Minggu, 23 November 2008

Cinta; “Kepada Seorang,”

Sebuah luapan bahagia mungkin dapat kita artikan itu cinta. Segenggam kerinduanpun kita katakan bahwa kita sedang jatuh cinta. Atau bahkan duka yang dalam yang kita rasakan juga kita namakan cinta. Lalu, apa sebenarnya cinta itu? Apakah sesuatu yang mandiri, berdiri sendiri. Seperti yang ditulis Kahlil Gibran: cinta tidak memberi apa-apa kecuali dirinya dan tidak membawa apa-apa kecuali dari dirinya/ Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki/ karena cinta sudah cukup bagi cinta//
Sebanyak apapun perbendaharaan kata yang kita miliki, sepertinya tidak akan pernah cukup untuk melukiskan atau mengungkapkan apa yang kita rasakan sebagai sebuah wujud dari cinta. Karena siapa tahu yang namanya cinta itu? Apakah kita akan berusaha menafsirkan dengan bahasa kita sendiri, lalu mencoba meresapinya. Mungkin makna yang akan dirasakan masing-masing orang akan berbeda. Atau kita perlu bertanya pada orang yang sedang merasakan itu?
Putu Wijaya, “sang teroris mental” mengartikan bahwa cinta adalah memberi dan menerima. Baginya, cinta adalah sebuah kombinasi yang tidak bisa diceraikan antara keinginan untuk memberi dan menerima. Tidak bisa dipisahkan. Karena kalau dipisahkan akan mempunyai arti yang lain. Apakah itu sudah cukup bagi seseorang yang sedang jatuh cinta untuk mendefinisikan cinta? Atau apakah bagi kita cinta selayaknya sebuah ketulusan seperti yang ditunjukkan Joko Pinurbo (Jokpin) dalam sajak “kepada puisi”nya: Kau adalah mata, aku air matamu? Meskipun ketulusan itu bukan ditujukan pada seseorang, melainkan pada puisi.
Lalu bagaimana orang yang berada dalam situasi dan kondisi berbeda dalam mengartikan cinta? Bahkan mungkin dengan berbagai ungkapan yang berbeda pula. Layaknya keinginan kesederhadaan Sapardi Djoko Damono dalam “Aku Ingin” : Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;/ dengan kata yang tak sempat diucapkan/ kayu kepada api yang menjadikannya abu// Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/ awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sampai sejauh ini, tema-tema cinta telah beranak-pinak menjelma menjadi karya-karya yang mengagung-agungkannya. Entah itu cinta yang telah diwujudkan dalam sebuah lirik lagu yang dibumbui dengan irama melodi yang menyentuh kedalaman hati. Atau banyak puisi yang dengan berbagai kelincahannya mencoba memaknainya. Cinta itu universal. Luas dan mungkin tak akan ada batasnya.
Tak seorangpun akan mampu untuk menolak kehadirannya, atau mungkin ingin menghadirkannya—dengan ketulusan yang nyata. Bahkan mungkin saya sendiri, sebagai manusia biasa yang mempunyai hati. Saya tak sanggup ketika harus menolak rasa yang semakin dalam menyergap dalam dada saya.
Pernah saya mencoba untuk mengabaikan kehadirannya. Mencari sesuatu yang membuat saya memikirkan seseorang yang telah membuat saya “duka”. Tetapi, yang terjadi adalah sebuah kegelisahan yang teramat sangat. Semakin saya mencoba untuk menyingkirkannya, semakin kuat resapannya merasuk ke jantung hati saya.
Bagi saya, rasa itu sungguh sangat menyakitkan. Sebuah duka. Bagaimana tidak? Saya berada pada posisi yang membingungkan. Saya tidak sanggup untuk membagi rasa itu kepada orang yang membuat saya “duka”. Bukan karena tidak berani, tapi pada kenyataannya bahwa rasa itu belum waktunya untuk dibagi. Sedangkan ketika saya hanya menyimpannya, maka yang tersiksa adalah saya. Saya hanya berharap, ketika memang rasa itu terlampau tajam merobek hati saya—semakin lama memang terasa—ada seseorang yang dapat menenangkannya. Dan dia yang “pantas” untuk tempat membagi itu. Lagi-lagi, semoga dia yang telah membuat saya “duka”.
Saya bukan seorang penyair yang dapat merangkai kata untuk mewakili sebuah arti cinta, juga bukan musisi yang dapat mengalirkan nada dalam penjelmaan terhadap cinta. Sulit memang, tapi itulah sebuah ambiguitas arti dari cinta. Tak ada yang dapat mematenkan apakah artinya. Kalaupun ada, pastilah banyak orang yang akan “membantah” arti yang dipunyai.
Meskipun demikian apa yang telah menjadi arti baku dari cinta itu, tak ada yang akan mengusik menurut masing-masing individu. Bagi saya sangat naïf ketika memaksakan orang lain untuk sama berpikiran seperti kita. Karena saya yakin latar belakang yang mewakili dari arti itu sangatlah beragam.
Saya sampai pada kesimpulan, saya tidak akan mencoba melawan kehadirannya, hanya memang saya perlu berpikir berkali-kali untuk dapat membagi cinta itu kepada yang membuat “duka”. Bukan tanpa alasan, hanya saya terlalu takut ketika cinta yang saya bagi tidak pernah membuatnya tersenyum. Lalu entah mengapa deretan kata-kata tiba-tiba muncul dari kedalaman hati. Mungkin salah satu cara mengalihkan rasa itu adalah saya harus menulisnya. Kata-kata ini adalah untuk seseorang yang membuat saya “duka”. “Kepada Seorang,”

Aku tidak ingin terpaksa tidak mencintaimu
Ketika mendengar lagu itu mengalun
Lirih di dalam hatiku
Kubiarkan saja rasa ini terus menusukku

Aku juga tidak ingin hanyut dalam mencintaimu
Yang membuatku memikirkanmu
Setiap saat dalam waktuku
Karena aku takut

Solo, 15 Oktober 2008
Akhirnya, itulah yang dapat saya resapi tentang apa itu sebuah cinta dengan latar belakang hidup saya. Saya yakin apa yang saya tulis belum sepenuhnya dapat mewakili arti kata-kata itu. Dan lebih bijaknya adalah saya serahkan kepada semua orang untuk mengartikan cintanya menurut apa yang menjadi kedalaman batinnya. Meskipun tema cinta adalah tema “usang” tetapi akan terus menjadi tema yang universal dan bagi orang yang merasakannya akan tetap menjadi yang mewakili hati.

Klaten, 22 Nopember 2008
Agus Raharjo

Jumat, 31 Oktober 2008

Dini hari, di Wahyu Sari Tawangmangu

Setiap waktu yang tertinggal, akan menyisakan masa lalu. Dalam pekat malam, tanpa bintang dan bulan. Angin malam berdesir dari arah utara, menerpaku dingin. Tapi juga panas. Haluan apa yang digunakan untuk berpijak? Kesalahan-kesalahan kecil yang membuat jiwa mencibir. Dari kelakuan, tawa, juga bara yang terpendam.

Hariku indah, tapi memang kadang menyakitkan. Biarpun aku tidak mau menyerah. Tapi itu sebuah kenyataan. Di hari ini, juga hari depan layaknya bumi yang harus berputar. Agar siang dan malam menjadi kisah yang nyata. Di sudut dingin ini. Aku termenung merindukan cerita dari negeri lain. Seperti waktu masih kecil aku selalu membayangkannya. Diantara deret kursi di beranda. Atau di bawah kasur.

Sepintas lalu aku tertegun. Kemudian timbul uraian makna yang yang menjadi sebuah pertanyaan. Dimana diri dan mau kemana ini?

Di sepertiga malam, seperti ini. Tangis menjadi doa saat kening menyatu dengan tanah. Ribuan kata meresap menjadi sebuah pengharapan. Cahaya terang menemukannku dalam sujudku. Membimbingku, kemudian mendorongku jatuh dalam buaian taman Firdaus.

Tubuhku tergerak penat yang terdalam. Kudengar angin menderu dan melantunkan teriakan kegelisahan, seperti ada pertempuran sengit diluar sana. Di luar gerbang rumah tempat aku berteduh. Daun-daun saling beradu. Tak ada yang mengenal menyerah, semua saling tempur dan sikut. Apakah yang menjadi sebuah keyakinan hati? Sedangkan untuk memaknai arti saja laksana mengeringkan samudra dari airnya.

Hari semakin pagi. Sekarang, rasa sendiri mulai menyelimutiku, ketidakpercayaan, bahkan pada siapapun yang ada di sampingku. Aku lelah. Benar-benar lelah. Harus percaya pada air di daun alas. Atau mungkin aku terlalu tidak mengerti, bahwa semua berjalan atas kepentingan dan keinginannya pribadi? Dengan bingkai kelembutan, senyum tenang, dan janji untuk bersama.

Apa yang menimpaku? Hingga saat ini aku ingin menjatuhkan diri. Karena semua kepalsuan ini. Aku tak mampu menerimanya. Bukan karena aku sederhana. Tapi aku percaya, mungkin aku dulu anggap kau juga. Pada keyakinan ini.

Setiap waktu, rasa itu jadi satu kemunafikan. Merajamku dengan kepolosan dan pengkhianatan. Siapa yang berarti?? Aku kira kau tidak. Satu coreng warna pekat melukai kepercayaan ini. Bukan aku menuntut. Tapi itu ada dengan sendirinya.

Aku rasa inilah perenunganku. Dimana aku, dan siapa? Aku jujur pada kesepian. Diapun akan selalu menerimaku dengan kejujurannya, bahwa kesepian itu duka. Tapi aku menerimanya dengan ketulusan. Dia tidak akan menjadi kepalsuan. Sepertimu. Karena sampai sekarang aku masih merasa sendiri.

Aryo aswati; 24 Oktober 2008

Rumah; Metafora untuk Sebuah Kerinduan

Jika aku pulang nanti
Aku ingin canda tawa dalam rumah
Agar selalu ramai hati yang masih sepi


Rumah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, mempunyai arti (1) Bangunan untuk tempat tinggal; (2) Bangunan pada umumnya (seperti gedung). Pada kenyataannya, seperti itulah yang selama ini kita pahami dan rasakan. Rumah, bagi sebagian orang adalah tempat kembali setelah pulang dari dunia luar.

Seperti sepenggal luapan kata diatas. Bagi saya, rumah menjelma metafora sebuah tempat yang menjadi buah kerinduan sang pengembara. Sampai kapanpun, sampai manapun, atau sampai berapa lamapun, pasti seorang pengembara akan pulang. Dan rumah adalah tempat awal dan akhir perjalanan itu. Sayalah seorang pengembara itu. Sampai kapanpun saya akan tetap merindukan keberadaan rumah.

Seperti sebuah doa. Rumah diharapkan menjadi tempat melepas penat. Bahkan dapat merubah keadaan yang sebelumnya segala energi negatif terkumpul. Dengan itu rumah menjadi satu-satunya tempat yang diharapkan membawa bahagia. Tak ada yang lebih menyenangkan ketika kita, jika dalam perantauan panjang hendak kembali ke kampung halaman. Menuju rumah. Kerinduan yang sangat besar menyelimuti hingga mungkin ketika kita dalam perjalanan pulang, kita tersenyum-senyum sendiri. Bahkan untuk orang yang sehari-hari dapat pulang sekalipun. Rumah adalah tempat yang paling nyaman untuk melapas penat dan tempat paling sepi untuk ”lari” dari rutinitas.

Seorang teman saya, Haris Firdaus, suatu kali mengungkapkan ingin melepaskan diri dari perihal memikirkan rumah, tetapi tetap tidak bisa, karena suatu waktu muncul dalam pikirannya keadaan rumah yang kemudian terjadilah perenungan kepada rumah itu. Maka dia dapat meresapkan renungannya menjadi sebuah puisi yang dalam, bukankah itu salah satu wujud bahwa bagaimanapun rumah adalah sesuatu yang selalu kita rindukan.

Mungkin bagi Haris, ”rumah” adalah tempat menerima pengalaman yang membuatnya merasakan keharuan yang dalam, hingga akhirnya ”rumah” adalah sesuatu yang memang tidak mesti nyata. ”Rumah” bisa digantikan menjadi wujud yang lain yang dapat mewakili sebuah persinggahan tentang pengalaman. Bisa jadi yang dirasakan Haris adalah keharuan yang dalam. Akan tetapi bisa jadi berbeda pada orang yang lain.

Berbeda dengan Haris. Saya tak hendak lari dari segala pengalaman yang terjadi di dalam rumah. Meskipun rumah bagi saya adalah rumah wujud dan tak wujud. Semua adalah sama. Tetapi memang rumah yang tak wujudlah yang lebih mendominasi tentang segala pengalaman yang pasti telah dan akan terjadi.

Keberadaan rumah yang selama ini membuat saya merindukannya terlebih bukan pada sebuah bangunan yang membuat saya kagum. Tetapi lebih dari itu, rumah adalah sebuah metafora kerinduan saya pada sebuah sebab. Pengalaman dan orang-orang yang ada di dalamnya. Hingga sampai saat ini, saya masih akan merindukan rumah yang selama ini menjadi tempat persinggahan saya. Dan dapat saya kira, kelak saya akan menemukan sebuah rumah baru. Persinggahan baru, juga sebuah alasan baru untuk sebuah kerinduan terhadapnya.

Tiga baris kata yang saya tulis diatas merupakan sebuah cerminan bahwa saya sedang melakukan percarian kepada rumah yang sejati. Sebuah rumah yang wujud dan tak wujud, yang akan menjadi tempat persinggahan, bahkan mungkin sampai hayat. Tempat saya mencurahkan segala kegelisahan yang setiap hari saya alami, kepenatan yang saya rasakan, juga tempat saya berbagi. Itulah rumah yang merupakan resapan dari semua kerinduan saya.

Saya tak akan menghalangi apa yang dapat saya ridukan dari rumah itu. Entah itu keharuan atau canda tawa. Bagi saya asal saya dapat mencurahkan kerinduan saya ketika senja datang, itu sudah membuat rumah menjadi tempat yang benar-benar saya rindukan. Sekali lagi, saya tidak merujuk pada rumah yang wujud. Saya lebih menekankan rumah sebagai sebuah metafora kerinduan pada sesuatu. Kerinduan tentang sesuatu, juga kerinduan pada siapa.

Memang rumah adalah metafora yang bagi saya mewakili kerinduan itu. Dan harapannya, ketika saya menemukan rumah itu, saya dapat mencurahkan segala kerinduan itu kepadanya. Agar hati yang masih sepi ini menjadi ramai dengan tawa bahagia.


Solo, Oktober 2008
Aryo Aswati

Senin, 20 Oktober 2008

Kaderisasi?

Seringkali kita mendengar kata kata ‘kaderisasi’, terlebih bagi orang yang memang sangat suka bergelut dengan sebuah organisasi. Sebuah anggapan untuk sebuah arti ‘mencetak kader-kader baru melalui proses transfer visi’. Menurut Lie Charlie, “pembentukan kata kaderisasi adalah liar dan tidak berdalil. Karena tidak ada pola pengimbuhan pasti yang dapat dirumuskan.” Memang, kalau kita membuka kamus bahasa Inggris, kita tidak akan dapat menemukan kata Caderization, yang kita sangka sebagai asal kata tersebut.
Akan tetapi, tinggalkan sejenak pembahasan tentang bahasa kaderisasi. Yang ingin saya ungkapkan lebih dahulu adalah makna dibalik kata kaderisasi yang sering terdengar ketika sudah berada dalam lingkup sebuah lembaga, organisasi, maupun gerakan. Apa sih kaderisasi itu? Mungkin, setahu saya, seperti yang saya ungkapkan di atas. Bahwa kaderisasi adalah upaya mencetak penerus yanmg mempunyai visis yang sama dengan kita. Siapa yang bakal menjadi penerus sebuah estafet “perjuangan”.
Entah, barangkali kita sering mendengar tentang iron stock, dan siapa yang dengan bangga akan mengaku sebagai bagian dari iron stock itu. Ya, sekumpulan anak muda yang secara heroik bercita-cita merubah keadaan –sebagian menyebut dengan kemapanan-- yang dianggap kurang baik. Sebagian mahasiswa yang mengaku aktivis. Asumsinya, ketika sebuah kemapanan terbentuk, maka keadaan akan sulit untuk berkembang lagi. Karena orang-orang yang ada di dalam merasa sudah “keenakan”.
Dalam keadaan seperti itu, sistem pengkaderan akan sedikit lebih sulit, untuk mencetak calon penerus yang minimal sama dengan penerus sebelumnya. Proses transfer visi (wah..berat nih!) yang akan dilakukan hanyalah sebuah formalitas meneruskan tradisi. Bahkan sangat mungkin sekali kalau yang terjadi malah penurunan standar kualitas kadernya. Yah, tapi tetap harapannya adalah melebihi dari generasi sebelumnya.
Ibarat sejarah yang pasti akan selalu berulang, maka keadaan sekarang inipun juga pasti pernah dialamai oleh masa-masa dulu –bukan kualitas kadernya. Ketika sebuah gerakan dan juga organisasi yang tidak lepas dari entitas social, bahwa banyak masalah secara sosial pasti akan dihadapi. Tidak heran ketika ketegangan-ketegangan terjadi dalam sebuah pergerakan, baik antara perbedaan visi antar organisasi, dan bahkan tak jarang “ketegangan yang bersandiwara” di dalam satu organisasi itu sendiri.
Aneh memang. Ketika dalam sebuah organisasi idealnya hanya memiliki satu visi, tetapi terjadi ketegangan yang membuat panggung saandiwara yang luar biasa canggih. Atau dalam pikiran saya, memang satu visi. Akan tetapi dengan jalan yang berbeda-beda? Bener atau tidak ya? Ketika itu memang benar, timbul pertanyaan lagi. Bagaimana konsensus yang terjadi dalam organisasi itu? Apakah memang tidak ada consensus yang mengikat? Kalau itu tidak ada, berarti memang organisasinya bermasalah. Namun bila ada, maka mengapa “ketegangan yang bersandiwara” itu dapat terjadi? Bukankah aneh? Sepemahanan saya, itu adalah masalah. Atau saya yang memang tidak memahami apa itu organisasi ya?
Kita kembali ke permasalahan kaderisasi—pengkaderan. Timbul pertanyaan dalam pikiran saya, ketika dalam sebuah gerakan atau organisasi, terdapat “ketegangan yang bersandiwara”, maka bagaimana prosesi pengkaderan terjadi? Bingung? Saya pikir tidak perlu. Ketika kita masih sebagai orang yang melakukan gerakan atau yang ada dalam organisasi itu, maka jelas konsensuslah yang akan dipakai. Entah bagaimana bentuk konsensus itu. Akan tetapi ketika kita bukan termasuk orang yang bertanggung jawab atas prosesi pengkaderan, maka tidak perlu repot-repot memikirkannya.
Yang ingin saya tekankan disini adalah, bagaimana jika memang kenyataannya “ketegangan yang bersandiwara” itu benar-benar membuat panggungnya dalam sebuah organisasi?
Sungguh sangat disayangkan. Ketika panggung itu benar-benar digelar. Bagaimana dengan bakal calon penerusnya? Apalagi itu terkait dengan sebuah visi yang selama ini dijunjung tinggi. Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab atas semua itu? Saya kira, kedua actor dalam “ketegangan yang berandiwara“ merasa mempunyai tanggung jawab itu.
Aneh memang jika sampai saya menyebut kondisi itu sebagai “ketegangan yang bersandiwara”. Mungkin karena orang-orang yang merasa bertanggung jawab ingin sama-sama menyelamatkan generasi penerusnya. Namun, ketegangan tidak dapat dielakkan. Disamping itu juga, kondisi dibuat seolah-olah seperti biasa. (Hahaha…selamat! Kamu masuk nominasi peraih piala Oscar!)
Lalu, apa yang menjadi hasil dari prosesi pengkaderan itu, jika ada aktor-aktor yang sama merasa bertanggung jawab atasnya? Ada beberapa kemungkinan. Yang pertama, adanya kebingungan bakal calon. Itu terjadi ketika memang mereka melihat ada perbedaan dari orang-orang “atas’. Siapa yang bakal jadi panutan? Mungkin inilah yang ada dalam pikirannya. Jika memang itu terjadi, maka siapa yang dekat dengan bakal calonlah yang akan menjadi panutan (entah yang di atas atau di bawah tanah).
Kebingungan ini juga dapat timbul karena ‘tarik menarik’ calon oleh orang-orang atas. Tapi untuk yang satu ini, saya pikir tidak akan signifikan memberi pengaruh.
Yang kedua adalah sikap apatis dari bakal calon. Apalagi ketika mengetahui ada panggung yang digelar dalam organisasinya. Inipun juga tergantung sisi kecerdasan dan kemauan dari bakal calon. Bukan yang cerdas yang dapat menentukan, tapi dia yang mau ambil bagianlah yang mempunyai hak menentukan.
Lalu bagaimana hasil dari proses pengkaderan itu? Kalau di dalam sebuah organisasi terdapat “ketegangan yang bersandiwara”—apalagi terkait pemikiran—maka saya melihatnya ada pihak yang merasa mengkhianati dan dikhianati (aduh..apalagi ini?). Iya, seperti yang diatas, pasti ada consensus yang tidak disepakati atau lebih buiruknya dilanggar. Iya apa iya??
Nah, ketika bakal calon dididik oleh orang yang bisa dikatakan melanggar, aduh…takutnya nanti sifat-sifat dari pelanggar akan turun. Lalu apa yang akan terjadi ketika semua punya sifat seperti itu? Kalau menurut saya sekalian saja dibubarkan. Mau dicetak seperti apa mereka. Anarkis? Atau lebih parahnya, karena diajarkan untuk loyal pada pikiran dan egoisme pribadi, sewaktu-waktu dapat melanggar konsensus. (Wah…bahaya tuh!)
Sebenarnya semua punya niat baik (kecuali yang tidak) untuk prosesi pengkaderan itu. Tapi mungkin perbedaan persepsi yang tidak disampaikan, atau memang tidak diterima konsensus, membuat gerakan bawah tanah itu muncul. Wah…, yang lebih gawat lagi kalau itu adalah sebuah kekecewaan yang tidak tersampaikan. Gerakan itu akan berusaha menjalar kesana kemari. (wuiiihh…serem…)
Jadi, setidaknya senior harus berani ikhlas. Entah itu berbagi ilmu dengan berpikir jauh kedepan. Jangan berpikir sempit dan pendek bahwa semua kader harus sama seperti saya. Juga transfer yang proporsional terkait tugas dan pekerjaan untuk bekal kedepan. Ok, meskipun hanya sedikit dan dangkal semoga bermanfaat. Dan pesan untuk orang-orang yang kekecewaannya terlalu memuncak--terus menghasilkan gerakan bawah tanah. Mengutip ucapan Pramoedya Ananta Toer,"jangan kau kira bisa membela sesuatu, apalagi keadilan, kalau tajk acuh terhadap azas, bniar sekecil-kecilnyapun....".

aryo aswati
Solo, 2008

Rabu, 08 Oktober 2008

hari ini hari hujan

Hari ini hari hujan.
masih saja kau memeluk angin
walaupun juga yang tersentuh adalah dingin
dan tak pernah dapat kau genggam dengan erat

Hari ini hari hujan,
sedih yang terasa jadi semakin pilu
airmata tak lagi terasa
karena gerimis meniadakan
air yang menetes di pipimu

mungkin kau kira kita tak pernah dapat jawaban,
mengapa hari ini hari hujan

aku selalu memperingatkan,
jangan kau sesali kesedihanmu
aku tahu hari ini akan terjadi
ketika koyak merangkai tangis
pendar nyala mata-mata penuh pasrah
yang berdiri disamping
sebuah nisan dari pejuang yang mati

aku tahu hari ini hari hujan
ketika kesedihan terkumpul,
dan mengalir air dari rahasia langit


Solo, 22 Juli 2008
Aryo Aswati

Minggu, 14 September 2008

hujan kepadaku

hujan memberiku nama
ketika dia datang, dan kau memanggilku
hujan memberiku kesempatan
saat dia jatuh,
dan kau membutuhkan.

Solo, September 2008
Aryo Aswati

Selasa, 12 Agustus 2008

17 Agustus

Rasa-rasanya, saya selalu merindukan tanggal itu. Semakin hari, semakin berganti tahun, selalu saja akan bertemu dengan 17 Agustus. Hari yang bagi sebagian orang adalah hari yang benar-benar menjadi sebuah sejarah yang akan dikenang dalam pikiran. Dimasukkan dalam hati, dan menjadi sebuah kenangan yang memikat. Juga untuk saya.

Hari ketika sekitar pukul 11.00—kata Ibu saya—adalah hari dimana saya menghirup udara dunia untuk pertama kali di tahun ’85 waktu itu. Saya yang tidak pernah dapat menolak bahwa saya akan dilahirkan oleh Ibu saya. Seorang wanita yang lahir dan besar di Klaten. Tapi itulah rahasia Ilahi. Yang saya yakini adalah bahwa saya lahir dan besar di Klaten dari Ibu saya adalah bukan tanpa alasan. Sesuatu sebab yang membuat saya terlahir di tanggal itu juga.

Juga, tanggal ketika gegap gempita kebebasan telah berkumandang di seantero Nusantara. 17 Agustus 1945, hari yang menjadi sebuah kebanggaan bagi anak negeri atas kemerdekaan dari penjajahan. Meskipun hanya sebagai penghibur sementara. Karena senyata-nyatanya negeri kita tidak sepenuhnya terbebas dari sebuah “perlakuan penjajah”. Hanya dengan wujud dan cara yang lain. Lebih “mudah” serta lebih “menyenangkan”.

Mengapa saya dapat beranggapan bahwa itu lebih “mudah” dan “menyenangkan”. Saya bukan bermaksud apa-apa, hanya saja saya melihat bahwa kita seperti tidak tahu bahwa kita sedang mengalami “perlakuan penjajah”. Atau bahkan kita terlalu naïf sehingga tidak mau tahu apa yang terjadi pada diri kita. Itulah yang membuat kita masih membiarkan “perlakuan” itu terjadi pada diri kita. Jadi, bisa saya katakan, bahwa wujud perlakuan ini yang menjadikan kita lebih “mudah” mengalami “perlakuan penjajah” dengan cara ini kita “dianggap” telah masuk dalam perangkap penjajah.

Kemudian saya katakan “menyenangkan” oleh karena dengan wujud-wujud yang sulit ditolak oleh manusia—berupa kesenangan duniawi—membuat kita menikmati dari semua agenda besar penguasaan. Entah itu dengan nikmatnya konsumsi atas segalanya, atau bahkan budaya yang serba instant.

Saya jadi miris ketika melihat tahun demi tahun berganti, dan selalu melewati tanggal 17 Agustus. Bukan karena saya hari itu berkurang usia atas keberadaan saya di bumi. Lebih pada semakin lama saya melihat bahwa makna tanggal 17 Agustus semakin lama meluntur pada jiwa penerus bangsa.

Apa yang sebenarnya telah terjadi? Jika dulu waktu kecil saya selalu dengan semangat mengikuti upacara. Mencoba membayangkan betapa susahnya seseorang berjuang ketika mengheningkan cipta berlangsung. Apakah yang dirasakan anak-anak sekarang sama seperti yang saya rasakan dulu.

Saya kira tidak. Anak-anak sekarang telah bangga ketika dirumahnya ada Playstation. Juga lebih bisa menghayati ketika sibuk dengan membaca sort message service (SMS). Mungkin juga karena mereka tidak pernah tahu atau diberi tahu betapa beratnya untuk membuat mereka menghirup udara kebebasan di negeri ini.

Tapi bagi saya pribadi, 17 Agustus adalah hari yang sangat bersejarah dan selalu saja saya senang mengalaminya. Tanggal yang selalu saja membuat saya bangga karena tanggal lahir saya sama seperti “lahirnya kembali” Indonesia. Tempat saya hidup, dan mencoba memahami untuk apa saya hidup di dunia ini.

Solo, 2008
Aryo Aswati

"Pengobanan?"

Selalu ada sebuah alasan untuk menjadikan orang lain “patuh” atas kehendak pihak tertentu. Dalih keshalehan sosial, atau sebuah amanah bisa membuat seseorang merelakan yang lain. Bisa jadi, potensi seseorang tak pernah dapat tergali, atau bahkan sekadar terlihat. Salah siapa ketika sebuah “pengorbanan” dijadikan senjata agar mau bersama-sama “memperbaiki” masyarakat.

Seringkali saya mendengar sebuah pertanyaan, “untuk apa semua ini?” sebuah kerelaan yang terpaksa mengingat pejuang yang lain ada “urusan” yang laen. Memangnya kita juga tidak punya urusan sendiri? Siapa sih yang suka dipaksa ketika pemaksaan itu benar-benar jauh dari nurani, jauh dari hati kita yang terdalam. Entah sampai kapan orang-orang yang “diberi amanah” mampu bertahan? Bisa-bisa ketika jatuh, yang terjadi adalah sebuah kekecewaan yang memberontak. Bukan lagi sikap acuh, tapi menentang.

Terkadang memang sangat memuakkan membayangkan “yang lain” melegang maju karena pengorbanan yang benar diterima dengan senang hati, maksudnya sesuai dengan keinginan dan potensinya. Tidak seperti orang-orang yang menelan mentah-mentah makanan yang paling dibencinya karna pahit yang dirasakan. Mungkinkah pikiran pahit ini menyehatkan? Tidak. Justru sebaliknya, pahit ini dirasakan seolah-olah racun yang perlahan mengekan semua gerak untuk sebuah kemajuan.

Mungkin saya egois? Iya. Tapi sebelum bertanya pada saya, tanyakan itu ke “yang lain”! Kemana saat keshalehan sosial memanggil? Dan amanah meminta uluran tangan. Pasti jawabnya, “kita di amanah yang lain.” Benar bukan? Saya ingatkan sekali lagi! Apakah menurut “kalian” kita tidak punya amanah??? Hingga korban-korban atas nama keshalehan sosial menjamur. Jadi, siapa yang egois sekarang???

Sekarang tanyakan nurani masing-masing!!! Kalau punya. Apakah yang bersedia mengulurkan tangannya atas nama keshalehan social ketika bertolak belakang akan menerima dan bersedia mengulurkan tangannya? Saya pikir, jika itu terjadi pastilah “bersembunyi” di amanah yang lain jalan terbaik. Beda kasusnya ketika amanah itu menjadi obsesi atau minimal jalan yang mempermudah jenjang kedepan kelak. Huh… jawab dengan jujur! Itupun kalau masih punya kejujuran. Atau kejuijuran itu juga dicari celahnya? “Tidak apa-apa, kebohongan ini untuk kebaikan.” Bagi saya, kebohongan tetaplah sebuah kebohongan. Dengan dalih apapun itu tetap saja kebohongan.

Entah apa lagi dalih untuk membenarkan sesuatu sering kita dengar tapi sangat tabu untuk dibicarakan. Bahkan lebih tabu daripada obrolan2 tentang lawan jenis. Hmmm…. Itu kayaknmya yang paling sensitive. Intinya, semua bungkam untuk masalah sebuah “pengorbanan”. Entah takut, atau memang tolol, tapi semua seperti tidak terjadi apa-apa. Hingga sebuah korban benar-benar berjatuhan. Entah keluarga, karir, atau kehidupan pribadi sebagai mahasiswa. Hingga kadang saya dengar yang bisa dilakukan hanya menyendiri dan meneteskan airmata. Karena airmata itu sendiri haram dikeluarkan demi lancarnya generasi-generasi selanjutnya.

Solo, 2008
Aryo Aswati

Kamis, 24 Juli 2008

“Tentang Aku”


Tentang apa yang akan terjadi, bila waktu yang telah tertempuh akan semakin menjauh. Saat jarak yang menjadi tembok pemisah bersabda,” Apa yang telah kulakukan dengan diriku dan tentang sendiriku?”

Jauh, dan jauh sekali arah menjadi kegelapan yang terus menghantui. Asal tidak jauh saja tentang apa yang ada dan menjadi diriku yang bersimpuh patuh di hadapan-NYA.

Sesuatu yang datang tak patut aku pertahankan. Dan yang menghilang tak perlu untuk kucari. Mungkin inilah yang benar tentang diriku.

Tak pernah datang saat yang menjanjikan untuk segera takut atau berani. Hanya saja bila aku berpalingkebelakang dan melihat diriku yang telah lampau. Akan mengerti arti kegelapan itu dan hendak beranjak dari lumpuir yang telah banyak mengotori diri.

Cahaya yang semakin menyilau itu akan segera tak terlihat. Hanya redupnya yang tersisa menemani aku. Tapi tak perlu takut untukku berjalan sendiri di keheningan. Cahaya lain yang seutuhnya terang telah datang diantara jalan yang akan segera kutempuh.

Syukur hanyalah rasa yang hendak disampaikan. Tapi tak ada yang mau berucap apa yang telah dirasakannya selagi seseorang menjadi khilaf.