan arti kebahagiaan itu seperti apa.

Dulu, pertama kali aku ‘pergi’, dalam hati aku berjanji, tak akan pulang sebelum sukses. Akhirnya, sukses itu bukan soal kaya raya. Bukan soal aku punya jabatan tinggi, punya banyak uang. Tapi aku mengerti aku merindukan mereka semua, Ibu-Bapak, kakak-adik, dan rumahku di ‘56’. Ramadhan tahun ini, sepertinya ada kekuatiran tidak dapat pulang lagi. Meskipun pulang, semua akan terasa lain. Tanpa ketiga kakakku dengan keluarganya, tanpa ketiga adikku dengan kenakalannya. Ah, semua begitu indah untuk dibayangkan. Terlebih banyak anggota baru yang akan meramaikan rumah kami. Aku rindu keramaian itu. Gelak tawa diantara canda-canda. Suara jengkel karena digoda. Aku rindu makan sahur dengan suasana sama seperti lima belas tahun lalu.

Untuk semua orang yang kusayangi disana, baik-baik kalian. Jaga baik tempat pulang itu, dan akan kurawat jalan pulang ini. Untuk semua yang tengah berjuang di tempat yang jauh, juga baik-baik disana. Rumah selalu menunggu untuk jadi tempat pulang. Meskipun bukan di Ramadhan ini, mungkin juga di Lebaran nanti. Tapi kita diikat oleh kisah yang besar. Kisah untuk bangkit karena rumah kita adalah rumah impian. Rumah semangat. Rumah perjuangan. Kita adalah keluarga besar. Ibu-Bapakku orang besar. Dari mereka lahirlah tujuh orang besar. Waktu selalu bergerak maju, tapi sejarah menyimpan kisah itu dalam buku kenangan. Rumahku dan juga Ramadhanku. Satu peristiwa di waktu sahur. Waktu itu.

Surabaya, 5 Juli 2012
Agus Raharjo

Senin, 07 Mei 2012

“Dead Zoo”

Saat menginjakkan kaki pertama di Surabaya sekitar satu bulan yang lalu, hal yang saya ingat adalah saya melewati sebuah kebun binatang. Letaknya, yang membuat saya heran, adalah di wilayah kota yang padat. Saya, masuk ke kota Surabaya dari arah Gresik, lantas jalan yang saya lewati waktu itu adalah Jalan Diponegoro. Kebun binatang itu terletak diantara banyak jalan, jalan Diponegoro, Jalan Raya Darmo, jalan Raya Wonokromo, jalan Joyoboyo, jalan Aditya Warman, dan jalan Ciliwung. Alhasil, posisi kebun binatang itu sangat strategis. Pertama kali berhenti di lampu merah depannya dari jalan DIponegoro, saya langsung mengenali tempat itu adalah kebun binatang, karena papan nama yang terpasang di atasnya jelas bertuliskan ‘Kebun Binatang Surabaya’ dengan gambar berbagai binatang sebagai ‘background’nya.

Lalu, setelah beberapa hari tinggal di Surabaya, ternyata kebun binatang yang disingkat KBS tersebut saat ini tengah mengalami masalah. Masalahnya sangat kompleks, kata salah satu teman saya saat kami berbincang di gedung Negara Grahadi. Masalah itu meliputi konflik karyawan dengan pihak manajemen, lalu pengelolaan KBS, banyaknya satwa yang mati, dan juga pencabutan izin konservasi dari pemerintah. Lantas, berbekal sedikit informasi, saya memberanikan diri kesana dan mulai menggali informasi. Selanjutnya, apa yang saya temukan disana, sangat erat kaitannya dengan sebutan yang melekat dengan kebun binatang itu setelahnya.

Saya datang kesana bersama salah seorang teman saya. Sebelum masuk, saya melihat banyak orang berseragam sedang duduk-duduk di luar KBS. Apa yang mereka lakukan, waktu itu saya masih tidak terlalu peduli. Ternyata, apa yang saya lihat waktu itu, bahkan hingga saat ini adalah efek dari masalah di KBS yang sangat kompleks tadi. Mereka adalah korban dari konflik manajemen. Akibatnya, mereka yang seharusnya telah diangkat dengan Surat Keputusan dari manajemen lama, kembali menelan pil pahit karena SK manajemen lama tidak diakui oleh manajemen baru. Lantas nasib mereka menjadi terkatung-katung yang akhirnya membuat mereka dipecat oleh pihak manajemen baru. Jumlah mereka tak sedikit, 30 orang.

Menurut salah seorang karyawan yang diPHK sepihak itu, Dinas Tenaga Kerja bahkan sudah menghimbau pihak manajemen baru untuk mempekerjakan mereka lagi, dan membayar seluruh gaji bulan yang telah dilewati. Namun, putusan melalui pengadilan tersebut tak digubris. Pihak manajemen malah mengajukan kasasi ke tingkat Mahkamah Agung. Hingga saat ini, nasib ke-30 karyawan KBS sangat menyedihkan. Mereka kehilangan sumber penghasilan, di sisi lain, mereka memiliki beban tanggungan keluarga. Saat saya mencoba mengklarifikasi masalah tersebut kepada pihak manajemen melalui Public Relationnya, dia menolak berkomentar dan menyerahkan masalah tersebut pada pihak Human Resource Development. Lantas, saat saya mencoba mengklarifikasi ke pihak HRD, tidak ada tanggapan sama sekali. Kesimpulan umum saya, memang terjadi masalah dalam lingkup kebun binatang yang menjadi andalan masyrakat jawa Timur tersebut.

Tak hanya itu, ketika masuk ke dalam KBS, hal pertama yang saya tangkap adalah sepi. Ya, ternyata hewan yang ada di KBS tidak selengkap nama besarnya. Apa yang saya lihat disana tak lebih baik daripada kebun binatang andalan masyarakat Yogyakarta Kebun binatang ‘Gembira Loka’. Selain sepi, kondisi satwanyapun terbilang menyedihkan. Ada satwa yang dalam satu kandang disesaki oleh satu jenis spesiesnya, namun tak jarang saya dapati satwa yang hanya sendirian tanpa pasangan. Bahkan, saya mendapat informasi bahwa satwa di KBS sudah banyak yang mati. Hal itu membuat saya lebih miris lagi dengan kondisi KBS. Kabar terakhir yang saya dapat, seekor jerapah dan Celeng Goteng mati. Jika Jerapah mati karena didalam perutnya terdapat 20 kilogram benda asing seperti plastic yang tak bisa dicerna, Celeng Goteng malah mati akibat racun Sianida.

Lantas, predikat ‘Dead Zoo’ KBS tidak berhenti disana. Karena masih banyak satwa yang hingga hari ini mati. Terakhir, seekor ikan terbesar air tawar Aipama juga ditemukan mati. Dari data yang saya dapatkan dari humas KBS, angka kematian satwa di KBS berkisar 50an setiap bulan. Bukankah itu aneh?! Menurut saya, sangat layak jika izin KBS sebagai wahana konservasi satwa dicabut oleh pemerintah. Karena manajemen KBS tidak mampu mengelola kekayaan fauna langka di Indonesia. Menurut humas KBS, satwa yang mati dari berbagai jenis, yang paling banyak didominasi oleh burung dan mamalia. Akibatnya, predikat ‘Dead Zoo’ memang layak jika disematkan pada kebun binatang kebanggaan Jawa Timur ini. Bahkan anak sekolah dasar di Surabayapun telah memiliki persepsi bahwa KBS merupakan ‘Dead Zoo’.

Bagaimana penyelesaiannya? Harus melibatkan keseriusan pihak terkait. Permasalahan antara manajemen dan karyawan juga menjadi pemicu bagaimana pengelolaan KBS tidak diurusi secara benar. Pasalnya, akibat kebijakan manajemen baru, berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari mantan karyawan, ada seorang pawang gajah yang sudah ahli dan bersertifikasi justru dipindah menjadi security. Bukankah itu hal yang ironis? Atau justru masalah ini sangat politis?! Kita belum mampu melihat faktanya. Yang perlu kita pikirkan di sini, ada seekor Bison di KBS yang saat ini sedang sekarat. Bahkan untuk berjalan saja bukan lagi melihat dengan mata, tapi sudah menggunakan instingnya karena kedua matanya buta. Ironisnya, satwa bukan asli Indonesia itu hanya satu-satunya di KBS.

Maka kesimpulan KBS menyandang predikat ‘Dead Zoo’ harus segera dibenahi. Bagaimanapun caranya. Butuh keseriusan dan partisipasi banyak pihak untuk menyelesaikannya, agar fungsi konservasi kembali berlaku untuk kelestarian kekayaan fauna di Indonesia. Damai Indonesiaku, damailah satwa-satwaku.

Surabaya, 3 Mei 2012
Agus Raharjo

Rabu, 22 Februari 2012

Aura Keraton

Selasa malam, saya berangkat untuk meliput sebuah acara pembacaan puisi. acara itu adalah peringatan satu abad Hamengkubowono IX yang jatuh tepat 12 April nanti. Yang menarik minat saya untuk datang walau itu bukan tugas kantor adalah disebut nama GKR Pembayun dalam undangan peliputan. GKR adalah kependekan dari Gusti Kanjeng Ratu. Dan pembayun mengingatkan saya akan sebuah nama jalan ketika saya melakukan liputan khusus ke kota Mataram Islam lama di Kotagedhe, Yogyakarta. Entah nama itu merujuk pada satu hala atau bukan, yang pasti saya penasaran ada dua nama Pembayun yang sama. Satu disebutkan dalam undangan pembacaan puisi cinta GKR Pembayun dan satunya adalah jalan Nyi Pembayun.

satu nama yang mungkin hampir sama saya temukan ketika membaca novelnya Afidah Afra 'De Wints' (ejaan judulnya agak lupa). namun di salah satu tokohnya, Afifah menggunakan nama Prembayun (ada huruf 'R' di dalamnya). Saya menduga nama tersebut memang menjadi legenda tokoh perempuan hingga namanya banyak disebut-sebut.

Kesan yang saya tangkap ketika melihat ada nama Nyi Pembayun adalah seorang tua yang menjadi generasi awal pendirian kotagedhe. Yah, walapun saya tidak mencari data-data terkait nama itu. Saya hanya sekadar menuliskan kesan tiga nama yang sering disebut. Dalam kisah di novelnya, saya membaca tulisan Afifah sangat mirip atau sengaja dimirip-miripkan dengan novel Bumi Manusianya Ananta Toer. Namun, justru hal itulah yang membuat saya 'illfeel' untuk melanjutklan membaca novel itu. Masalahnya, saya seperti membaca jiplakan Ananta Toer yang jauh lebih tidak bermutu dibanding novel-novel remaja biasa. Saya kira novel itu ingin menjadi novel sejarah, namun, tidak mendapatkan auranya. Terlebih ketika menceritakan keraton dan kehidupan masa lalu.

Bisa jadi, penulis tidak mengalami atau mempunyai interaksi langsung dengan riset-riset sejarah seperti yang dilakukan Ananta Toer. Hal itulah yang membuat saya melepas novel yang katanya best seller tersebut, dan berhenti membacanya. Afifah terlalu membawa ide 'agamis' dalam tulisannya. Inilah kesan nama Prembayun, yang memang sengaja belum saya buat uraian panjang untuk mereview novel tersebut. Mungkin suatu saat nanti saya akan membacanya, namun sekadar untuk memberikan tanggapan. Mungkin.

Nama yang kedua adalah Nyi Pembayun, sebuah jalan di Kotagedhe sebelum memasuki pasar Kotagedhe. Kalau diterangkan jalan itu merupakan jalan menyilang dari jalan Mondorakan. Posisinya ada setelah jembatan yang menghubungkan jalan Tegalgendhu dengan Jalan Mondorakan. Sesuai dengan alur kisah Mataram Islam lama, bisa jadi jalan itu mengambil nama seorang tokoh yang hidup di jaman Mataram Islam. Bisa jadi.

Nama yang ketiga ini yang paling menarik untuk saya. Ternyata GKR Pembayun adalah sosok yang hingga saat ini masih ada. Ia adalah putri pertama Hamengkubuwono X, yang saat ini masih jadi orang nomor satu di Yogyakarta. Saya baru pertama melihat sosoknya di acara pembacaan puisi di Roemah Pelantjong di jalan Magelang itu. Awalnya, saya tidak mengetahui kalau orang yang berbaju biasa tersebut adalah seorang putir keraton. Namun, saya sudah merasakan aura berbeda ketika ia duduk di kursi-kursi yang disediakan oleh panitia.

Saya bertanya pada seorang wartawan senior, siapa wanita yang duduk paling depan itu. Teman saya menjawan pertanyaan saya dengan menuliskan sebuah nama pada booknote'nya dengan sebuah huruf tersusun tegas, GKR Pembayun. Sontak saya tercengang, baru sekali itu saya merasakan bertemu langsung dengan seorang putri keraton. Lantas saya hanya bisa memaklumi apa yang saya rasakan, bahwa sebelum saya mengetahui ia seorang putri keraton, auranya sudah mengatakan bahwa ia bukan wanita biasa.

Kemudian saya mengamali gerak-geriknya, dan saya meyakini ada aura yang membedakan antara wanita biasa dnegan wanita dari kalangan keraton. Tingkahnya seperti telah dipelajari hingga mengakar pada kepribadiannya sendiri. Jika dibandingkan dengan gerakan seorang foto model, saya yakin cara berjalannya Putri Keraton itu lebih indah. Cara dia vertutur, cara dia memandang, dan cara dia memberikan gerakan tubuhnya, mencerminkan aura keraton Jawa yang gemulai dan harmonis. Inilah pengalaman pertama saya melihat secara langsung seorang putri raja yang masih disegani di Idonesia. Apakah saya terpukau? Hanya kesan saya yang mengetahuinya.

Selasa, 14 Februari 2012

Surat Untuk Cinta #8


Selamat hari yang gembira untuk Cinta…
Tapi bukan karena hari ini sebagian orang merayakan hari kasih sayang. Aku tidak ikut merayakannya. Dan kuyakin kau juga tidak.

Bagaimana kabarmu disana, Cinta? Apakah masih sering dilanda hujan, ditempatmu? Hujan yang terkadang memberi lambang duka, sedih dan tangis.

Mungkin sebagian dari orang-orang ditempatmu itu, hujan membuat kesedihan secara nyata. Membuat negara kerepotan untuk mengungsikan penduduk, membuat warga sendiri harus menerima kenyataan bahwa mereka harus takluk pada alam. Namun disini, ditempatku sekarang, hujan sangat dinanti-nanti. Ia dipuja, disanjung. Bahkan hewan semacam ‘Kinjeng’ pun akan bernyanyi. Nyanyian itulah yang membuat petani—sebagian masyarakat disini masih petani, bersiap untuk menanam. Ya, walaupun juga terkadang hujan membuat seseorang menjadi malas beraktifitas. Namun, airnya sangat dinanti-nanti. Saat itu, padi-padi akan segera menghijau diantara pematang sawah.

Taukah kau, Cinta? Aku mendamakan kehidupan seperti itu. Ada sawah, petani, ternak, dan udara segar di pagi hari. Apakah kau juga memimpikannya?

Aku menyadari, di tempatmu, gedung-gedung berebut mencium langit. Sawah, ladang, dan tumbuhan yang hijau hanya jadi poster kampanye ‘Global Warming’. Disini, kau tidak hanya menikmati negeri impian itu sebatas melihat gambar kalender. Namun, kau akan menemukan semua pesona gambaran hidup asri disini. Di negeri yang bisa kausebut kampung atau desa. Disini, sekelilingmu adalah hamparan padi yang menghijau. Sungai yang mengalir airnya jernih. Dan keramahan penduduk akan menyapamu. Semua itu bukan kisah di dalam poster yang kaulihat dikantormu, atau di jalanan yang biasa kau lewati. Disini, semua itu nyata.

Na, terkadang—seringkali, hujan mengingatkanku akan masa lalu. Masa lalu saat kita masih mencari, siapa diri dan dimana bediri. Kala itu, kau mungkin tak pernah menerka, ada apa dengan hari ini. Saat itu juga, aku mungkin tak bisa memilah, impian dan kenangan. Semua tentang kau. Masa lalu, berlalu, lantas menyisakan ingatan tentang kenangan.

Na, suatu kali, kukunjungi titik pangkal masa lalu suatu bangsa. Namanya Mataram Islam. Ia, bagi sebagian orang hanya tinggal direntetan tulisan buku sejarah di sekolah. Namun disini, ia masih hidup. Hidup dengan semangat dan mitos-mitos yang melestarikannya. Ia pernah menjadi besar, lalu sekarang hanya tersisa puing-puing berserakan. Seperti kenangannya berserakan di buku-buku sejarah dan ingatan masyarakatnya. Namun, bagiku, ketika aku singgah disana, barang sejenak menikmati betapa besar ia masa itu, aku ingin menyesap kenangan yang tersebar menjadi tulisan yang mungkin tak ada arti lagi. Aku sungguh menikmatinya. Seolah aku ingin benar-benar dapat kembali mengulang masa itu. Atau setidaknya ada di saat kenangan itu mulai menjadi cerita.

Ada masa saat kita ingat kenangan, bukan? Mungkin saat itulah terkadang seseorang menemukan kembali rasa bahagianya. Bukan uang, harta, pangkat, jabatan ataupun segala rupa penghias dunia. Karena masa itulah yang paling setia. Ia ada dibelakang kita, selamanya.

Na, ingatkah kau pada saat sujud menjadi peletup kecintaan? Disana ada rongga yang minta diisi. Apa yang mengisinya semoga tetap sebuah ketentraman hati. Ah.. aku semakin lupa, bahwa selama ini aku memang merindukanmu. Suka menemukanmu dalam kenangan yang dibawa masa lalu. Merindukan gejolak dikala kita berjauhan seperti ini. Aku lupa itu, mungkin juga tak menyadarinya. Kenangan yang dibawa masa lalulah tempat rindu itu bersembunyi. Ia setia ketika kau ada di dekatku. Jadilah seperti itu, karena kerinduan ini jadi harta tak terduga yang suatu kali akan kutemukan lagi. Dia ada di dekat, tapi terkadang tak kupahami, atau kusadari. Begitu juga kau.

Biarlah tetap seperti itu, Cinta. Dengan begitu kita dapat saling meresapi lagi. Menikmati setiap nafas yang kauhirup terkandung namaku, dan di nafasku ada namamu.

Cinta, pernahkah kau tahu bahwa Eyang Pram pernah menyampaikan, bahwa temannya Minke yang semakin jauh dengan Annelies pernah mengungkapkan, di depan manusia itu ada jarak, ia menjadi pembatas antara kita dan ufuk yang jauh disana. Jika kita mendekat ke ufuk, ia akan berlari, yang ada di depan kita masih juga sama, jarak. Karena mereka abadi. Itulah yng terjadi diantara kita, ada jarak di depan kita, beruntung kau bukanlah ufuk, maka saat aku atau kau mendekat, jarak semakin pendek, dan tak akan ada ketika kita menyatu. Aku dan kau bukan ufuk. Tapi aku dan kau adalah cerita yang akan jadi kenangan masalalu bagi hari esok.

Kuakhiri surat ini dengan segenggam haru yang mungkin ingin segera bertemu. Agar kita memang bukanlah ufuk. Na, hati-hati di tempat penuh ketidakpastian seperti tempatmu itu. Semoga kau selalu baik-baik.

14 februari 2012
Agus Raharjo

Tragedi Jalan Mahakam

Senin, 19 September 2011. Jam 12 siang saya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dapat telf dari kantor, untuk meliput rapat kerja Komisi III DPR RI di kawasan Senayan. Sempat bingung juga jalannya, karena saya mengendarai motor. Setelah tanya-tanya ke beberapa orang, akhirrnya saya ada di depan ruang rapat kerja Komisi III. Sungguh malang, ternyata rapatnya telah selesai. Saya memberitahu kantor, dan dikabari telah terjadi kericuhan di SMA 6 Bulungan antara Wartawan yang melakukan aksi dengan anak-anak siswa SMA 6. Tanpa pikir panjang saya segera meluncur ke tempat kejadian. Tepatnya di jalan Mahakam.

Di perjalanan, saya sempat kebingungan dengan arahnya. Saya merasa tersesat, namun tidak terlalu jauh, kata atasan di kantor yang saya kabari. Kemudian saya bertanya di sana-sini mana sekolah SMA 6 Jakarta. Setelah perjalanan yang melelahkan, akhirnya saya menemukan lokasi itu.

Saya tiba sekitar pukul 14.00 WIB. Di lokasi, masih banyak teman-teman wartawan dan juga aparat kepolisian. Saya mendekat, mencoba mencari tahu perihal bentrokan yang terjadi tadi pagi saat wartawan aksi damai. Setelah saya tanya ke beberapa wartawan, ternyata pangkal masalahnya terjadi pada hari Jum'at kemarin. Saya dengar dari teman-teman wartawan, juga atasan saya, bahwa hari Jum'at lalu ada wartawan TV dari Trans dikeroyok anak-anak SMA 6 saat sedang meliput tawuran. Kaset video wartawan hilang. Alasannya, saat wartawan mengambil gambar mereka yang tawuran, anak-anak SMA tidak menerima. Bisa jadi mereka malu kalau ketahuan tawuran. Mendengar hal itu, sontak saya merasa emosi. Buat saya ini suatu pelecehan profesi. Namun, saya mencoba berpikir dengan kepala dingin, dan saya melanjutkan untuk mengorek kondisi yang telah terjadi di jalan Mahakam tadi pagi.

Sebagian teman-teman wartawan sudah meninggalkan lokasi. Beberapa ada yang melaporkan kejadian tadi ke Polres Jakarta Selatan, lalu yang lain pergi entah kemana. Mungkin melanjutkan pekerjaan mereka. Saya bersama beberapa teman wartawan lain masih tinggal di lokasi. Disamping saya masih mencari bahan untuk tulisan, saya juga berbincang dengan Kapolsek Kebayoran Baru, Pak Hando. Dari obrolan saya dengan teman-teman wartawan dan Pak Hando, saya jadi tahu bahwa tawuran di SMA 6 memang sering terjadi. Bahkan, kata Pak Hando, ini sudahseperti kutukan. Katanya sejak dulu sudah sering tawuran. Sudah sejak tahun '65. Ada teman wartawan yang nyeletuk bahkan sebelum merdeka. Walaupun itu bercanda, namun saya mengerti, tawuran SMA di Jakarta memang sering terjadi.

Pukul 14.25 WIB, saya yang sedang duduk dengan Pak Hando, menjadi waspada ketika segerombolan anak SMA melintas didepan wartawan. Mungkin mereka akan pulang, atau masuk sekolahan. Teman-teman wartawan yang masih tinggal bertanya dari SMA mana mereka. Tapi mereka diam saja dan berjalan dengan angkuh dan cuek. Mereka tidak menghirauakan pertanyaan wartawan. Setelah ada sorakan dari wartawan yang mengatakan 'Hidup 70! SMA 6 ga akan menang!' Anak yang berjalan paling depan balik badan dan menantang wartawan dari kejauhan. Sontak wartawan sadar bahwa mereka anak SMA 6. Beberapa wartawan yang terpancing emosi langsung mengejar, dan terjadilah bentrokan kecil. Jumlah wartawan dan anak SMA tidak begitu jauh. Namun, dari sisi rombongan anak SMA datang tadi (dari perempatan Bulungan) juga terjadi bentrokan lain. Tak berapa lama, bentrokan membesar dengan jumlah anak SMA yang semakin banyak. Polisi telah meletuskan tiga kali tembakan peringatan, tetap tidak digubris. Sepertinya mereka yakin bahwa polisi tidak akan benar2 menembak mereka. Wartawan yang hanya sekitar 20 orang kewalahan menghadapi ratusan siswa. Wartawan perempuan ketakutan dan menyelamatkan diri. Anak SMA semakin beringas mengejar dan memukuli wartawan. Tak luput salah satu wartawan perempuan dari Trans kena tendangan saat akan memasuki mobil untuk menyelamatkan diri.

Saya tahu, ketika saya ikut berlari maka saya juga tidak akan luput dari kejaran siswa SMA yang jumlahnya ratusan itu. Lalu saya memutuskan untuk tetap berjalan, mencoba untuk setenang mungkin agar tidak dicurigai sebagai wartawan. Saya berjalan sambil memegang HP seperti tidak terjadi apa-apa. Saya menuju ke Blok M Mall untuk mengamankan diri. Saat berjalan, saya dilewati puluhan siswa yang mengejar wartawan. Saya benar-benar tidak mengerti dengan keadaan ini. Siswa SMA sangat beringas seperti melihat musuh dalam sebuah peperangan. Semua wartawan menyelamatkan diri, saya tidak tahu kemana mereka semua.

Setelah saya sampai di Mall, saya balik badan dan melihat lokasi, ternyata lokasi telah sepi. Wartawan sudah tidak terlihat lagi. Lalu muncul rombongan siswa SMA yang saya perkirakan berjumlah ratusan berjalan melewati lokasi. Mereka seperti sekelompok geng yang saya lihat di film-film Mandarin yang akan berperang. Dalam hati saya berkata, mereka masih sempat mensweeping lokasi. Seperti gerombolan anggota geng, bukan siswa SMA.

Lalu, setelah beberapa waktu, saya memutuskan untuk meninggalkan lokasi kejadian. Saya berniat menulis lebih lengkap soal insiden di SMA 6 tersebut. Saya searcing tentang insiden di internet, ternyata sudah banyak tulisan maupun akun tweeter yang membahas masalah bentrokan itu. Banyak fakta baru yang saya temukan. Saya baru mengetahui bahwa ada yang melempar mangkuk soto ke arah guru SMA. Saya juga baru tahu bahwa siswa SMA di salah satu akun tweeter menyebut bangga telah bisa membuat bonyok wartawan. Sungguh, itu kejadian ironis dalam dunia pendidikan dan profesi wartawan. Ada lagi yang bilang, anak SMA emosi ketika ada wartawan yang menaiki dinding gerbang. Mereka mengaku tidak terima ketika sekolah mereka 'diinjak-injak'.

Ada pertanyaan besar buat mereka anak SMA, apakah mereka juga tidak bertanya seberapa emosi wartawan ketika profesinya dilecehkan? Bahkan dihalangi dan dikeroyok? Sungguh, betapa amatiran mereka.

Dan untuk wartawan, setidaknya, dapatkah ditempuh jalan yang sopan dan beretika ketika meminta pertanggungjawaban atas suatu insiden? Kita semua emosi, tapi mereka perlu pembelajaran yang baik. Kalau mediasi sudah ditempuh, lantas apakah konfrontasi menjadi pelengkap lain? Semoga kasus ini menjadi pijakan koreksi bagi kedua belah pihak. Terkhusus siswa SMA yang suka tawuran. Ingatlah, perjalanan hidup kalian masih panjang. Banyak rintangan yang lebih berat dari sekadar mengalahkan lawan dalam tawuran. Kebanggaan sejati bukan pada menang atau kalah, tapi bagaimana kekuatan kita berguna untuk masyarakat luas. Bagi bangsa dan negara ini. Kalau kalian masih mengaku generasi penerus bangsa. Pemuda yang bisa dibanggakan Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan pendiri bangsa ini.

Saya dan teman-teman wartawan merasa dihina ketika profesi wartawan diinjak-injak seperti itu, begitu juga anak SMA merasa dihina jika dinding gerbang mereka diinjak-injak. Lantas kalau sudah saling memahami, jangan pernah memulai untuk menghina, bahkan merusak dan mengeroyok.
Salam Indonesia untuk Semua!!!