Minggu, 20 Desember 2009

Mahasiswa dan Demonstrasi

Beberapa waktu lalu ada sebuah catatan yang sengaja ditempel di dinding Facebook saya. Isinya terkait dengan eksistensi mahasiswa—kurang lebih—dan aksi yang dilakukannya beberapa waktu lalu hingga peristiwa anarkisme terjadi. Membaca note tersebut, dalam hati ada sedikit pembenaran, bahwa memang aksi demontrasi mahasiswa sekarang ini memang bukan jalan terbaik untuk melakukan perubahan. Mungkin saja cara itu dianggap kuno oleh sebagian orang, dan terlebih lagi pada kenyataannya demontrasi adalah ‘angin lalu’ bagi pemerintah. Entah kenapa hal itu juga masih saja mendapat sorotan dari media. Karena tidak menjadi hal yang ‘wah’ lagi sebuah demonstrasi.

Pelik memang, atau telah ada dalam kebuntuan gerakan, hingga aksi sudah tak berarti lagi. Melihat atau mungkin mengikuti demonstrasi, memaksa saya untuk mengenang ‘aksi-massa’ yang dulu pernah menjadi sebuah senjata yang begitu diperhitungkan dan ditakuti. Tan Malaka, tokoh yang bagi saya menjadi korban ‘pengkhianatan’ dari kekuasaan, telah membuat ketar-ketir pemerintah dengan ideologi dan gerakannya untuk menegakkan kemerdekaan seratus persen Indonesia.

“Aksi-massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka.” Begitu Tan Malaka menerangkan aksi-massa.

Bisa jadi aksi-aksi yang dilakukan oleh berbagai mahasiswa belakangan ini hanyalah sebuah ‘tindakan berani seorang pahlawan’, atau malah keputusasaan dalam kungkungan status sebagai seorang mahasiswa. Bisa jadi kita lupa, banyak hal yang dapat dilakukan seorang mahasiswa melebihi sebuah aksi demonstrasi. Dalam hal ini saya sepakat dengan isi note dan beberapa komentar yang ditempel di dinding FB saya. Saya sangat sepakat ketika mahasiswa seharusnya terlepas dari kungkungan status seorang mahasiswa yang menampakkan diri dengan demonstrasinya. Dan saya sangat yakin aksi-aksi yang dilakukan tidak mempunyai pengaruh apapun selain diliput oleh media massa.

Tapi terlepas dari itu semua, ada komentar yang menggelitik saya ketika ada yang berkomentar bahwa “mahasiswa yang seperti itu—anarkis—adalah seorang bajingan”. Betapa bodohnya yang berkomentar, atau mungkin dia bukan mahasiswa?! Entahlah, yang jelas sebagai mahasiswa yang seharusnya mempunyai pandangan lebih dalam menyikapi masalah, dia terburu-buru menjatuhkan vonis. Bukankah sebagai mahasiswa kita tidak diajarkan untuk berpandangan sesempit itu?! Perihal anarkisme, itu memang salah dari konteks perilaku sosialnya. Akan tetapi, perlu kita melihat dari sisi lainnya juga. Saya pribadi melihat anarkisme yang dilakukan oleh mahasiswa beberapa waktu yang lalu bisa dimaklumi. Saya tegaskan, bisa dimaklumi, bukan berarti saya sepakat dengan tindakan tersebut. Ketika melihat berita di media massa, terlihat bahwa mahasiswa merusak salah satu rumah makan cepat saji dengan label merk terkenal dan mungkin prestisius bagi sebagian orang.

Terlepas dari akibat tindakannya, bukankah tindakan tersebut dapat diterjemahkan dalam konteks nasionalisme? Atau memang saya yang tidak tahu bahwa merk itu milik anak bangsa? Saya pikir, mungkin memang sudah saatnya kita tanamkan nasionalisme sedalam-dalamnya, dan tegakkan itu dalam setiap perilaku kita—bukan anarkismenya. Lagipula, ketika demonstrasi yang tertib dan sopan tak ada pengaruhnya bagi pembuat keputusan, lalu dengan demonstrasi yang seperti apa yang membuat aksi itu ‘diperhatikan’ oleh pembuat keputusan?!

Masalahnya kita tidak punya pemahaman dalam perilaku boikot. Hanya menjadi sekadar kampanye saja. Padahal, kita telah lama belajar bagaimana kekuatan ‘boikot’ bagi korban-korbannya. Dan kita telah melihat betapa ampuhnya hal itu dalam langkah perjuangan kita.

Juga ada sebuah diskusi yang ada dalam note tersebut. Ketika saya menanyakan perihal apa yang telah dilakukannya untuk perubahan, saya pancing dengan sebuah pertanyaan “Lalu apa yang telah Anda lakukan? Jangan-jangan Anda hanya menonton televisi dan melihat mereka—mahasiswa—berdemo saja?” Tanpa saya duga, jawabannya meleset jauh dari perkiraan saya. Jawaban itu tertulis kira-kira begini,”Setidaknya dengan menonton televisi saya tidak membuat masalah lagi.”

Ah, saya sempat beberapa saat merasa kecewa. Saya pikir orang yeng berkomentar akan memberi jawaban yang lebih dari apa yang telah dilakukan oleh mahasiswa yang demonstrasi. Ternyata, jawaban yang saya dapatkan adalah jawaban dari pikiran kerdil seorang mahasiswa. Bukankah sebagai mahasiswa, pikiran seperti itu seharusnya dikikis jauh-jauh hari? Atau memang benar komentar dari seorang pengamen yang suatu kali pernah saya dengar, bahwa mahasiswa sekarang ini bukan dicetak menjadi seorang intelektuil, tapi dididik untuk menjadi seorang buruh?

Jikapun demikian adanya, maka prediksi Tan Malaka tentang akan banyaknya kaum terpelajar memang benar adanya. Tan Malaka pernah menulis dalam “Massa-Aksi”nya melihat bahwa dulu kaum terpelajar hanya sedikit adanya, bahwa “mereka akan luntang-luntung dan merasakan kemelaratan sebagai buruh industry dengan penuh ‘kegembiraan’ dalam medan perjuangan.” Hanya saja, disini ‘kegembiraan’ itu bukan pada sebuah perjuangan, tapi dalam pikiran sempit.

Jadi, sampai disinikah seharusnya seorang mahasiswa? Jikapun saya menjadi salah satu dari mahasiswa yang berdemo, saya akan bertanya pada para komentator itu,”Buktikan bahwa kalian bisa berbuat lebih dari kami! Atau berilah solusi, dan kita sama-sama berjuang untuk rakyat dan Indonesia!”

“Kubu”

Bagaimana akan bergembira kalau pada detik ini
ada bayi mati kelaparan atau seorang istri
bunuh diri karena sepi atau setengah rakyat terserang
wabah sakit - barangkali di dekat sini
atau jauh di kampung orang,
Tak ada alasan untuk bergembira selama masih
ada orang menangis di hati atau berteriak serak
minta merdeka sebagai manusia yang terhormat dan berpribadi -
barangkali di dekat sini atau jauh di kampung orang.
Inilah saatnya untuk berdiam diri dan berdoa
untuk dunia yang lebih bahagia atau menyiapkan senjata
dekat dinding kubu dan menanti.
(Subagyo Sastrowardoyo)

Semoga dapat dijadikan perenungan!

20 Desember 2009
Agus Raharjo

Surat Untuk Cinta #3

Na, setiap waktu akan berlalu
setiap sedih menyisakan perih,

Na, jangan kau simpan kenangan ini, namun
jangan kau buang perasaanmu,

Na, sepertinya kau terlalu lelah
Sepertinya aku terlalu lemah, kita sama-sama payah…
(RA)

Cinta…
Aku pernah menulis itu dalam sebuah saat yang sedih. Ketika itu, saat-saat merindukanmu adalah perihal yang menyiksa bagiku. Begitu berat, dan begitu menyesakkan. Ada sesuatu yang terasa tak lengkap saat kau tak ada. Dan begitu juga saat aku kesepian secara utuh. Kau, telah menawanku dalam alunan hidupmu.

Kau masih tetap seperti dulu, ada di dalam ruang terdalam dalam hatiku. Ada hal yang tak pernah bisa kita mengerti, mungkin kau adalah hal yang paling indah bagiku, tapi kau tak merasakannya. Tapi apalah artinya pengakuanmu, aku hanya mengerti tentang perasaanku sendiri. Tak bisa menyelami perasaanmu, meskipun aku berusaha menyelami hatimu.

Kau bilang bahwa kau membutuhkanku, aku sungguh sangat senang dangan hal itu. Aku tak akan membuatmu terluka, karena aku juga ingin selalu ada untukmu.
Aku telah semakin kuat, tapi masih saja aku merasa lemah. Aku belum sanggup untuk sepenuhnya tak memikirkanmu. Dalam hidupku, kaulah ‘Rembulan di Langit Hatiku’. Ah…terlalu berlebihankah aku?

Cinta…
Mungkinkah kau juga telah lelah? Menunggu itu memang melelahkan, tapi buah dari kesabaran adalah manis, semoga. Kau tahu, saat aku lemah, kaulah kekuatanku. Kau yang sanggup membimbingku untuk segera berbenah dan bangkit dari keterpurukan. Bukan melalui tangan-tanganmu, tapi hanya semangat dan kata-katamu, juga doa dan perhatianmu. Aku benar-benar merasa menjadi seorang yang seutuhnya ketika ada dirimu. Mungkinkah kau merasakan hal serupa itu?

Ketika aku tahu bahwa perasaanmu sepertiku, kita adalah orang-orang yang ternyata masih lemah. Bukan salahmu, bukan salahku, bukan salah kita. Perasaan itu seolah mengalir tanpa sepengetahuan kita, merasuk semakin dalam, dan semakin kuat dalam hati kita. Lalu kita adalah sebagian yang saling membutuhkan. Berharap akan segera ada pertemuan. Dan kita jalani kehidupan selanjutnya.

Cinta…Aku selalu ingat setiap melodi yang mengalun dari kata-katamu. Aku masih terngiang gemuruh semangatmu. Dan aku setiap hari dapat menggambar kenangan yang pernah kita lalui. Sebelum puasa yang kita lakukan ini.

Ini adalah puasa. Dari kekotoran diri di dunia. Lalu kita berharap menjadi suci untuk perasaan ini.

Ini juga meditasi. Penenangan diri dari segala angkuhnya ambisi, sombongnya ego pribadi. Dan kita beranjak menjadi seorang yang selalu sadar diri.

Puasa ini bukanlah tentang penderitaan. Ini adalah perihal bagaimana menjaga. Tentang saat yang tepat untuk menikmati waktu berbuka, bukan ketika adzan Maghrib berkumandang. Tapi waktu aku meluruhkan perasaanku pada kata indah itu. Cinta.

Mengertikah kau betapa aku mungkin terlalu memuliakanmu? Selayaknya pangeran yang akan menjemput permaisurinya. Seumpama aku Bandung Bondowoso, Prambanan telah kubuat untukmu. Tapi aku tidak akan menjadikanmu arca bagi sempurnanya candi itu. Karena aku ingin menikmati kemegahan candi itu bersamamu.

Cinta…
Jalani hidup ini dengan semua impian yang melekat dalam diri kita. Kita masih punya itu, dan kita akan wujudkan itu bersama-sama. Aku selalu ada untukmu, ingatlah itu. Biarpun sekarang ini ada ruang yang berbeda diantara kita, tapi hati kita telah sama-sama dekat. Kita terangi jalan ini dengan apa yang telah kita yakini, apa yang telah kita pahami, dan apa yang menjadi pegangan kita. Jangan terpancing dengan egonya dunia, jangan merasa iri dengan nikmatnya neraka di kanan-kiri, karena kita adalah kita. Dan kita adalah sebagian yang ingin menyatu dengan puasa ini.

Biarpun aku masih lemah, biarpun aku terlalu payah, tapi aku juga masih ingin menjadi yang terbaik untukmu. Jangan lelah, jangan pernah lelah untuk menuntaskan puasa ini. Karena kita sebenarnya tidak ingin menjadi payah, meskipun kita adalah makhluk yang sebenarnya terlalu payah.

Ingatlah setiap baris kata yang coba kita sematkan. “Ada aku yang membutuhkanmu” dan “aku yang selalu ada untukmu”. Itulah pegangan yang akan kita pegang, karena kita akan mewujudkan itu seutuhnya ketika saatnya kita telah berbuka. Dari puasa ini.

Solo, 20-21 Desember 2009
Agus Raharjo

Kamis, 10 Desember 2009

Mimpi

Tak seorang akan tahu
kur siapa yang nyanyi
pada sebuah magrib
dalam mimpiku

…. (GM, “sajak sehabis mimpi”)

Tak seorangpun akan tau. Begitulah sang penyair memberi batas dengan orang lain terhadap alam nyata dan alam bawah sadar yang dialaminya. Tak seorangpun akan tau, menjadi sebuah gertakan yang tegas selayaknya bahwa mimpi kemarin malam telah terjadi dan tidak akan seorangpun yang akan tau tentang mimpi apa. Bahkan ketika nyata sekali bahwa dalam mimpi itu bersuara keras, dan mungkin serempak seperti sebuah alunan kur.
Mimpi, itu menjadi sebuah rahasia yang paling intim dalam kehidupan seseorang. Maka siapa yang dapat mengetahui mimpi setiap orang yang dialaminya setiap hari. Masing-masing dari kita menyimpan mimpi kita sendiri. Dan banyak cara untuk mengekspresikan itu semua. Atau lebih tepatnya banyak hal untuk dapat menjadikan mimpi itu menjadi sebuah ekspresi tertentu.
Maka, hal manakah yang membuat mimpi kita menjadi sesuatu yang pantas ditafsirkan oleh orang lain? Harusnya kita sendiri yang paham akan arti mimpi itu. Karena kita dan apa yang pernah kita alamilah yang membentuk mimpi itu. Membuatnya seolah menjadi sebuah tanda yang akan dialami pada suatu waktu di hari depan. Bukan ramalan, tapi rekaan. Dari semua hal yang membentuk mimpi itu, secara tak sadar kita dapat mengasosiasikan hal itu dalam kehidupan nyata kita.
Ketika kita mengingat sebuah nama, seorang filosof, Sigmund Freud, dengan teori psikoanalisisnya, erat hubungannya dengan keadaan alam bawah sadar manusia. Dengan membantu menterjemahkan setiap mimpi yang dialami seorang pasien, dia sedikit demi sedikit membantu pasien keluar dari kungkungan rasa tertekan yang dialaminya. Atau setidaknya bisa dikatakan menurut Freud, mimpi kita adalah manifestasi dari semua hasrat, juga keinginan yang dibentuk dari alam sadar kita. Kebanyakan mimpi kita lahir dari rasa tertekan karena kita tidak dapat mewujudkan keinginan tersebut dalam alam nyata.
Keinginan-keinginan yang coba dtekan tersebut makin lama makin memenuhi alam bawah sadar kita, dan akhirnya muncul dan tergambar dari mimpi yang kita alami. Dan sejauh itu hanya menjadi sebuah mimpi, maka tak akan seorangpun yang tau, begitu menurut Goenawan Moehammad.
Satu contoh diceritakan oleh Alberto pada Sophie, misalnya, ada seorang lelaki yang telah bermimpi bahwa lelaki itu diberi dua buah balon oleh saudara sepupu perempuannya. Maka, apakah arti dari mimpi itu?
Berdasarkan psikoanalasisnya Freud, ketika seorang lelaki menerima dua buah balon dari saudara perempuannya maka, dikatakan bahwa sang lelaki sebenarnya mempunyai hasrat yang telah dipendamnya untuk memiliki saudara sepupu perempuannya itu. Hanya saja hal itu tidak akan terjadi, karena lingkungan status sosial masyarakatnya yang membuat tabu untuk hal itu. Hal itulah yang membuat hasrat itu hanya menjadi tekanan yang tersimpan dalam alam bawah sadar si lelaki. Sampai disini, arti dua buah balon yang diberikan oleh saudara sepupu perempuan bisa mempunyai arti. Itu menjadi sebuah penanda bagi seorang perempuan.
Namun, ketika kita mengacu pada teori psikoanalisisnya Freud, kita hanya berkutat pada kejadian dan hasrat yang telah lampau. Dalam hal ini saya sedikit kurang sependapat. Kita harus juga ingat bahwa ada sebuah ‘impian’. Konteksnya, ketika mimpi itu terbentuk dari pengalaman masa lampau, maka impian adalah manifestasi keinginan untuk hal-hal yang belum terjadi, namun diinginkan untuk terjadi di masa datang. Sama-sama sebuah keinginan, namun kadangkala sebuah impian tidak bisa dianggap sebuah tekanan.
Dalam mimpi, semua hal bisa sangat mungkin terjadi. Itulah pointnya. Bahkan untuk sebuah hal yang tak masuk akal sekalipun. Namun ada sedikit pertanyaan pada diri saya, apakah ketika kita bermimpi dan mengeluarkan seluruh pengalaman alam bawah sadar kita, kita masih dalam posisi yang tidak sadar? Berdasarkan apa yang saya amati dari model psikoanalisisnya Freud, kita bisa saja tidak sepenuhnya tertidur dan masuk dalam alam bawah sadar kita secara penuh. Maka dengan itu, apa yang sering saya alami menajdi sebuah hal yang sangat biasa terjadi. Walaupun begitu, ketika kita hanya setengah berada dalam alam bawah sadar kita, tetap saja kata GM, tak seorangpun kan/ tau kur siapa yang nyanyi/ pada sebuah Maghrib/ dalam mimpiku//

10 Desember 2009
Agus Raharjo

Rabu, 25 November 2009

Surat Untuk Cinta #2

Night at November Rain

Cinta…
Apakah kau merindukanku? Atau hanya aku saja yang merasakan kerinduan ini. Betapa besar dan berat rasa ini harus kutanggung. Aku tidak mengerti, tentang kisah yang coba kita pahat dalam hidup ini. Begitu besarnya cinta, namun begitu sempitnya ruang dan waktu. Namun aku lebih senang ketika apa yang kita alami ini dengan menyebutnya liku asmara. Meski ada jarak pada ruang juga ada jeda untuk waktu,namun tidak memberi pengaruh padaku. Justru rasa itu semakin besar.

Aku lupa menceritakannya, apakah kau masih merindukan hujan? Kau tahu, kerinduanmu telah mengirim hujan padaku. Setiap malam, ketika rasa rindu ini begitu dalam, lalu seolah rasa rindu kita bertemu dan menari dalam hujan.

Aku pernah menulis puisi, ketika cinta memberi tanda awal perpisahan kita. Apakah kau juga membacanya? Jika nanti kau merindukan aku/ Kutitipkan kenangan pada wajah hujan/ Karena aku tahu, hujan mengingatkanmu padaku// Jika nanti kau tak kuasa menahan tangis/ Kuikutkan airmatamu pada derai hujan/ Disanalah kerinduan kita bertemu// Jika nanti kau merasa jauh dariku/ Mendekatlah pada belai hujan/ Dengannya, kutarik kau menari bersamaku// Jika nanti kau lelah menungguku/ Bicaralah pada hujan/ Darinya, kutahu aku harus datang/ Dan kebahagiaan/ Menjelma rintik gerimis di wajahku//

Semoga kau suka. Secara pribadi ada begitu banyak tanda dalam wajah hujan. Dia seolah mengerti tentang perasaan ini. Dengan begitu lambat dia mengajakku menikmati setiap bulir rasa yang mengalir deras. Ada kesejukan yang ditawarkan padaku dengan mengingatmu. Namun, tak dapat kupungkiri ada semacam sesak yang menekan. Hatiku koyak, jiwaku melayang bersama bau tanah basah. Tetapi, itu menjadi sebuah candu bagiku. Karena hujanlah yang membuatku merindukanku semakin dalam.

Dengannya, aku merasa berterima kasih, membuatku menemukanmu meskipun dari sebuah elegi. Simpul-simpul peristiwa yang diatur dengan sempurna hingga mempertemukan kita pada taman takdir. Hujanlah yang membuatku meletakkanmu pada tempat terdalam, karena Hujan memberiku nama/ Ketika dia datang/ Dan kau memanggilku// Hujan memberiku kesempatan/ Ketika dia jatuh/ Dan kau membutuhkanku//

Cinta…
Sungguh terasa ganjil bukan? Bukan bunga, bukan coklat, atau bukan rayuan mesra yang membuat kita saling merindui. Tapi hujan. Dia memang berkah, dia memang media bagi rasa yang telah tumbuh dalam hati kita. Maka sampaikan rindu ini padanya, dan titipkan ikhtiar ini padaNya. Bukankah kita sudah menasehati diri kita sendiri dengan itu.
Cinta, apa kau masih akan mencintaiku, dengan ketulusan yang tak bimbang? Kita simpan rasa ini sama-sama. Bukan lagi kutanggung sendiri perasaan ini. Karena aku yakin, kau juga memberi ruang di hidupmu untukku, kelak. Aku masih seperti dulu, ketika kau pertama mengenalku. Aku masih sama seperti apa yang telah kau gambar dalam pikiranmu. Kita mungkin akan sama-sama payah, bisa jadi kita akan lelah, namun bukankah itu sebuah perjuangan? Dan yang kutahu, perjuangan itu tak pernah mementingkan hasil. Kita hanya mampu untuk merasainya, dan anggaplah ini sebuah tantangan.

Perjuangan kita adalah perjuangan yang mungkin sangat berat. Juga melelahkan. Tapi aku yakin, dirimu lebih kuat daripada aku. Bukan lagi membuatku payah, namun juga menyakitkanku. Tapi bukankah sekarang lebih baik dari hari kemarin? Aku telah punya pegangan yang lebih kuat dari sebelumnya. Aku telah seutuhnya berpegang pada rasa yang telah hadir pada hati kita.

Perpisahan ini, bukanlah untuk selamanya. Akan ada kerinduan yang begitu besar setelahnya. Di hari itu, kita tumpahkan semua pada bingkai hidup yang menemani berikutnya.

Jangan merasa ada noda. Atau dosa dari yang pernah kita lewati. Bukankah itu sebuah pengingatan. Pengingatan untuk kita yang pernah lupa. Juga alpa. Atau sekadar awal dari sebuah perbaikan terhadap diri. Ah, aku terlalu tidak sanggup untuk melihatmu menangis karenanya. Jangan menangis…jangan menangis…jangan menangis. Aku merasa lebih tersiksa dengannya. Aku ingin melihatmu bahagia, bukannya sebaliknya.

Jangan menangis…dosa bukan untuk ditangisi. Dia butuh perbaikan. Dia butuh kebenaran. Agar dia merasa utuh sebagai sebuah dosa.

Cinta…
Jika kau menangis, apa yang dapat kuberikan agar kau kembali tersenyum? Aku tahu kau tidak akan meminta permen seperti anak-anak. Jikapun kau seperti itu, aku akan rela memberikannya untukmu. Tapi kumohon, jangan menangis lagi. Kesedihanmu menjadi berlipat untukku. Kau ingat? Dulu aku pernah bicara padamu, ketika pertama aku menerangkan sebuah hakikat hidupku. “Aku lebih bisa menahan diriku tersakiti, daripada melihat ‘orang dekatku’ tersakiti dan menangis.” Maka jadikan semua ini sebuah babak baru. Jadikan ini fragmen yang akan berlanjut untuk mendaki tahap berikutnya.

Kau tahu, ketika kau menangis, aku seolah linglung. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Senantiasa dirimu hadir dalam pikiranku. Karena aku tidak dapat menghiburmu. Jika kau ingin menangis, bukan sekarang waktunya. Aku tidak bisa memelukmu untuk menenangkanmu. Simpanlah semua itu untuk nanti. Aku akan selalu menjadi penghiburmu. Menyandarkanmu pada bait tawa ketika kau sakit, meneduhkanmu di bawah rindang malam saat kau terlalu penat, dan mencairkan harimu dengan cerita-cerita. Maka janganlah menangis sekarang. Aku tidak akan tahu apa yang dapat kulakukan untukmu. Karena kita terpenjara.

Cinta… sekarang inipun aku bingung. Apa yang aku tuis ini sebuah kebimbangan, atau keresahan yag linglung. Tak tahu arah mana yang kutuju pada kalimat-kalimatnya. Ah, betapa aku merasa menjadi manusia paling ganjil dengan semua ini. Mungkin aku memang aneh, tak seperti yang kau kenal kebanyakan. Tapi inilah aku, dan aku bangga menjadi diriku.

Cinta… jagalah baik-baik dirimu, dan akan kujaga dengan baik diriku. Karena sampai saat ini kita belum mampu sepenuhnya saling menjaga. Kita adalah setengah yang belum menjadi satu. Kita belum menjadi utuh bagi sebagian yang lain. Biarkan hati kita merasakannya, tapi jangan biarkan yang lain mengikuti. Karena mungkin ini sebuah dosa. Dosa yang nikmat, dosa yang melenakan, dosa kedewasaan.

Ah, begitu mudahnya cinta, begitu beratnya rindu, dan begitu nikmatnya dosa. Pada nada diam perpisahan kita. Pada ruang dan waktu yang tak sama.

Selalu yang ingin ada untukmu,
(AR)

Minggu, 25 Oktober 2009

Perpisahan

Ada saja yang tak pernah selesai diucap. Cerita-cerita yang kau minta. Seperti tadi malam, saat kita terjaga di sebuah ambang duka. Mendekat pada pintu perpisahan. Ditemani langit-langit hitam mengundang gerimis. Selayak perpisahan itu sendiri. Perpisahan.
Aku ragu. Entah itu nyata, atau hanya isyarat saja. Atau justru begitulah adanya.
Kau berlalu,
Kita mengingat malam yang sama. Mengisahkan cerita, mungkinkah yang kau minta? Atau hanya inginku saja.
Ada duka yang sama, ada rasa serupa. Malam-malam yang sama. Malam-malam menyambut pagi. Seingatanku juga.
Cerita-cerita yang kau minta. Aku harap bukan cerita perpisahan kita. Bukan kisah tentang malam terakhir. Perpisahan. Duka.
Aku ingin bercerita. Tentang kisah selanjutnya. Tentang impian, dan keteduhan mengawali tidur kita. Membuka jendela mimpi hinggap tak ada batasnya. Untuk mengulang malam-malam yang serupa.
Serupa dulu pernah kita rasa. Di dalam gua, diatas gunung, menerkam dingin, kemudian meluncur pagi. Dan kaulah cerita. Akulah cerita. Meski bukan cerita yang selalu sama. Kitalah ceritanya.

Ada yang tak sempurna diungkap. Ungkapan menerang. Di dalam gua, di puncak gunung, mengalir bersama dingin, di guratan malam, kemudian meluncur pagi.
Ungkapan selayak janji,
Ibarat cinta adalah cinta mati. Bukan dari seseorang yang biasa. Juga bukan pada seseorang yang biasa. Seseorang itu, sosok yang tak akan ada padanannya. Pada keduanya adalah setengah yang melengkapi. Padanya adalah ungkapan untuk meretas keyakinan. Menjawab keraguan.
Dengan ungkapan, muncullah kepercayaan, lalu berubah keyakinan, kemudian ada tindakan. Laku hidup yang seharusnya diteruskan. Meski ada rentang pada ruang, ada jeda untuk waktu. Semua tak merubah.

Ada yang lengkap dari perpisahan. Merasa kehilangan, sejujurnya. Ada rentang pada ruang, ada jeda untuk waktu. Meski tak merubah perasaan. Atau justru membuatnya semakin utuh. Seperti pagi ketika kita ada di ambangnya. Detik-detik yang mungkin diingat dan dirindukan.
Tawa anak kecil membuat suasana semakin melankoli perpisahan. Lugu yang ditunggu, lucu yang sederhana. Perpisahan. Perpisahan. Perpisahan.
Sampai kapan tak ada pertemuan? Sampai kapan rasa ini tertahan? Dan sampai kapan rindu ini hanya tersimpan?
Hanya tulisan-tulisan. Dia mampu menyelesaikan ucapan. Dia sanggup menyempurnakan ungkapan. Pada rentang ruang, pada jeda waktu. Dia menisbikan perpisahan.

Kalaupun hanya tulisan. Ada ucapan selamat tinggal, ada harapan secepatnya bertemu kembali. Ada doa di setiap gerak bibirnya. Ada air mata untuk mengingatnya. Itulah ucapan-ucapan cerita tentang kita.
Meskipun sekadar ungkapan. Ada jawaban-jawaban.
Semakin tinggi, akan terasa semakin sakit jatuhnya. Maka aku tak akan membiarkanmu terjatuh. Jikapun kau terjatuh, akupun akan jatuh. Sakitku adalah lebih dari sakitmu.
Tapi bukankah kita menuju atas? Dan ingatlah bahwa kita adalah sayap yang belum sempurna. Tak harus merisaukan rasanya terjatuh. Karena ketika telah lengkap, maka kita dapat tenang menuju ke atas. Ke langit. Ke Surga barangkali.
Aku ingin sayap yang sempurna. Aku ingin melengkapinya dengan impian-impian nyata. Aku ingin bercerita tentang segalanya. Aku ingin mengungkap semua rasa. Aku ingin tak ada perpisahan.
Ada doa untuknya. Juga ada air mata merindukannya. Karena tak akan ada malam yang sama setiap harinya.

Klaten, 25-26 Oktober 2009
Agus Raharjo

Sabtu, 17 Oktober 2009

Sebuah Catatan Pribadi

Dari sekian hari yang tertempuh, ada saat kita merindukan kembalinya sang waktu. Saat itulah kenangan ingin kita ulang. Namun, apa yang bisa kita perbuat untuk mengulangnya. Tak ada. Yang tersisa adalah ingatan kita sendiri tentang kenangan itu. Dan jalan paling akrab untuk kembali pada kenangan adalah mengingat kembali setiap detail peristiwa itu. Hanya itu.
Pada suatu saat, terkadang saya juga sangat ingin mengakrabi kenangan yang telah saya tinggalkan. Ada moment-moment dari suatu peristiwa yang ingin kuulangi. Setidaknya sekali lagi. Tapi tak mungkin. Waktu tak pernah dapat kembali.
Namun, pada suatu saat, sejenak aku tak ingin mengulang kenangan, cukup tersimpan saja dalam ingatan saya. Tentang sesuatu, atau mungkin seseorang. Dia begitu membuat saya merasa ‘sakit’. Kadangkalanya kesedihan harus ditumpahkan. Kadangkala perpisahan tak diinginkan. Dan terkadang saya begitu dalam mengingatnya.
Tulisan ini adalah untuknya. Sesuatu itu telah ada pada suatu hari. Dan setelahnya, semakin hari seperti sebuah pohon yang terus mengakar. Semakin hari semakin kuat. Dan semakin lama juga meneduhkan. Ada bunga-bunga yang mewarnainya. Juga ada batang yang kadang menopang, ada ranting yang juga patah. Namun, semua tetap berdiri.itulah yang membentuknya.
Sesuatu itu, padanya kuikatkan sebuah kekang padaku. Aku telah rela mengikat diri untuknya. Dengan niatan, dengan ucapan, dan nanti pasti tindakan. Suatu hari nanti.
Dia, yang membuat sesuatu itu. Padanya hanya pujian. Untuknya mengalir persembahan, dan baginya terlahir kesempurnaan.
Terasa aneh, bahkan untuk waktu yang lama. Tak kudapati redup, terlebih padam. Yang ada selalu saja mengembang. Dulu, awalnya adalah perbedaan. Tapi siapa mengira padanya adalah persamaan semata. Siapa sangka jalan kita sama. Lalu mengapa kita tak bersama-sama?
Aku pernah mendaki puncak tertinggi inginmu. Lalu kau tabur telingaku dengan ayat-ayat sucimu. Begitu dalam dan menggetarkan. Kemudian aku bangun pada sepertiga malam. Dengannya aku dapat mengingatmu. Atau entah aku mengingatmu lalu mengingatNya. Yang kutahu selalu saja Dia dan dirimu bersama-sama. Berkelebatan dalam renunganku. Setiap saat.
Lalu peristiwa di pagi hari itu. Tatkala kau bertanya padaku tentang sebuah impian. Lalu kuterjemahkan dalam bahasa bijaksana. Dan kau menerimanya seperti permintaan. Tapi memang permintaan. Kau telah meneduhku dalam impianku sendiri. Kau terima, mungkin dengan senang hati. Atau aku yang terlalu memikirkan. Aku yang merencanakan? Lalu kau masuk dalam bagiannya, sebagai peranmu.
Namun, tak ada yang lebih indah dari pagi itu. Adalah “Semoga niatnya segera terwujud menjadi tindakan.” Lalu “kita berjuang dan berdoa sama-sama.”
Adakah yang kuinginkan sekarang? Aku ragu. Tak ada yang kuharapkan mungkin. Hanya tentang sesuatu itu segera menemui kebenarannya. Lalu kita berjuang bersama-sama. Ada doa yang terlantun untuknya, dari seorang ibu yang menekuri ayat-ayat suci. Di rumah suci. Seorang ibu yang memanggilku dnegan sebutan yang aneh. Tapi tak mengapa. Toh itu hanya sebutan untukku. Yang terpenting adalah harapan juga doanya. Sungguh naïf jika aku tak mengamini.
Catatan ini, adalah tanda pengingatku. Juga sebuah persembahan tak sempurna. Karena padanya belum lagi terlaksana tindakan nyata. Masih sebatas usaha…usaha…usaha…dan doa.

Sukoharjo, 17 Oktober 2009 (00.15)
Agus Raharjo

14 Oktober 2009

Perahu telah menemukan labuhannya
Dalam badai kabut
Menyamarkan jejak yang tertinggal untukku

Sepi yang terlalu perih
Tak rela
Terbaca jawaban
Dari penantianku

Aku telah menemukanmu
Bukan dalam tanda khayal
Tapi pada kata
Terangkai di bibir jemarimu

14 Oktober 2009,
Ada hati
Tak lagi sepi
Ada senyum
Menawar duka
Ada percaya
Membagi asa
Ada persembahan
Aku untukmu

(AR, 16 Oktober 2009)

Ramadhan dan Lebaran: Ibadah, Kultur, atau Rutinitas

Lebaran memang baru saja kita tinggalkan. Tapi pengalaman yang menyertainya bisa jadi tak akan begitu mudah kita lupakan. Meskipun itu adalah pengalaman yang sangat mungkin hanya monoton mengulang Lebaran tahun-tahun yang lalu. Atau bahkan dengan mengulangnya dari tahun ke tahun menjadikannya sebuah ingatan yang mengakar dalam memori kita.
Ketika peristiwa-peristiwa monoton saat Lebaran kita jumpai setiap tahunnya. Sadar atau tidak ada yang justru kita lupakan ketika kita terbangun pada hari itu. Itu adalah dosa-dosa yang pernah kita lakukan sebelum kita merasa dilahirkan kembali menjadi suci. Ya…selama satu bulan kita dipaksa untuk ikut dalam suasana yang islami. Bagi sebagian orang mungkin menjadi sebuah formalitas dari kultur yang terjadi selama kurang lebih tiga puluh hari. Tapi masih tetap ada yang benar-benar memaknai bulan suci itu.
Satu bulan penuh kita menerima ‘pelajaran’ bahwa kita harus benar-benar memfokuskan diri untuk beribadah…beribadah…dan beribadah. Tak lain dan tak bukan karena Ramadhan adalah bulan yang banyak sekali terdapat kemuliaannya. Kita ‘dipaksa’ untuk melupakan kehidupan duniawi. Dan pada akhirnya, kita dijanjikan mendapatkan ‘kelahiran kembali’ sebagai manusia yang suci. Kita kembali ‘fitri’. Moment itulah yang membuat sebagian orang merasa sangat senang dengan kehadiran Lebaran.
Namun, tidak semua orang bahagia ketika Lebaran telah tiba. Ada yang justru sangat bersedih ketika dia ditinggalkan oleh bulan Ramadhan. Yaitu orang-orang yang sesungguhnya mengerti arti mendekatkan diri dengan Sang Khalik. Jika bisa meminta, mungkin orang seperti itu akan meminta bulan yang lain menjadi bulan Ramadhan.
Terlepas dari Ramadhan, Lebaran membawa pengertian baru tentang kelahiran kembali. Kita merasa suci layaknya bayi yang baru saja lahir. Tak ada dosa yang menempel pada kita. Pengertian semacam itu, menurut saya adalah pengertian yang sombong. Misalnya saja setiap tahun kita merasa menjadi orang yang suci lagi, berarti setiap tahun bisa jadi kesombongan kita juga semakin bertambah. Ataukah kita merasa tidak mempunyai dosa seumur hidup? Mustahil! Sedangkan kita tidak dapat memastikan apakah puasa kita selama bulan Ramadhan diterima oleh Sang Khalik, meskipun kita juga telah menunaikan zakat.
Pikiran yang naïf ketika kita merasa menjadi orang yang suci tanpa dosa. Di sisi lain, makna suci bagi saya juga sungguh sangat berbahaya terlalu digembar-gemborkan. Bisa jadi, pikiran yang terbentuk akan membawa kita pada pengertian bahwa kita punya sebuah ‘tiket’ penebusan dosa ketika kita telah melewati Ramadhan. Dan akhirnya dosa yang pernah kita lakukan sebelum-sebelumnya senantiasa dengan ringannya kita ulang…ulang…dan ulang terus menerus.
Sedikit berbeda ketika kita menilik kembali kondisi zaman ketika Martin Luther membangkang dari doktrin-doktrin gereja. Saat itu, gereja dapat mengeluarkan sebuah ‘surat sakti’ yang menyatakan orang tersebut terbebas dari dosa-dosanya dengan membayar sejumlah uang. Ibaratnya, dengan surat penebusan dosa tersebut itu, pemegangnya menjadi manusia suci. Jika saja semua orang mempunyai uang untuk membeli ‘surat sakti’, maka di dunia ini tak ada orang yang berdosa menurut anggapan mereka.
Kondisi itukah yang akan terjadi pada Islam? Dengan merasa terlahir kembali menjadi suci, apakah tidak ada orang islam yang tak berdosa? Meskipun hanya sehari saja, saat Lebaran. Saya kira tidak semudah itu.
Pengertian inilah yang akan dengan mudahnya membuat kita melupakan dosa-dosa yang pernah kita lakukan sebelumnya. Dengan memaknai seperti itu, kita akan menyandang gelar manusia yang tak pernah belajar. Belajar itu bukan sekadar untuk mengetahui, tapi bagaimana menerapkan apa yang sudah kita ketahui. Saya kira bulan Ramadhan juga mempunyai tujuan mulia itu. Bukan hanya sebuah kebangkitan kultur Islam selama satu bulan lamanya. Walaupun tak bisa dipungkiri, memang kultur Islam begitu mencolok saat bulan ramadhan.

Solo, 6 Oktober 2009
Agus Raharjo

Minggu, 04 Oktober 2009

Sebuah Tulisan Untuk Nama

Hujanmimpi; ibarat hujan, mimpi terlalu dalam untuk diresapi. Adalah sebuah nama, atau sebutan atau petanda dari sebuah perenungan. Tidak ada maksud menempelkan bahasa yang muluk-muluk. Yang ada adalah sebuah harapan. Harapan agar mimpi-mimpi lebih dapat ditafsirkan, juga dinikmati. Terutama dibaca.
Mimpi, mungkin bagi Sigmund Freud adalah salah satu bentuk pengungkapan dari hal-hal yang tersimpan di dalam alam bawah sadar kita. Dan menyepakati pendapatnya tersebut, hujanmimpi lahir untuk membahasakan mimpi-mimpi penulis. Tentang apa saja. Karena bagi penulis, menulis itu tentang sesuatu yang diketahui. Ketika sesuatu tidak pernah terlintas dalam pikiran, mustahil ada tulisan tentang hal serupa.
Apa-apa yang tertulis dalam hujanmimpi adalah media menerjemahkan pengetahuan penulis yang masih sedikit ini, juga dengan bahasa yang masih dalam taraf belajar. Karena seperti yang dikatakan Joni Ariadinata, menulis itu butuh proses, semakin kita sering menulis, tulisan kita akan semakin bagus. Semangat itulah yang selama ini penulis coba pegang. Meskipun masih dalam taraf belajar, setidaknya penulis berani menerjemahkan impian pribadi menjadi seorang penulis sesungguhnya.
Mengapa hujan? Bukan sesuatu yang lain untuk menggambarkan betapa tak terhingganya mimpi-mimpi itu? Bukan pasir yang mustahil kita hitung, atau rambut yang juga mempunyai keadaan yang sama? Cukup sederhana saja, karena pribadi yang menyukai hujan. Itu saja. Kenapa suka hujan? Juga cukup sederhana, karena ada pengalaman yang membuat hujan mempunyai tempat tersendiri dalam pikiran penulis. Juga perasaan yang menyertai ketika hujan turun yang dialami oleh penulis mengingatkan pada sesuatu yang menjadi impian.
Namun, ada yang mengganjal ketika pertama kali hujanmimpi lahir. Penulis resah dengan pikiran penulis sendiri bahwa hujanmimpi akan dikatakan mengekor dengan yang lain. Tak lain dan tak bukan adalah rumahmimpi. Awalnya penulis tidak terlalu memikirkan hal itu, namun lama kelamaan justru pikiran-pikiran seperti itu seperti mengetuk-ketuk minta tempat pada penulis. Tapi tidak sama sekali. Hujanmimpi murni sebuah nama yang tidak serta merta hanya ikut-ikutan ataupun numpang tenar. Hujanmimpi benar-benar lahir dari penerjemahan tentang gambaran perenungan penulis. Dapat dikatakan, hujanmimpi adalah penggambaran penulis. Tentang sebuah mimpi, harapan, juga perenungan-perenungan.
Meskipun memang, penulis merasa kenal dengan rumahmimpi dan banyak belajar darinya. Namun, lahirnya hujanmimpi terlepas dari rumahmimpi. Tulisan ini lahir karena saat ini penulis semakin gelisah dengan pikiran-pikiran yang mengganggu bahwa hujanmimpi lahir untuk mengekor rumahmimpi. Walaupun juga hujanmimpi tak akan sanggup meskipun hanya mengekor saja. Tulisan ini adalah sebagai bentuk ungkapan sekaligus pertanyaan apakah yang harus penulis lakukan pada hujanmimpi?

Klaten, 3 Oktober 2009
Agus Raharjo

Selasa, 25 Agustus 2009

Dia Puisi

Mengenang

Ada sesal,
Pada akhir dosa

Namun,
Ada rindu
Yang tergolek setelahnya

(AR, juni 2009)

Meraba Hati

Ketika pertama aku menemukanmu
dalam bingkai yang lugu namun serentak mengundang
rasa malu terbias angkuhnya harapan

Ada kerinduan mendebarkan
lentik jari meraba hati: menyakitkan sekaligus menyenangkan
siapa sangka kau menawarkan tanda dan aku membacanya

Aku rindu kau: tergambar masa lalu, sekarang, dan hari esok

Barangkali akan kau tanya sebuah alasan
yang perlahan mengupas takut dari semua kehilangan
mungkin juga tak dapat kuterangkan dengan bahasa
sebuah kejujuran yang kutepiskan dalam tanda khayal

Aku rindu kau: tertulis kenangan, kisah, dan impian

Setiap jengkal aku merasa kau mengikutiku
Gemulai manja lambaian tanganmu memanggil
dengan bibir yang bergetar kau berbisik:
Aku ada dihatimu, maka kau selalu merindukanku

(AR, Juni 2009)

Perjalanan

Berapa kali kususur jalan ini
tapi tak kutemui dirimu seperti waktu pertama
gerimis mengundangku untuk melihatmu basah airmata

Aku lugu dan kau pilu
Terbenam pada tikungan rahasia sebuah tanda yang mengisyarat luka

Nanti kalau aku menemukanmu lagi
akan kukurung dalam hati pertemuan itu
sama ketika pertama aku melihatmu basah airmata

Kubuat jejak padanya agar aku dapat kembali
menyesapi kenangan yang terbawa dari masa lalu
agar perjalanan ini tak hanya sia

(AR, Juni 2009)

Rumah baru

Bulan Ramadhan ini, akhirnya apa yang pernah terlintas dalam pikiran saya benar-benar terjadi. Saya menjadi terasing dari kehidupan yang biasa saya lakukan. Saya begitu dekat dekat dengan kesunyian, juga dekat dengan semua waktu untuk menata impian. Pada bulan ini, akhirnya saya dapat dekat dengan Sang Khalik. Dulu, ketika saya memikirkan untuk menempati rumah Allah, saya akan mengisi hari-hari luang saya dengan banyak mengetik. Dan darinyalah harapan saya, saya dapat menulis dengan baik.
Disini, tak terdengar lagi celotehan teman-teman, tak ada hiruk pikuk acara televisi, tak ada suara-suara bising tak berguna. Yang ada hanyalah ketenangan, kerinduan, juga harapan-harapan yang kian dekat. Ketenangan, karena memang inilah kehidupan yang terasing. Kerinduan, mungkin adalah bonus dari rasa terasing itu, rasa rindu pada semuanya, seolah saya tak dapat lagi bersama orang-orang dan segala yang saya rindukan. Harapan, adalah wujud dari semua ikhtiar yang masih saya lakukan untuk sesuatu, atau mungkin untuk seseorang. Saya ingin menjadi lebih baik lagi, saya ingin jadi yang terbaik untuk seseorang, saya ingin membuktikan bahwa saya bisa menjadi lebih baik.
Kalau saya pikir, sangat aneh ketika saya berada disini. Mungkin bukan saya saja yang merasa heran ketika saya mengambil keputusan penting itu. Namun, apa yang saya lakukan adalah bukan tanpa pertimbangan. Apa yang saya putuskan telah saya pikirkan, dan akan saya jalani hingga waktunya nanti. Salah satu alasannya adalah saya ingin senantiasa dekat dnegan Allah, karena Dia yang telah menganugerahi saya sebuah rasa yang membuat saya merasa sangat sakit namun juga sangat menyenangkan. Saya ingin membuat rasa itu tetap pada jalur yang semestinya, semoga Allah memberi kesabaran yang tangguh padaku hingga waktunya tiba.
Dan untuk saudaraku sesama penghuni rumah baru ini, terima kasih telah memberiku sedikit penawar keterasingan.

Rumah baru, 25 Agustus 2009
Agus Raharjo

Kata-kata Yang Berkesan Untukku

- Ah kamu tuh… : greatest women
- Kamu tuh ya…. : greatest women
- Hulik-hulik : greatest women
- Maaf… : little sister
- Mas jangan marah,….takut… : little sister
- Saya pikir… : Iswan
- Jadi begini… : Erry Soffan
- Jujur ya… : Surya Eka
- Trus piye akh? : Umar
- Ehmm…lha kowe… : Awin
- Sik-sik…tunggu… : Candra
- Esensinya apa? : Haris Firdaus
- Bagi saya… : Haris Firdaus
- Rangerti!!! : Ali
- Mantanku….(mantan mentri) : My little generation
- Biasa…orang sibuk!!! : My little generation
- Rame donk Gus, kamu kalau diem nyeremin…: Bangun
- Tau ah gelap.. : bidan jutek
- Gi ngap ne? : bidan jutek
- Ho’o to? : Mas Jhon
- Lha cita-citamu apa? : Mas Anto
- Wis lulus rung? : Mas Anto
- Arep bali saiki…??! : Simbok’e
- Kok koyo ngono yo Gus…? : mbak Endang
- Mas Agus baik deh… : Adik2ku cewek
- Yo ojo ngono… : Bagus
- Piye cah? : Bagus
- Kita?! Pak Agus sudah berubah ya…? : Edi
- Sbg akhwt sy sakit hati… : Ayu PA
- Ora bisa! : Mentri keuangan
- Srondengan.. : Akhi Guspur
- Piye bro… : Akhi Guspur
- Jadi begini, Mas… : little brother Gundul

Masih banyak lagi, tapi pada sesi selanjutnya. Insya Allah.

Parade Cinta Pondok Pesantren: Dzikir-Dzikir Cinta, 3 Cinta 3 Doa

Kehidupan di sebuah pondok pesantren tidak berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya—namun lebih terawasi. Nuansa yang ditawarkan adalah seringnya kita mendengar lantunan ayat-ayat Al Qur’an, juga terjaganya sholat secara berjamaah. Namun, sama seperti kehidupan pada umumnya, dalam lingkungan pondokpun cinta tak dapat ditentang keberadaannya. Pada siapapun. Memang bisa jadi yang utama diajarkan adalah cinta pada Allah Yang Esa, namun itu tidak serta merta menghilangkan rasa cinta pada sesama. Ada ikatan persaudaraan yang kuat, ada kepatuhan pada kyai, juga ada rasa rindu yang besar pada orang tua. Bahkan juga ada rasa cinta pada lawan jenis.

Membaca novel “Dzikir-dzikir Cinta”nya Anam Khoirul Anam, kita dibuat melihat dunia pesantren seperti kehidupan pada umumnya seorang remaja. Meskipun memang pada kenyataannya sedikit, bahkan mungkin banyak berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Rusli, seorang pemuda yang “nyantri” di pondoknya Kiyai Mahfud, berniat menimba ilmu sebanyak-banyaknya disana. Namun, seperti kehidupan remaja pada umumnya, dia juga dilanda perasaan cinta pada santriwati bernama Sukma dari Pondok Gus Mu’ali. Meskipun Rusli ingin meniadakan perasaan cinta pada hamba-Nya, karena trauma akan keberadaan cinta itu sendiri.

“Meski aku tak membenci akan adanya cinta, namun cinta telah melukai mataku hingga cinta itu sendiri yang membuatku membencinya”.

Namun, tampaknya penulis menghendaki kisah lain pada cinta keduanya. Rusli dapat menerima keberadaan cinta itu dan akhirnya disatukan, padahal Rusli telah menikahi Fatimah, putri Kiyai Mahfud, sebelumnya karena rasa hormat yang terlampau besar.
Demikian juga dengan Sukma, dia seorang yang pernah merasakan gelapnya tawaran dunia, ketika menyimpan cintanya untuk Rusli, dia dengan kesungguhan hati berusaha memperbaiki diri, dan terus bersabar. Sebuah perjuangan yang begitu mengharukan. Dia menutup dari perasaan cinta pada laki-laki lain, dan hanya untuk Allah semata setelah tahu bahwa Rusli menikahi Fatimah. Namun, ketulusan dan kesabarannya membuahkan hasil, sampai akhirnya penulis membuat tokoh Fatimah meninggal dunia dan akhirnya Sukma dapat bersanding dengan Rusli.

Itulah sekelumit cerita tentang cinta pada kehidupan pondok pesantren. Bahkan di pesantrenpun keberadaan cinta pada sesame hamba tidak dapat dibatasi. Dan justru, menurut saya, dengan sedikit godaan yang ditawarkan kehidupannya, maka cinta yang tertulis pada santri-santriwatinya lebih terasa dalam memaknainya. Sebuah surat cinta dapat membuat pembacanya tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Begitu juga dengan cerita cinta yang dikisahkan dalam film 3 Cinta 3 Doa. Tokohnya, 3 orang pemuda, mempunyai liku cerita yang lain-lain pula. Ada yang begitu dalamnya rasa cinta pada Allah hingga punya cita-cita “Syahid” ketika keluar dari pondok nanti. Ada yang selalu merindukan sosok ibu yang telah menitipkan dia di pondok, dan berusaha mencari keberadaan ibunya. Juga ada yang tidak dapat menerima keberadaan cinta karena sang ibu yang menikah. Namun, semuanya hampir sama, cerita cinta di pondok seperti kehidupan kebanyakan. Ada rasa yang kadang menyakitkan namun menyenangkan, ada rasa ridu yang menggelora, ada usaha untuk mendapatkannya, juga ada doa yang terpanjat padaNya. Karena sejatinya semua cinta bersumber pada yang menciptakannya. Dialah Yang Esa.

****

Melihat kehidupan pondok yang penuh dengan cerita cinta, saya sangat miris ketika pondok terkotori oleh anggapan buruk tentang teroris. Meskipun saya bukan orang pondok, namun saya sangat geram pada pendapat yang menyudutkan sebuah pondok.
Ada sebuah benang merah yang dapat saya lihat dari semua kejadian terkait dengan pondok. Dulu, ketika Belanda masih berkuaa di bumi pertiwi, peran pondok pesantren tidak dapat diremehkan begitu saja. Dari orang-orang pondok jugalah yang ikut andil dalam merebut kemerdekaan, namun sekarang pondok pesantren khususnya dan Islam umumnya seperti disudutkan. Ada pertanyaan besar dalam diri saya. Mengapa??

Kalau boleh berimajinasi, dalam pikiran saya Indonesia tidak akan dapat dikuasai sebelum umat islam luntur keislamannya. Siapa yang ingin menguasai? Entahlah, kita seperti melihat seekor gajah yang masuk ke mata kita. Yang terlihat cuma sebagian kulitnya. Kita tak pernah tahu bahwa itu adalah seekor gajah.

25 Agustus 2009
Agus Raharjo

Selasa, 28 Juli 2009

LAWU #2: Sebuah Cerita

Tanggal 17 Juli yang lalu, saya berkesempatan untuk melihat suasana yang berbeda. Lawu. Nama yang tak asing namun begitu jauh dari jangkauan sebelumnya. Dan saat itu, sebenarnya juga tak ada niat untuk melakukan pendakian kesana—perjalanan tepatnya. Karena sebelumnya ada sebuah ajakan untuk “ngecamp” oleh seorang teman. Tapi aneh, kebanyakan “ngecamp” adalah bukan ngecamp. Saya bilang seperti itu karena ketika “ngecamp” kita membawa bekal makanan dari rumah, dan dimasak disana. Kalau saya bilang kenapa tidak sekalian saja pindah rumah?! Dengan “ngecamp” seperti itu, bukankah hanya sebuah acara pndah makan?

Yang saya tahu, “camp” adalah sebuah tempat yang serba terbatas. Mungkin pemikiran ini meresap dalam diri saya ketika membaca cerita sejarah tentang “camp” pengungsian dari orang-orang yang diusir. Saya ingat betul pernah melihat sebuah film yang bagi saya sungguh dramatik. Saya lupa judulnya, tapi saya ingat betul ceritanya. Tentang sebuah keluarga yang hidup di “camp pengungsian” yahudi. Seorang ayah yang ingin menciptakan sebuah suasana rekreasi pada anak laki-lakinya ketika berada dalam sebuah “camp pengungsian”. Ada anggapan bahwa sang anak belum seharusnya menyadari apa yang tengah menimpa mereka sekeluarga. Dalam “camp pengungsian” itu, sang anak dijelaskan bahwa mereka sedang mengikuti sebuah perlombaan untuk mengumpulkan nilai tertinggi agar dapat memiliki sebuah tank. Tugas sang anak cukup sederhana, yaitu jangan sampai tentara Jerman mengetahui keberadaan sang anak. Cukup cerdas juga mengharukan. Bahkan sampai saat sang ayah “dieksekusi”pun sang anah masih percaya bahwa mereka sekeluarga tengah mengikuti perlombaan. Itulah gambaran ngecamp bagi saya.

Untuk ke Lawu, saya sadar tidak akan mendapatkan “kenikmatan” seperti itu. Namun, saya akui ada niat yang berbeda yang bukan berdasar pada keegoisan diri saya pribadi. Justru saya rasa, niat ke Lawu memang bukan lahir dari keinginan pribadi sebelumnya. Namun saya masih sempat meniatkan itu setidaknya untuk menikmati suasana yang berbeda di tengah kejenuhan aktifitas saya. Meskipun saya akui tidak dapat menghilangkan semua beban pikiran yang menggelayut, bahkan ketika pendakian berakhir.

Tapi dengan niat untuk orang lain itulah saya tetap kuat dan mampu bertahan hingga sampai turun dari Lawu. Padahal, beberapa hari sebelumnya saya sendiri sangsi apakah mampu untuk naik—karena beberapa hari sebelumnya saya “terbaring” dirumah. Namun saya telah mengucapkannya—saya anggap itu sebuah janji—dan saya harus menepatinya.

Dengan keberanian melawan dingin, saya beserta 5 orang lainnya akhirnya berhasil juga menikmati indahnya bumi dari sudut pandang lain. Sejenak ada suasana yang menyenangkan, namun juga ada sesuatu yang saya rindukan ketika saya berada diatas gumpalan awan putih. Saya tak mengerti apa itu, namun saya menikmatinya. Saya hanya teringat dengan orang-orang dan tempat-tempat yang saya tinggalkan. Dan suatu saat nanti saya akan meninggalkan mereka dan menuju pada orang dan tempat baru.

Selalu ada yang datang, dan juga pergi. Jika ada pilihan, saya memilih selalu ada yang datang tanpa ada yang pergi. Saya benci kerinduan setelahnya.

Meskipun saya akui, pada tempat dan waktu itu ada rasa senang, namun juga ada kesedihan terselip diantaranya. Di tempat yang terasing, seperti puncak Lawu dan lembah-lembahnya, saya merasa benar-benar kecil tak berarti dibandingkan Yang Meninggikan gunung ini. Ada kedekatan jiwa dan getar yang mengharu ketika saya merasa dipisahkan dengan hal-hal yang saya tinggalkan.

Yang terus terngiang dalam kepala saya, mungkinkah akan seperti ini terus adanya? Siapa yang akan menenangkan segala gejolak ini? Saya membayangkan ketika saya meninggalkan segalanya kelak, saya lebih menikmati ketika sudah tidak ada beban yang tertinggal, dan terpenuhinya semua janji. Aneh. Justru ketika saya ada pada puncak tertinggi, saya sangat merindukan tempat di bawah. Ataukah justru karena memang saya orang yang selalu merasa terasing dari semua?! Semoga tidak.

Saya sempat untuk bermunajat ketika badan saya menantang dingin pada malam terakhir di Lawu. Hari sebelumnya saya memang dikalahkan hawa dingin, hingga tidak dapat tidur. Dan pada munajat itu saya teringat dengan kehidupan zaman Rasul Muhammad di gurun pasir. Padanya siang akan membakar, dan malam akan membekukan. Saya merasa kalah dnegan kehidupan mereka orang-orang terpilih. Saya merasa sangat kecil dan kotor kalau mengeluh kalah dari dingin yang serasa menusuk tulang-tulang.

Dan tibalah ketika kami pulang. Selalu saja ada lagu yang seolah menjadi lagu wajib ketika hendak kembali. Dulu, ketika saya kunjungan ke Kudus, lagu itu juga saya nyanyikan sepanjang perjalanan. Kalau tidak salah judulnya “Tunggu Aku Kembali” dari Naff: Akan kutuangkan rindu/ selepas ku kembali/ kepada kekasih hati// akan kuungkapkan rasa/ petikan bunga-bunga/ yang lama tersimpan/ disaat ku jauh// Tunggu aku kembali/ dimana, ku tau kau selalu setia/ Pasti ku kan kembali/ disana, dimana cintamu menanti//

Dalam hati ketika menyanyikannya, saya akan tetap menyanyikannya ketika suatu saat nanti ada seseorang yang tengah menanti saya di rumah. Tapi itu masih nanti. Bukan sekarang, tapi biarlah itu saya nyanyikan untuk sesuatu yang saya rindukan tapi tak mengerti apa.

Biarkan aku bersenandung lirih/ mengusap gundah/ membasuh perasaan// Lalu taburkan kemesraan/ selayaknya pertama datang/ dan tabir terbuka// Biarkan aku merangkai kata/ menyusun kisah/ menerang hati// Kemudian telusuri baitnya/ selayaknya akan lama perjalanan/ di waktu datang janji/ untuk kemudian hari//

Saya selalu ingat janji yang saya ucapkan. Dan saya ingin menepatinya.

Agus Raharjo
28 Juli 2009

LAWU #1 : Ambisi; Eksistensi; Rekreasi

Ada yang tersurat dalam sebuah pendakian. Perjalanan menyusur bukit dan lembah yang berkelok, seolah tak membuat gentar—justru semakin menantang. Dalam dada pendaki, ada degup luar biasa yang menggejolak ketika mulai melangkahkan kaki untuk pertama kali. Sebuah gairah yang mendebarkan.

Setidaknya, itulah secuil dari perasaan yang menimpa seorang pendaki. Ada saja alasan untuk kembali menikmati keelokan dan tantangan tonggak-tonggak bumi tersebut. Menyerap energi dingin yang ditawarkan kabut-kabut gunung, seraya menyepuh bibir dengan hangatnya kopi. Semua itu terjadi dalam kewarasan logika manusia. Bisa jadi karena ingin menyatu dengan alam, semua kabut yang membawa dingin dihantam dengan seluruh keberanian.

Kabut, bagi sebuah tempat seperti pegunungan adalah hal yang biasa. Disitulah berkumpul jutaan bulir air yang saling memeluk menyusuri lembah-lembah. Dari sanalah lembab menyajikan oksigen yang tipis. Dibalik keanggunannya, ada sebuah misteri yang selalu menyertai keberadaan kabut. Apa yang ada dibalik ribuan bulir-bulir uap air itu? Secara makna, Goenawan Moehammad pernah mempertanyakan arti dari ribuan uap yang menyisir gunung tersebut.

Dalam puisinya yang berjudul “Kabut” GM bertanya tentang arti keberadaan kabut: Siapakah yang tegak di kabut ini./ Atau Tuhan, atau kelam. Dua buah pilihan yang paradoks dalam arti namun tidak bisa dibandingkan. Tuhan, adalah manifestasi dari sebuah ideologi dan keyakinan. Keberadaannya bisa jadi ada namun tidak ada. Karena tidak dapat diwujudkan dalam sebuah material atau digambar dalam alam pikiran. Bisa diterima karena cukup diyakini saja. Tanpa perlu untuk menggugat keberadaan diriNya.

Sedangkan kelam? Adalah sebuah bentuk yang menggambarkan keadaan gelap, sepi, sunyi, dan mencekam. Antara Tuhan dan kelam menjadi sebuah paradoks, karena Tuhan adalah lambang dari pencerahan, sedangkan kelam adalah sebaliknya. Namun, paradoks dari keduanya tidak dapat dibandingkan secara ideologi. Bagi kaum yang meyakini agama tentu saja akan menggugat adanya pembandingan kedua kata tersebut untuk menggambarkan sesuatu. Namun, itulah ekspresi seorang penyair. Dia mampu berimajinasi di luar batas kewajaran manusia yang lain.

Keberadaan kabut dalam sebuah pendakian adalah peringatan untuk pendaki segera mawas diri akan keberadaan dirinya. Yang terjadi ialah, seorang pendaki akan kehilangan dirinya ketika kabut telah menyelimuti gunung dan lembah. Sepi dan terasing, perasaan seperti itu kemudian akan menggelayut.

Gunung beserta kabutnya senantiasa menyimpan cerita-cerita mistis diluar logika manusia. Ada pesan yang akan di ikrarkan oleh para pendaki ketika memulai sebuah pendakian. Dan selama pendakian setidaknya pendaki akan mawas diri pada semua pantangan dari gunung yang tengah ditelusuri. Memang terkesan ganjil dan di luar nalar, tapi itulah misteri sebuah gunung.

Secara logika, keberadaan kabut yang menutupi kawasan gunung saja membuat seorang pendaki kehilangan keberadaan dirinya—tersesat, apalagi ditambah dengan cerita mistis yang menyertainya. Namun, hampir tak akan sepi sebuah gunung dari pendakian. Entahlah, mungkin justru itulah keindahan yang ditawarkan penopang bumi.

Pengalaman juga tantangan membuat pendaki semakin liar menerobos imajinasi hanya untuk melihat terbitnya matahari. Ketika seseorang merasa sangat perlu untuk “muncak” gunung, apa yang sebenarnya dicari? Toh hanya melihat bumi dari sudut pandang berbeda. Namun, memang bukan manusia namanya ketika merasa menginginkan sesuatu agar terpenuhi. Bisa jadi alasannya cukup sederhana, ambisi. Ya…dengan itu, tanpa paham apa yang akan dicari untuk naik gunung, seseorang rela menahan lelah hanya untuk memenuhi gejolak keinginannya. Alasan yang sangat sederhana tapi memalukan. Hanya ambisi. Dengan alasan itu, sebenarnya pendaki tidak melakukan pendakian sebuah gunung, tetapi mendaki batas tertinggi egonya.

Ada cerita berbeda ketika seorang pendaki melihat gagahnya gunung sebagai sebuah tantangan. Perihal yang melatarbelakangi untuk melakukan pendakian. Sebuah eksistensi manusia terhadap alam. Dengan sampainya seorang pendaki “muncak” seolah merasa dirinya telah mengalahkan sebuah gunung dengan jebakan alam yang mengelilinginya. Merasa dirinya tak tersesat dan selamat hingga kepuncak adalah satu nilai tambah untuk menunjukkan eksistensinya pada pendaki lain bahwa dia telah sampai ke puncak paling tinggi.

Suatu ketika dalam sebuah televisi swasta, mengabarkan bahwa tim kru televisi telah berhasil sampai kepuncak sebuah gunung yang “prestisius” bagi seorang pendaki. Bagi saya, hal itu hanyalah tontonan biasa, mengingat bahwa sebenarnya kita memang diciptakan melebihi semua makhluk. Gunung, bagaimanapun begitu adanya. Dengan semua rintangan dan jebakan jurang yang menyempurnakannya. Yang saya tahu, dalam keyakinan saya, bahwa tanpa kita berhasil “muncak”pun, eksistensi kita lebih diakui daripada gunung. Saya ingat dengan sebuah kalimat “Bahkan gunungpun tidak sanggup memikul AMANAH ini” dari seorang yang saya kira orang baik. Jadi tidak perlu menunjukkan eksistensi kita pada orang lain bahwa kita telah berhasil “muncak” kalau masih mengakui eksistensi kita sebagai makhluk paling beruntung.

Yang lebih saya terima terkait pendakian hanyalah sebuah rekreasi. Sebuah jalan untuk menyegarkan pikiran dan jiwa karena kita berhadapan pada suasana yang berbeda daripada sebelum-sebelumnya. Suasana yang mungkin sekali sangat menarik karena saya jarang melihat sebuah alam dengan jurang-jurangnya, dengan udara dinginnya, juga dengan kesunyian yang ditawarkannya. Alasan yang mungkin dipandang remeh karena bobot katanya tapi justru sebuah keluguan. Orang yang jarang melihat gunung pasti suka dengannya, begitu juga orang gunung akan suka berekreasi ke kota. Itulah alasan yang tidak dibuat-buat dan lahir dari kewajaran sifat manusia.

Agus Raharjo
28 Juli 2009

Selasa, 07 Juli 2009

Mengenang teman-teman

Sewaktu saya benar-benar pulang kerumah. Ketika itu saya kembali dapat menyesapi semua kenangan yang tertinggal pada semua tempat yang pernah saya pijaki. Tempat-tempat itu seolah mengingatkan saya pada semua peristiwa yang membuatku hingga seperti sekarang ini. Seakan saya telah lama pergi darinya. Dan perihal ini dapat saya rasakan ketika saya menyambangi sebuah pasar kecil di belakang sekolahku waktu saya memakai seragam merah putih.

Pada paginya hari, saya diberi kesempatan menikmati semua gambaran peristiwa kecilku yang pernah saya alami bersama teman-temanku. Di tempat itu—pasar Kwoso—saya kembali mengingat siapa dan bagaimana teman-temanku dahulu, karena saya ingat, kami sering maen dibelakang sekolah yang dapat langsung menuju pasar tradisional tersebut.

Yang paling pertama saya ingat sewaktu saya menginjakkan kaki di antara deretan lapak-lapak kecil itu adalah, dulu, dibelakang sekolah itu, sering dijadikan ‘arena’ duel teman-temanku. dan saya ingat siapa orang yang paling sering duel di tempat itu. Yang kedua adalah, dulu sekali sebelum saya mengenakan seragam merah putih, saya masih ingat sering maen sendiri di pasar ini karena simbah putri juga jualan makanan tradisional di tempat ini. Selanjutnya, wajah teman-temankulah yang teringat pada memori pikiranku. Saya ingin menulis tentang mereka, setidak-tidaknya dari pandanganku, dan tidak semua dapat saya tulis disini. Inilah orang-orang yang sewaktu kecil menemani hidupku:

Untung Gunarjo
Dialah teman sekaligus sahabat dan saudara bagiku. Sebenarnya dia adalah kakak kelas, namun dia pernah tidak naik kelas sekali. Orangnya memang tidak suka dengan akademis, yang dia suka adalah semua petualangan. Hobinya adalah mancing dan berburu. Orangnya dulu lebih besar dariku, maka saya biasa merasa dilindungi ketika bersamanya. Ketika kita sekolah dasar dulu, dia sudah terlihat sebagaimana sosok laki-laki yang tidak pusing dengan cewek, dan segala tetek bengek kesenangan budaya modern lainnya. Baginya, mancing dan berburu adalah kenikmatan sendiri.

Dengannya juga saya membentuk sebuah tim maen kelereng—dia, saya dan satu orang lagi—yang sering menang ketika maen kelereng bahkan melawan orang-orang dewasa. Setiap melihatnya saya selalu ingat kejadian pada bulan ramadhan yang pernah kita lalui. Karena kita sering bersama, bahkan dalam sholat Tarawihpun pasti selalu bersebelahan. Suatu kali ketika kita sholat Tarawih, ketika Imam selesai membaca Al Fatihah, maka kita berseru mengucap Amiii..nn! kontan dia terpingkal-pingkal hingga kapok bersebelahan denganku lagi. Katanya ketika saya mengucap Amin itu, suara saya unik. Saya juga heran, apanya yang unik??!

Sekarang ini, dia tidak pernah melanjutkan sekolah SMAnya. Kelas dua dia keluar dari SMA. Entahlah, masuk SMP dia banyak menjadi lebih nakal dan bandel, hanya saja saya selalu tahu bahwa meskipun dia nakal, dia nakal secara individu yang tidak merugikan orang lain kecuali orang tuanya yang selalu dibuat repot. Dia bukan tipikal anak nakal yang ekstrovert, tapi laki-laki yang berkarakter individu penyendiri yang introvert dan tidak neko-neko. Hingga sekarang saya masih merasa begitu merindukan petualangan-petualangan dengannya dan sholat bareng yang kita lsayakan sewaktu kecil dulu di rumahnya. Juga keberaniannya. Saya masih ingat dulu waktu SMA kelas 2 (badan saya lebih besar darinya), ketika saya punya masalah dengan anak-anak kampung sebelah di lapangan sepakbola, saat itu saya sendirian yang paling besar yang lain masih SMP, Untung ngajak saya mencari siapa saja anak-anak itu dikampung mereka. Kejadiannya malam-malam, kita berdua menjelajah kampung sebelah mencari orang-orang yang sore tadi membuat gara-gara di lapangan (Untung tidak ikut maen bola), dan kita hanya berdua saja. Saya agak tsayat kalo memang benar-benar bertemu anak-anak kampung sebelah trus jadi apa kami nanti. Tapi dia nyantai saja berjalan dan sambil sesekali bilang bilang jangan tsayat. Dalam pikiran saya, busyet ni anak! Cuma berdua berani ekspansi ke kampung sebelah yang juga banyak anak-anak nakalnya. Beruntung sekali kita tidak bertemu anak kampung sebelah seorangpun, jadi tidak ada pengeroyokan atau perkelahian yang kami alami..Tapi saya salut pada keberaniannya.

Arif Wulantoro
Dalam olahraga, inilah seorang teman yang berbakat dari kecil. Sewaktu saya sangat senang sekali dapat menendang bola di lapangan (karena dalam 1 pertandingan paling banter dulu saya hanya dua kali menendang bola) dia sudah dapat berlari membawa bola dan membuat gol. Dia juga jago badminton, serta tenis meja. Dari sisi olahraga, saya kalah jauh darinya (dulu lho! Sekarang berani diadu deh.Hehehe…tapi terakhir kita maen bola kita jadi partner, juga bersama Untung, dia juga bagus).

Arif adalah tipikal laki-laki penakluk cewek (hehehe…piss Rep), karena di sekolah dasar aja dia dah berani masuk dunia permainan cewek (halah… apaan tuh?!), maksud saya dia dah berani lirik-lirik cewek, padahal kita masih sibuk dengan maen kelereng, mancing, dan maen kesawah atau panjat pohon. Dia juga termasuk laki-laki yang dapat dibilang paling gaul (saya juga bingung ukuran gaul itu apa? Pokoknya itulah!). Dengan Arif saya masih satu SMP, dikota (dia yang ngajak saya masuk SMP 2 Klaten). Dan memang kita akrab setelah itu. di SMPpun dia juga tidak berubah, masih saja berbau masalah cewek. Saya pernah diajak lewat depan rumahnya cewek yang dia suka waktu pulang. Jauhnya minta ampuun…(sebenarnya bukan lewat tapi memutar jalan pulang). Mungkin karena dia punya wajah yang selalu imut ya?! Saya sayai Arif punya paras babyface, biarpun terakhir saya pernah liat dia punya kumis tipis. Giginya aja sejak kecil belum pernah ganti kok. Tapi orangnya berpikiran dewasa dan sportif. Mungkin dialah tipe cowok flamboyan di sekolah dasar yang saya kenal pertama kali.

Sri Mulyono
Mul—begitu saya memanggilnya—adalah seorang tetangga sebelah rumah. Walaupun rumah kita berdekatan, kita baru bener-bener akrab sejak SMA. Dia adalah tipe laki-laki flamboyan kedua—saya tahu waktu SMA. Sewaktu sekolah dasar, dialah orang kedua yang tidak bisa maen bola, setelah saya. Saya masih ingat, ketika salah satu dari kami bisa menendang bola, maka kami akan saling pamer dan gembiranya kayak kejatuhan coklat dari langit. Walaupun dia belum menjadi laki-laki penakluk cewek, tapi sejak sekolah dasar bakatnya sudah terlihat. Dengan wajah yang berkarakter, tidak genteng juga tidak jelek, tapi menarik, cowok ini adalah tipikal cowok yang suka dirumah saja. Game adalah jenis permainan yang dia sukai. Saya kenal dengan permainan seperti itu juga dari dia. Dari jamannya Nitendo, Super Nitendo, sampai Sega, dan sekarang Playstation. Tapi memang kita berdua berbeda, saya tidak begitu suka dengan maen game (kalaupun bisa dibilang suka, pasti juga sepak bola, lainnya tidak), saya lebih suka game yang langsung dengan alam.

Yang masih teringat jelas dengan cowok ini adalah, dia sering ngajak saya ke Mall Matahari Klaten hanya untuk maen ding-dong. Dan hingga sekarangpun dia masih suka maen game (kayaknya sih?!). Juga dia masih saja tidak bisa maen bola (sekarang saya bisa). Mungkin karena dia suka dengan dunia maya dan internet. Hal itu juga bisa jadi yang membuat dia menjadi seorang yang pendiam, tapi diam yang menghanyutkan cewek-cewek. Hehe… piss Mul…

Dwi Anggono
Inilah teman sebangkuku dahulu ketika kita kelas VI SD. Saya masih ingat benar, kita adalah anak-anak yang suka menyanyi. Anak ini dapat saya sebut kekar walaupun orangnya lucu juga. Dahulu, saya pernah berlomba dengannya untuk menciptakan sebuah lagu. Dan kalau tidak salah ingat, hanya beberapa hari kita harus dapat menyanyikan lagu kita masing-masing. Aneh memang, kita masih duduk di kelas VI SD sudah mencoba mengarang lagu.

Pada hari yang telah disepakati, akhirnya kita benar-benar menyanyikan lagu “kita”. Saya kagum ketika dia dapat membuat sebuah lagu yang saya kira memang ciptaannya dia. Tapi akhirnya saya tahu bahwa itu adalah lagunya Katon Bagaskara: setetes embun di daun/ lambang bergulir/ ketika jatuh ketanah/ terserap musnah… Ketika saya tahu bahwa lagu itu bukan ciptaannya saya merasa menang, karena walaupun jelek, saya telah menciptakan lagu saya sendiri. Namun, saya juga tidak menyanyikan lagu jelek saya sendiri, tapi menyanyikan sebuah lagu yang saya hafal sebagai soundtrack film Virtual Fighter yang saya suka. Hingga saya menulis inipun, syaa masih ingat bagaimana lagu yang saya nyanyikan sewaktu SD dahulu. Sorry Dwi, laguku dulu juga lagunya orang lain. Hehehe…

Dengan Dwi saya juga masih ingat pernah membentuk kelompok belajar dengan nama ‘Time’di rumahnya. Seingat saya ada saya, Dwi, Marwanto, Nur Gobog, Heri Kizi (kalo ada yang lain sudah lupa). Agak lucu ketika membicarakan nama ‘time’ untuk menyebut nama itu. Ceritanya namanya sebenarnya bukan itu, namun karena kita ga tahu bahasa inggris, yang niatnya ‘team’ malah menjadi ‘Time’. Dan nama ‘Time’ terlanjur ditulis di tas saya. Setelah tahu bahwa yang dimaksud adalah ‘team’, maka saya mengusulkan untuk tetap memakai nama itu dengan filosofi bahwa waktu menunjuk pada kepentingan kita untuk menggunakan waktu sebaik mungkin untuk belajar. Baguskan alasannya?! Akhirnya nama kelompok itu tetap dengan nama ‘Time’ karena semua sepakat dengan saya. Sebenarnya lucu juga sih, kalau belum terlanjur saya tulis di tas, mungkin saya akan sepakat dengan nama ‘Team’. Hehehe….

Marwanto
Entah sejak kapan saya dekat dengan Marwanto saya tidak begitu ingat. Yang saya ingat, dulu saya pernah main kerumahnya dan diperlihatkan sebuah topeng kayu buatan ayahnya khusus untuknya. Dalam hati saya merasa iri, karena dia begitu disayang oleh ayahnya. Katanya lagi, ketika ayahnya pulang dari kerja di Jakarta, dia pasti dibelikan tas, sepatu yang bagus-bagus. Hal itu membuat saya semakin iri saja dibuatnya. Dalam benak saya, keluarganya yang sederhana adalah sebuah potert keluarga yang saling memberi perhatian dengan tak segan mengucapkan rasa sayangnya. Ibunya saya tahu tidak segan untuk mengingatkan waktu makan telah tiba, hingga mungkin kalau dia sedang tidak dirimah pasti dicari (hanya untuk makan dulu).

Saya ingat dulu, ketika main kerumahnya, saya disuruh memetik mangga sepuasnya. Di depan rumahnya memang ada pohon mangga jenis mangga nanas (katanya). Saya sangat senang sekali melihat kehidupan keluarganya, walaupun saya belum pernah melihat ayahnya yang kerja di Jakarta.

Marwanto adalah anak yang juga jago sepak bola di kelas dulu. Dia orangnya ulet dan pekerja keras. Walaupun secara teknik dan individu dia masih dibawah Arif, tapi dia bukan orang yang mudah menyerah. Dia juga layak menjadi kapten ketika ada di lapangan sepak bola, karena kedewasaannya main bola dan mengatur teman-temannya.

Heri Kizi/ Gembeng
Yang paling dapat saya ingat dari anak ini adalah dia sering menangis. Makanya dia mendapat julukan gembeng. Dia juga salah satu anak yang saya anggap dekat dengan saya. tapi anak ini lucu dan lugu. Seringkali dia menjadi bahan olok-olokan temen-temen. Dan orang yang paling sering dikerjai teman-teman adalah dia. Bisa jadi karena dia memang sering nangis kalau dikerjai makanya temen-temen suka ngerjai dia. Sewaktu temen-temen mengerjai dia, biasanya saya merasa kasihan dengannya, namun ketika dia sudah normal lagi, muncul deh sifat nyebelinnya. Hehehe… walaupun bebitu, saya juga suka bergaul dengan dia.

Yang dapat saya ingat sampai sekarang dnegannya disamping kelompok belajar ‘time’ adalah saya tahu bahwa ibunya adalah seorang pembatik. Ketika itu kelompok ‘time’ dapat jatah belajar di rumahnya dia, maka itu kali pertama saya melihat orang membatik secara langsung. Entahlah, hingga sekarang saya masih suka dengan kain batik. dan suatu saat nanti saya ingin membuat perusahaan batik sendiri. (amin)

Mungkin terlalu banyak ketika saya menceritakan semua teman-teman yang pernah memberi catatan pada kehidupan saya waktu sekolah dasar. Hanya beberapa itu yang dapat saya ceritakan disini. Ketika saya benar-benar merasakan pulang kerumah. Disaat saya mengantar Ibu ke pasar yang letaknya di belakang SD saya. Meskipun sejenak di pasar, saya masih ingat benar bagaimana SD dan teman-teman saya. Semuanya melintas seperti sebuah rekaman yang lama tersimpan dalam kenangan saya.

Untuk semua teman-teman saya, terimakasih karena membentuk saya seperti sekarang ini. Tanpa kalian mungkin saya tidak akan seperti sekarang.

Juli 2009
Agus Raharjo

Senin, 29 Juni 2009

Surat Untuk Cinta

Juni,
malam-malam kurindukan kau karenaNya.

Cinta…
Cinta, itulah kata yang akan aku sematkan untukmu. Yang akan kuucapkan setiap kali aku memanggil namamu. Itulah kata serupa curahan yang aku timpakan padamu. Cukup satu kata saja, bagiku telah mewakili semua kelegaan dan beban dalam pikiran dan jiwaku. Itulah kata yang hanya akan aku ucapkan pada satu orang. Bukan orang lain. Bukan ibu dan ayah yang telah mengajariku bahasanya. Bukan teman dan sahabat yang bicara dengan ketulusannya. Bukan saudara yang membisikkan kebijaksanaannya. Juga bukan pada perempuan-perempuan yang aku nihilkan keberadaannya, setelah ada dirimu. Tapi hanya padamu saja aku gerakkan gairah bibirku untuk satu kata itu. Itulah kata sebagai wujud rasa sayangku. Rasa yang akan semakin menderaku sewaktu kata itu telah melekat untukmu. Dan hanya akan kupanggil untuk memanggilmu. Tentu saja disamping namamu sendiri.

Cinta…
Tahukah kau… Betapa berat menjaga nama itu? Dan betapa banyak cobaan yang menantang untuk aku lalui? Namun, sampai saat itu terjadi—sebuah moment indah—akan kujaga itu. Hanya untukmu seorang. Bukan yang lain. Karena aku juga tahu, Adam hanya untuk Hawa. Bukan yang lain. Akan aku jaga sampai benar-benar datang waktunya aku memanggilmu. Jika mungkin dulu aku pernah mengucapkannya, maafkanlah aku, dan anggaplah itu sebuah khilaf dari beratnya cobaan menjagamu. Dan kesalahan itu bukan untuk selamanya. Darinya aku dapat belajar untuk memaknai kedalaman yang ditawarkan kata itu. Setelah itu, hanya kebanggaan jika aku dapat menjadikannya mahkota yang akan menyanjungmu. Mencoba menerbangkanmu dan memberi ruang tanpa batas dalam mengarunginya.

Aku telah ikhtiarkan mengunci mulutku untuk tidak mengatakan itu pada yang lain. Aku tidak akan iri mendengar suara-suara menggelikan darinya yang dibisikkan orang lain dari kedangkalan nafsunya. Aku juga tak akan mendendam pada khilaf yang telah menyeretku pada kepedihan. Juga pada rasa sakit tatkala aku hanyut dalam melihatnya. Aku tak akan merasa iri pada semua itu. Aku tahu kesejatian adalah dari perjuangan. Dan aku selalu berjuang untuk mencapainya. Dengan segala penderitaan datangnya kelak, juga kerinduan yang ditawarkan iblis agar aku tersesat pada nikmat nafsu yang membakar kita berdua. Aku masih ingin melalui semua itu dengan gigih. Dengan tegak nantinya aku ingin meraih kemenangan dari semua tawaran yang menjatuhkanku pada rendahnya sebuah nilai dari kesejatian kehidupan. Karena telah banyak aku melihat bagaimana seseorang yang tak mampu menahan hanya terperosok semakin jauh dalam sisi kelam nafsunya. Aku memang sering melihat mereka tertawa dengan merendahkan kata itu. Tapi juga kulihat mereka tertawa dalam panasnya api yang disiramkan iblis pada tubuh-tubuh mereka. Sesungguhnya aku hanya merasa kasihan pada mereka, namun mereka tak menyadarinya dan justru menjadi sosok-sosok yang bebal dan buta. Ya Cinta… aku pernah melihat mereka semua tertawa dalam bara yang telah menunggu dalam rumah iblis dengan api nerakanya.

Aku tak menginginkan kita menjadi seperti mereka. Masih bisa tertawa senang sekarang, padahal nantinya apa yang mereka tertawakan adalah perbuatan yang akan mereka tangisi karena membawa mereka pada siksa panasnya api abadi. Bukan itu yang aku harapkan, aku juga yakin itulah yang ingin kamu jaga. Aku begitu paham. Sama sepertimu, aku ingin kamu juga menjelma wanita yang melebihi pesona bidadari. Yang “seakan-akan bidadari itu permata yaqut dan marjan.” Aku juga lebih bahagia ketika kau dapat melebihi seorang bidadari. Aku sungguh akan bangga dengan hal itu. Itulah kenikmatan yang hanya dapat dirasakan dalam taman-taman abadi. Aku tidak rela ketika kulitmu nanti terkelupas oleh panasnya api neraka karena apa yang menggoda kita sekarang ini. Meskipun kita juga tidak memungkirinya, bahwa godaan itu sungguh nikmat. Namun kita juga paham, bahwa nikmat itu bukan untuk selamanya. Selama masih kusimpan kata itu. Itu tanda bahwa apa yang kita lakukan adalah nikmat yang sementara belaka. Hingga saat-saat aku telah berikrar, dan kuucapkan kata itu layaknya sebuah lantunan ayat-ayat yang setapak demi setapak memberi jalan menuju taman abadi. Hingga waktu itu belum terjadi, jagalah dirimu dari semua godaan yang membuat kita menjadi rendah dimata Yang Maha Menyayangi.

Cinta… tahukah kau aku sering menitikkan airmata? Ah, bodohnya aku, pasti kau tidak akan tahu. Iya Cinta… dalam kesunyian malam-malamku, kerinduan padamu sungguh begitu besar. Benar-benar menjadi terpaan yang sangat berat untukku. Namun kau tahu? Itu yang selalu memberiku jalan lapang hingga aku senantiasa bermunajat pada Dia Yang Maha Pemurah. Atas kemurahanNya aku masih diberi kesempatan merasakan kerinduan dan cinta. Dan atas kasih sayangNya aku masih diberi jalan untuk dapat bermunajat padaNya. Meskipun kerinduan padamu begitu besar, namun aku sadar karena Allah aku merindukanmu. Karena Allah jua aku merasakan cinta padamu. Aku merasa, Allah telah membuat jalan untuk kita lalui seperti sekarang ini. Entah apa yang akan terjadi nanti, biarlah itu jadi rahasiaNya saja. Kita akan coba menebak dengan ikhtiar kita. Dengan rencana-rencana, dan jerih payah yang kita lakukan, juga doa yang tak alpa kita panjatkan. Darinya, ada tempat terbaik yang menanti kita pada ridho dan barakahNya yang menanti. Biarlah kita titipkan harapan-harapan pada doa yang selalu kita lantunkan ketika kita bergumul dengan ketaatan padaNya.

Nanti… ketika harapan-harapan itu telah mewujud, aku ingin sekali bercerita padamu. Cerita tentang keseharianku, apa yang aku rasakan ketika merindukanmu, tentang ikhtiar yang aku lakukan selama ini, ah…aku akan cerita apa saja padamu. Dan kau adalah sosok yang dengan bijak mendengarkan cerita-ceritaku. Lalu, aku yang akan mendengarkan cerita-cerita tentangmu. Apa saja ingin aku dengar, asal kau yang menceritakannya. Kita akan selalu bercerita ketika kita tengah menikmati ridho dariNya. Dan tak lupa kita akan membuat cerita tentang kehidupan yang senantiasa berjuang untuk apa yang telah kita yakini. Apa yang saat ini masih kita perjuangkan sendiri-sendiri. Kelak, ketika kau mengalami kepenatan atas perjuangan ini, aku yang akan menjadi embun bagi gersangnya kemarau dalam semangatmu. Kau akan menjadi oase bagi Sahara atas jenuh dan lelah yang kualami. Ah…alangkah indah saat-saat seperti itu. Ketika kita berdua dapat saling menguatkan dan saling menopang. Karena yang setengah telah menjadi seutuhnya. Dan kita menjadi pejuang yang sempurna.

Cinta…
Apa yang aku tulis sekarang ini adalah sebuah harapan. Walau masih banyak harapan yang ingin aku tulis, namun aku tak pandai merangkai kata-kata. Aku masih sulit menyusun kata menjadi kalimat sehingga membangun menjadi sebuah paragraph yang indah selayaknya istana Sulaiman. Aku takut ketika kau baca paragraph yang tak indah itu, kau menjadi jenuh. Biarlah harapan-harapan sementara aku titipkan pada Allah saja. Dia akan menyimpannya dalam peluk kasih sayang ketika kulantunkan ayat-ayat doa padaNya. Tapi yakinlah, masih banyak harapan yang tak tertulis dalam bait-bait yang sedikit ini. Dan pahamilah, ada doa dalam ruh ketika aku menulis surat ini padamu. Doa yang terlantun dari laki-laki yang merindukan keberadaanmu. Doa yang terngiang dalam jiwa yang menanti kehadiranmu. Dan doa yang menggelegar dalam semangat untuk menjemputmu. Disanalah aku titipkan segala rasa dan ungkapan. Suatu waktu nanti akan aku endapkan menjadi sebuah kata untuk memanggilmu… Cinta.

Dengan kasih sayang dan kerinduan yang dalam,
Tertanda, AR.



Ya Allah…
Kutitipkan surat ini padaMu. Sampaikan pada sosok yang aku rindukan itu. Dan katakan padanya dengan semua ketulusanku, aku akan mencintainya karenaMu. Aku akan menjaganya untukMu. Aku akan membimbingnya menujuMu. Dan aku akan selalu menemaninya bersamaMu.

Ya Allah…
Katakan juga padanya, akan aku simpan sebuah kata itu hanya untuknya. Cinta. Akan kusematkan kata itu ketika dia telah menjadi pendampingku. Menjadi istriku. Dan katakanlah sebuah pesan untuknya dariku. Bilang padanya untuk bersabar dan selalu menjaga diri. Ikutkanlah ridho dan kasih sayangMu pada kami, Ya Allah. Karena sekarang ini aku belum dapat memanggilnya Cinta.


Solo, 11 Juni 2009
Agus Raharjo

Kamis, 28 Mei 2009

Asal Mula Sukoharjo: Menikmati cerita historis, menikmati sebuah kenangan.

Pada suatu waktu, di Majapahit terjadi huru-hara. Banyak prajurit yang tidak lagi setia terhadap kerajaan, melarikan diri dari Majapahit. Mereka tak lagi dapat menepis bahwa Majapahit telah diambang keruntuhan. Dilain sisi, kerajaan Demak maju lebih pesat. Sehingga keberadaannya semakin hari menggusur bumi Majapahit. Demak adalah kerajaan Islam yang maju pesat dengan dukungan para walinya. Dalam keberadaannya, kerajaan Demak bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam di bumi Jawa. Salah satu sebab keruntuhan Majapahit adalah juga disebabkan oleh keberadaan kerajaan Demak. Bala tentara Majapahit telah kalah dari prajurit Demak.

Ketika Majapahit telah diambang keruntuhan, tersebutlah seorang pangeran yang masih bertahan dalam kebimbangannya. Pangeran Banjaransari. Dia merupakan gambaran sosok yang bimbang antara mempertahankan Majapahit ataukan ikut pergi dari Majapahit. Lalu, pilihan telah diambil, dan dia memutuskan untuk pergi berkelana.

Dalam pengelanaannya, suatu ketika, dia dicegat oleh segerombolan begal yang akan merampoknya. Namun, karena kemampuan kanuragan yang dia miliki, Pangeran Banjaransari tak sedikitpun gentar dengan begal yang hendak merampoknya itu. Bahkan malah menantang begal-begal tersebut. Namun, sebelum adu kanuragan terjadi antara Pangeran Banjaransari dan begal-begal terjadi, maka, muncullah sosok manusia yang melerai perkelahian itu.

Dengan bijaknya, sosok laki-laki yang melerai tersebut menasehati para begal agar tidak melawan laki-laki yang dicegatnya, yang adalah Pangeran Banjaransari. Para begal tetap akan kalah ketika melawan Pangeran Banjaransari. Tetapi, apa yang dinasehatkan pada para begal seolah menguap begitu saja. Bahkan laki-laki yang meleraipun akan dibininasakan juga.

Namun, sebelum hal itu terjadi, sosok laki-laki dengan pakaian wali tersebut mengaku di sebagai Sunan Kalijaga. Maka, terkejutlah para begal dan Pangeran Banjaransari dengan kemunculan Sunan Kalijaga. Selanjutnya, Pangeran Banjaransari dan begal yang hendak merampoknya berlutut di hadapan Sunan Kalijaga agar diterima menjadi muridnya. Dengan ketakutan sekaligus kagum, para begal mengatakan bahwa mareka sebenarnya ingin bertobat sejak lama. Maka diterimalah para begal dan Pangeran Banjaransari menjadi murid Sunan Kalijaga. Dan berangkatlah mereka menuju padepokan sang Sunan.

Setelah sekian lama belajar pada Sunan Kalijaga, maka Pangeran Banjaransari mendapat tugas membabat alas Taruwongso dan membantu penduduk sekitarnya untuk keluar dari paceklik yang tengah melanda mereka. Maka dengan segala ilmu yang dimilikinya, didatangilah alas Taruwongso yang terkenal sebagai istana para jin. Usaha babat alas bukan tidak mengalami gangguan. Akan tetapi setelah terjadi pertempuran denan para jin penghuni alas Taruwongso, keluarlah Pangeran Banjaransari sebagai pemenangnya. Para jin yang berhasil dikalahkannya dipindah ke gunung Lawu.

Melihat keadaan masyarakat sekitar alas Taruwongso yang sedang dilanda paceklik dan mengidam-idamkan keadaan Raharjo, maka Pangeran Banjaransari menamakan daerah tersebut dengan nama Sukoharjo.

***
Sampai saat inipun nama Sukoharjo masih tetap ada. Bisa jadi kita termasuk orang yang belum mendengar cerita itu?! Sebuah cerita historis tentang asal mula nama kota Sukoharjo. Cerita yang bisa jadi adalah sebuah karangan saja, atau memang benar adanya, pada masa keruntuhan Majapahit. Dan masih dekat dengan kehidupan para Wali di tanah Jawa.

Terlepas dari kebenaran tidaknya cerita tersebut, memang terdapat sebuah makam yang disebut-sebut sebagai makam Pangeran Banjaransari di Taruwongso, daerah yang menjadi bagian daerah Tawangsari, Sukoharjo. Dan tentang makam itupun, apakah memang makam Pangeran Banjaransari ataukah bukan, saya sendiri juga tidak tahu secara pasti. Namun, saya pernah melihat papan nama yang menulis tempat itu ketika saya pulang dari Wonosari, Gunung Kidul.

Tulisan penunjuk tempat itu sengaja menarik perhatian saya karena malam hari sebelum hari itu, saya ikut menyaksikan sebuah latihan ketoprak dari suatu Padepokan di daerah Pajang. Sehari setelah saya melihat mereka latihan, saya juga menyempatkan diri untuk menyaksikan pertunjukan mereka. Pertunjukan tentang asal mula nama Sukoharjo. Ya… dari pagelaran ketoprak itulah awal saya mengetahui cerita dibalik nama kota Sukoharjo yang dekat dengan Solo.

Menikmati cerita-cerita historis bagi saya juga menikmati kembali sesuatu yang telah lama hilang. Ketika saya dapat menikmati cerita yang bernuansa sejarah, saya rasa imajinasi saya akan melarutkan kita kembali pada masa cerita itu terjadi. Ada sebuah sensasi tersendiri ketika dapat melihat masa lalu. Rasa-rasanya saya ingin dapat menjelajah waktu dan kembali pada masa-masa dulu ketika cerita itu dapat diingat sebagai sebuah sejarah pada masa kini.

Meskipun begitu, kehilangan itu tetap saja menjadi sebuah kehilangan. Tak dapat lagi menjadi sebuah kenyataan pada masa kini. Dan pagelaran adalah sarana mengenang sejarah layaknya kita memandangi sebuah potret masa kecil kita. Ada sesuatu yang kita rindukan ketika kembali menyimak gambaran-gambaran sejarah yang melintas di hadapan kita.

Malam itu, ketika saya menikmati uraian peritiwa tentang asal mula kota Sukoharjo, adalah sebuah peristiwa yang juga telah menjadi sebuah sejarah saja bagi saya. Mungkin kalau boleh saya bilang, sebuah peristiwa yang akan selalu melekat dalam memori kenangan saya. Peristiwa semacam itu tidak akan dapat saya temui lagi kedepannya. Karena setelah malam itu, saya telah kehilangan salah satu orang terdekat saya. Dan pagelaran ketoprak tentang asal nama kota Sukoharjo, adalah satu kenangan yang dapat dia tinggalkan untuk saya ingat.

Saya hanya dapat mengingat moment menikmati asal mula kota Sukoharjo menjadi bagian dari sejarah yang telah saya lalui. Mengingatnya bagi saya berarti juga menikmati apa yang telah hilang dari diri saya, meskipun saya tidak menginginkannya. Masa lalu telah membingkai moment itu pada tempat terdekat dengan kerinduan saya. Waktu begitu cepat berlalu meninggalkan sejarah yang diukir oleh setiap pribadi.

Sampai saat ini, saya masih dapat melihat dengan jelas kenangan yang baru beberapa hari lalu saya lalui. Namun, waktu jualah yang menjadi pemisah masa. Peristiwa itu menjadi sebuah masa lalu yang tersimpan sebagai penanda saya pernah kehilangan seseorang. Saya hanya dapat menikmati kenangan itu dalam pikiran saya. Gambaran yang sifatnya historis selalu saja menggugah kedalaman batin manusia. Dan sejarah bagi saya adalah bergumul dengan rasa kehilangan. Kenangan selalu saja menyita perhatian kita pada kedalaman peristiwanya.

28 Mei 2009
Agus Raharjo

Minggu, 24 Mei 2009

Doa dan Ikrar

Bulan ini, nampaknya adalah bulan yang sungguh baik. Bernuansa positif. Kalaupun ada peramal yang mengatakan, bulan ini adalah bulan bahagia. Mungkin saja benar adanya (bukan bermaksud percaya pada peramal). Bulan dimana banyak penyatuan moment yang menyatukan hati. Bulan berkah bagi para insan yang sedang merindukan “sang pelengkap”.

Bagaimana tidak? Dalam satu bulan ini, ada empat orang dekat saya yang akan berikrar setia pada ikatan suci perkawinan (Hmm…jadi pengen, Ya?!). Dan semuanya saya yakin telah melalui lika-likunya masing-masing untuk dapat berikrar di depan saksi seperti yang akan mereka lakukan itu. Sebuah ikrar yang akan membuat dua insan memegang kewajiban dan haknya masing-masing pada pasangannya.

Ada undangan yang benar-benar saya cermati isi dan gambar-gambarnya. Memang biasanya saya sering tidak memcermati undangan, hanya melihat waktu dan tempatnya saja. Tapi kali ini lain. Ada gambar kupu-kupu dan siput pada desainnya. Pertanyaan pertama yang timbul adalah, apa maksud kupu-kupu disandingkan dengan siput? Yang saya tahu, kupu-kupu adalah penjelmaan dari sebuah proses pembelajaran. Dari ulat yang bisa kita anggap menjijikkan sampai pada kupu-kupu yang menarik perhatian kita. Bisa jadi kupu-kupu adalah sebuah kelahiran baru. Yang jelas, siapa yang merasa menjadi kupu-kupu adalah seorang yang merasa dirinya terlahir kembali dengan segala kebaikan yang melekat padanya. Bagi saya, seseorang yang merasa seperti itu saya anggap adalah orang yang sangat menghargai sebuah proses.

Sedangkan siput? Kita tahu bahwa siput adalah seekor hewan yang malu-malu. suka bersembunyi dalam rumahnya. Dan sangat lambat sekali untuk bergerak. Bisa jadi, lambang dari keberadaan siput adalah gambaran sebuah kesabaran dan “menikmati” perjalanan. Sampai saking lambatnya, mungkin dia adalah seorang yang benar-benar detail jika diminta menerangkan apa yang telah dilewatinya.

Siput dan kupu-kupu? Adalah perpaduan yang tidak sepadan dalam arti ruang dan waktu. Itupun saya dapati pada halaman “Tentang Kami” yang menerangkan tentang pribadi calon pengantin. “Hampir semua yang ada pada kami adalah beda.” Namun, sungguh sangat bijak ketika mereka dapat disatukan oleh “Cinta (Misi dan Jiwa)”. Bisa jadi keduanya sangat menyadari benar perbedaan tersebut, namun, pada akhirnya mereka akan menginjak ke pelaminan.

Ada yang menarik lagi bagi saya pada undangan yang saya terima itu. Adalah doa calon pengantin. Saya akan jujur, bahwa saya membaca sampai pada akhir setiap kata-katanya. Entah itu benar-benar doa mereka atau dibuat oleh desaigner undangan. Namun doa yang mereka panjatkan dapat membuat saya terharu.
:
Doa Kami

Habib:
Berkenanlah Engkau Yaa Rabb,..
Menjadikan hadirnya seorang wanita berada di samping
Hamba_Mu yang lemah ini
Menjadikan hadirnya seorang wanita memberikan kesejukan
Dalam rona-rona biru hidup
Menjadikan hadirnya seorang wanita dengan lembut dan kelembutannya
Menjadikan karang dalam hati ini,…luluhhh
Menjadikan hadirnya seorang wanita dengan sabar dan kesabarannya
Menjdikan hati ini mampu mencapai Mardhatillah bersamanya…
Menjdaikan hadirnya seorang wanita dalam hari-hari
Menapaki jalan hidup di dunia menuju Akhirat yang abadi
Menjadikan hadirnya seorang wanita pengarah arah tujuan
Manakala terdapat khilaf dalam menapaki jalan hidup
Menjadikan hadirnya seorang wanita,.. sebagai kekuatan setelah kekuatan_Mu dengan doanya
Menjadikan hadirnya seorang wanita dnegan ketaatannya
Memasukkan kami bersama dirinya dalam Syurga dengan Ridho_Mu

Eni:
Dalam jalani hidup dan kehidupan
Tuhanku…
Aku berdoa untuk seiorang pria yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu
Tuhanku…
Aku tidak meminta seseorang yang sempurna, namun aku meminta seseorang yang tidak sempurna, sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu
Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
Seorang pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seseorang yang membutuhkan senyumku untuik mengatasi kesedihannya
Seseorang yang membutuhkandiriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna
Tuhanku…
Aku juga meminta,
Buatlah aku menjadi wanita yang dapat membuatnya bangga
Berikan aku hati yang sungguh mencintaiMu sehingga aku dapat mencintainya dengan sekadar cintaku..


Pada akhir doa, masih ditambah lagi kalimat: Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan: “Betapa Maha Besar Engkau karena telah memberikan kepadaku pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna.”

Bagi saya sungguh menjadi doa yang menggetarkan. Bukan karena umur saya yang mendekatinya, tapi karena ada ketulusan yang saya rasakan. Ketulusan yang tidak muluk-muluk. Ketulusan yang muncul dari hati.

Bisa jadi saya iri pada keduanya. Dan membaca kedua doa tersebut, saya berpikir, kapan saya dapat membacanya? Juga kapan saya akan didoakan seperti itu. Hmm…mungkin saat ini saya hanya bisa berdoa, Ya Allah…berikanlah kekuatan pada kami sedikit kekuatanmu untuk kesabaran kami menunggu saat-saat itu terjadi. Jagalah kami seperti kami juga berniat untuk menjaga diri masing-masing sampai pada waktunya nanti. Amin…

Doa dan Ikrar? Menjadi benar-benar sakral ketika berada pada momentum yang tepat. Sebelum Ikrar itu benar-benar diucapkan. Doa adalah tempat yang paling tepat untuk meletakkan janji. Dan sebuah Nadzar adalah perwujudan dari seberapa besar kesungguhan akan hal itu. Sekali lagi, semoga Allah memberikan jalan yang terang…

Solo, 20 Mei 2009
Agus Raharjo

Gerimis di Wajahku

Jika nanti kau merindukan aku
Kutitipkan kenangan pada wajah hujan
Karena aku tahu, hujan mengingatkanmu padaku

Jika nanti kau tak kuasa menahan tangis
Kuikutkan airmatamu pada derai hujan
Disanalah kerinduan kita bertemu

Jika nanti kau merasa jauh dariku,
Mendekatlah pada belai hujan
Dengannya, kutarik kau menari bersamaku

Jika nanti kau lelah menungguku
Bicaralah pada hujan
Darinya, kutahu aku harus datang
Dan kebahagiaan,
Menjelma rintik gerimis di wajahku.


"sebuah persembahan"
(AR, 19 Mei 2009)

Perjalanan

Rabu, tanggal 13 Mei 2009, hari dimana saya merasakan titik kegelisahan pada puncaknya. Saat itu, saya, seperti kebiasaan lama, berencana “menikmati” setiap permasalahan dalam sebuah perjalanan. Dan akhirnya, siang hari saya merencanakan untuk bersepeda. Bukan jalan-jalan, seperti yang biasanya. Karena perjalanan yang saya tempuh hari itu adalah sebuah perjalanan yang agak jauh. Disamping proses merenung dan berpikir, saya juga mempunyai amanat dari seorang teman mengambil surat rahasia dan penting (saya tahu setelah saya menerima surat itu).

Sampai pada sore harinya, saya benar-benar melaksanakan perjalanan itu. Dan saya memang merencanakan akhir dari perjalanan itu adalah masjid dimana saya belajar bagaimana berhadapan dengan anak-anak.

Lalu, dimulailah perjalanan pada sore itu. Saya dengan semangat seprti biasanya, hendak menjernihkan pikiran dengan merenungi semua permasalahan dalam sebuah perjalanan. Memang bukan perjalanan yang menyenangkan, namun setidaknya ada yang bisa saya resapi dari perjalanan singkat itu. Tentang semuanya. Apa yang saya lalui, apa yang saya lihat, apa yang saya rasakan, apa yang saya menimpa saya, dan apa yang tengah menunggu saya di sana. Semuanya mirip sebuah miniatur kehidupan.

Dari sebuah awal, saya sampai pada persinggahan pertama. Yaitu etmpat mengambil surat amanat dari teman saya yang telah jauh. Surat rahasia dan penting. Disana saya bertemu dengan orang-orang yang bagi saya punya pengalamannya masing-masing dari kesan yang ditinggalkannya pada saya. Pada pengalaman itu, akan saya ingat bagaimana karakter dari masing-masing individu yang melekat pada mereka. Tentang sebuah kesombongan, keangkuhan, sok pahlawan, sok penting. Walaupun tidak semuanya memberi kesan negatif, karena ada juga kesan-kesan positif yang diberikan pada saya dari orang-orang tertentu juga. Entahlah, mungkin semua itu adalah suka duka bernafas di dunia. Saya maklumi saja.

Ketika saya keluar dati persinggahan pertama, saya langsung berpikiran pada persinggahan berikutnya. Sebuah tempat yang dulu pernah saya kunjungi, dan orang yang saya anggap dekat dengan saya. saya bilang seperti itu, karena saya pernah melihatnya dari titik nol menjadi seperti dia yang sekarang ini saya kenal. Mungkin tidak sia-sia saya merasa ikut mendidiknya menjadi seperti sekarang ini. Meskipun dari dulu, sosoknya dapat membuat saya tersenyum karena kepolosannya.

Untuk lebih menikmati perjalanan, saya sengaja melewati sebuah makam yang dapat dikatakan besar di daerah itu. Pracimaloyo. Padanya, saya hanya melihat banyak sekali nisan-nisan yang tertancap dalam tanah, dengan nama-nama orang yang terbaring dibawahnya. Ketika itu, saya merasa dekat sekali dengan kematian. Ada rasa putus asa yang membuat saya pasrah pada kehidupan. Ada perasaan ditinggalkan yang begitu besar, juga ada kehilangan yang begitu berat untuk saya tanggung. Saat seperti itulah sepertinya mengingat kematian adalah sesuatu yang pas. Karena kematian juga menjadi sebuah cara tentang rasa kehilangan itu. Kehilangan mutlak yang tak akan pernah kita dapatkan lagi. Dan memang saat itu, saya benar-benar dicekam rasa kehilangan yang paling berat dalam hidup saya. Saya sungguh dibuat takut tak terkira padanya.

Dan pada tengah perjalanan saya di makam-makam tersebut, saya melewati sebuah jalan kecil yang dulu pernah saya lewati. Juga tentang rasa kehilangan. Diujung jalan kecil itu, saya tahu ada seorang wanita yang akan seklalu dirindukan oleh laki-laki yang senantiasa berpikir realistis itu. Di dalam tanah itu, terbaring wanita yang telah berjuang sekian tahun pada penyakit kanker yang akhirnya membawanya terpisah pada keluarganya. Meskipun saya tak melihat laki-laki yang saya kenal itu menitikkan airmata, namun saya percaya ada rasa kehilangan mutlak yang menyelimutinya. Tapi saya benar-benar kagum, pada apa yang diperlihatkannya. Dia begitu tabah menghadapi kehilangan itu. Tidak seperti adik perempuannya, yang menangis pilu ketika liang dalam tanah memeluk sang ibu. Ada suasana sedih dari pada jalan kecil itu, yang dulu masih basah oleh hujan, juga pada liangnya masih digenang air hujan.

Mengingat pengalaman itu, juga pengalaman-pengalaman lain pada nisan-nisan yang tertancap pada tanah diatas liang kubur itu, membuat saya berpikir tentang menghadapi sebuah rasa kehilangan. Barangkali saya masih beruntung, karena rasa kehilangan yang menakuti saya adalah bukan karena kematian. Dan kehilangan seperti itu tidak selamanya. Mungkin saja akan ada yang mengisi kekosongan padanya. Meskipun demikian saya sangat takut mengalami rasa kehilangan itu. Saya mencoba untuk ikhlas dan berpikir realistis, meskipun berat. Lalu dengan kesedihan dalam dada, akhirnya say keluar dari kompleks makam Pracimaloyo. Sebelum benar-benar meninggalkannya, sebentar saya melihat nama tempat itu. Saya berpikir, tempat inilah akhir dari perjalannan saya di dunia. Dan bisa jadi saya akan segera terbaring dalam liang tanah seperti mereka yang lebih dulu telah terbaring. Entah kapan.

Setelah benar-benar meninggalkannya, ada perasaan baru yang melingkupi dada saya. ada kenangan-kenangan kecil ketika saya akan bertemu dengan seseorang yang dekat dengan saya ketika kita sama-sama belajar dalam sebuah proses. Bisa saya sebut sebuah jenjang belajar menjadi dewasa. Hingga pada akhirnya, dari pembelajaran itu akan kami gunakan untuk dapat bertahan dalam masyarakat. Dan sore itu, dia sedang mengajar TPA anak-anak di kampungnya. Saya berencana membatunya. Saya akui, sekarang saya suka bersama anak kecil. Mungkin dengan mereka saya belajar menjadi seorang yang dewasa. Seperti orang itu, dia yang dimata saya tetap lucu dengan kepolosannya, saya lihat menjadi dewasa dihadapan anak kecil. Sungguh hanya naluri yang dapat merubah semua itu dengan tiba-tiba.

Mungkin inilah sebuah singkat “menikmati” perjalanan bagi saya. pada akhirnya, saya memang telah belajar menjadi ikhlas bangaiman menghadapi rasa kehilangan itu. Meskipun sangat berat.

Note: Keesokan harinya rasa kehilangan itu telah berganti menjadi sebuah semangat. Terima kasih telah percaya padaku! Empat baris tulisan saya pada “Halaman Persembahan” benar adanya.
Untuk Yaya’, terimakasih telah mengajariku bagaimana menghadapi kehilangan itu.

Solo, 19 Mei 2009
Agus Raharjo

Kamis, 07 Mei 2009

Kisah

Ketika membaca “Dari Penjara ke Penjara”nya Tan Malaka, saya mendapat sebuah kesimpulan bahwa kisah terkadang patut untuk ditulis. Secara jujur, dan terang. Dan selama ini, kisah—sebagian orang menyebutnya “curahan hati”—bagi saya adalah sesuatu yang bersembunyi dibalik bayangan hidup yang paling pribadi. Dan selama ini kisah yang jujur hanya saya tulis untuk saya simpan sendiri pada sebuah buku warna biru yang saya beli sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di Solo. Harapan saya semua dapat tertulis pada lembar-lembar kertas yang hanya saya yang membacanya. Walaupun terkadang, beberapa memang saya tulis untuk dapat dibaca orang lain. Meskipun dengan menyembunyikan maksud sesungguhnya. Saya masih berpendapat bahwa kisah hidup, bagi saya adalah sesuatu yang tabu untuk dikatakan dnegan jelas.

“Dari Penjara ke Penjara”, adalah sebuah kisah hidup yang ditulis dengan jujur oleh Tan Malaka. Meskipun tidak bisa lepas dari perspektif penulisnya sendiri tentang banyak hal. Dan dari dua jilid buku tersebut( jilid tiga belum saya baca), saya menemukan sebuah kisah yang secara jujur dapat menggetarkan. Kisah tentang sebuah perjuangan. Semuanya tentang pengalaman seorang tokoh Komunis sejati( dalam pandangan politiknya), berhadapan dengan ideologi imperialis. Dan selalu melawan bahkan dengan pribadinya. Ketika dulu saya takut mengenal kata komunis, tentu saja dengan pandangan miring yang menyertainya. Saya jadi merasa, saya telah masuk dalam jebakan kaum imperialis yang merupakan musush utama komunis. Dan saya selalu mendapati bahwa komunis adalah ateis (tak bertuhan), sedangkan yang saya dapati adalah Tan Malaka adalah seorang muslim dari orang tua yang taat beragama.

Mungkinkah dulu saya mengalami penyesatan yang luar biasa, hingga saya memaklumi semua pandangan miring tentang komunis itu? Membaca, buku-buku Tan Malaka, saya malah mendapati seorang sosok Nasionalis sejati. Semua hidupnya adalah untuk Republik Indonesia. dan pada seluruh umurnya adalah perjuangan. Mungkin Tan Malaka telah lupa bagaimana belajar untuk menikmati hasil dari perjuangannya, hingga dia hilang dari muka bumi ini.

Atau bisa jadi, perjuangan itulah yang memang lebih dia nikmati. Bukan hasilnya. Dan sebagai penghibur dari segala perjuangannya, dia lebih dapat menikmati sifat lugu rakyat jelata yang dapat mendorongnya untuk terus berjuang. Seperti yang dia katakan, ketika tinggal pada sebuah perkampungan di Kali Bata tentang para tetangganya.

Sifat rakyat jelata kita, selalu menghibur diri saya dan saya anggap satu sifat yang baik yang memberi penghargaan buat hari depan. Tahu berterima kasih dan menghargai anggota bangsa atau kaum yang berusaha membelabangsa atau kaum itu, adalah sifat pertama dan terutamauntuk menjadi bangsa yang merdeka dan terhormat!

Dari kalimat yang dia tulis, Tan Malaka sepertinya memang dapat terhibur dengan sifat rakyat jelata, yaitu rakyat kecil dengan segala keluguannya dan kebaikannya. Tentu saja masih dalam kaitannya adalah untuk berjuang, dan masa depan bangsa yang lebih baik lagi. Kalimat itu juga dapat ditafsirkan sebagai sebuah analisa seorang Tan Malaka untuk menjadikan sebuah bangsa yang terhormat.

Bukan kekayaan, bukan wanita, dan juga bukan kekuasann! Bukankah tiga hal itu yang senantiasa membuat lemah seorang laki-laki? Tapi justru ketiganya tidak kita temui dalam diri Tan Malaka. Kekayaan adalah bagaimana dia dapat sekadarnya bertahan hidup dalam berjuang. Wanita? Bahkan sampai maut menjemputnya, Tan Malaka tidak pernah menyebut seorang wanita yang mendampinginya. Sekali saja dia mengatakan bahwa ketika dia menjadi pelarian di Tiongkok, dia pernah dekat dekat dnegan wanita, tapi segera dapat dia alihkan karena sungguh berbahaya untuk keberadaan diri dan perjuangannya. Dan kekuasaan? Tan Malaka adalah sosok yang sebagian hidupnya adalah “menikmati” masa pembuangan. Selama kurang lebih 20 tahun dia diusir dari tanah air. Dan setelah kembali, ettap saja dia merasa mengasingkan diri hingga Indonesia merdeka. Dan setelah merdeka? Dia tetap menjadi seorang yang berjuang atas kebijakan pemerintah yang masih dia anggap membantu kaum penjajah, dan menyengsarakan rakyat.

Kisah yang seharusnya diketahui oleh kita, anak-anak negeri yang masih punya rasa nasionalisme. Bukan mengincar kekuasaan dan harta. Dan kisah seperti itu adalah sesuatu yang memang perlu untuk diceritakan dengan jelas dan terang. Justru tidak dibutuhkan kalimat-kalimat yang rumit untuk menceritakannya. Seperti juga saya pernah baca sebuah buku tentang pengalaman seorang gadis kecil Yahudi di tengah-tengah krisis Negara Jerman. Anne Frank, gadis itu dengan keluguannya menulis kisah hidupnya pada Diary. Lewat buku itu kita dapat ikut “menikmati” bagaimana hidup dalam persembunyian ditengah-tengah kemelut pembuangan dan pembantaian Jerman atas Yahudi.

***

Kisah hidup, dapat menjadi pembelajaran bagi orang lain. Saya sendiri, adalah tipikal orang yang sulit untuk dinasehati, terlebih ketika nasehat itu keluar dari acara-acara training. Justru malah saya ingin tertawa sinis ketika mendengarnya. Karena bukan kata-katanya yang berbusa-busa itu yang dapat membangkitkan kesadaran saya. Akan tetapi justru dengan kisah hidup sesorang. Sampai berbusa-busa sekalipun, seorang trainer atau motivator bagi saya adalah bahan tertawaan. Terlebih ketika itu disampaikan di depan banyak orang. Mungkin, seorang psikolog lebih akan saya hargai. Karena dia berinteraksi secara pribadi dengan pasiennya. Jikalau saya harus menunjukkan siapa motivator terbaik saya di dunia, saya akan menunjuk salah seorang saudara saya. dengan satu kalimat positif saja, dapat menggerakkan semangat saya pada level tertinggi. Bukan karena kedalaman kata-katanya, tapi karena aku tahu kisah hidupnya. Dan sampoai sekarangpun saya masih kalah jauh padanya. Bukan karena dia saudara, tapi karena pengalaman dan kisah hidupnya yang saya tahu benar seperti apa.

Semua yang dialamai oleh orang lain adalah pelajaran dan perenungan bagi saya. Dari dulu saya suka mencermati orang lain. Mungkin saja itu yang membuat saya dapat langsung mengetahjui bagaimana karekter yang melekat pada diri seseorang. Tapi memang aneh, saya tidak dapat menjelaskan karakter-karakter itu. Saya hanya bisa merasakannya saja.

Begitu juga dengan urusan yang paling sensitif bagi laki-laki dan perempuan. Cinta. Selama ini saya tidak pernah mengalami apa itu pacaran, tapi saya heran, mengapa kebanyakan teman saya suka datang dan berkonsultasi pada saya? Aneh bukan? Saya saja heran. Dari sejak SMP, saya selalu jadi “rujukan” untuk konsultasi terkait satu kata yang rumit maknanya itu. Bisa jadi saya adalah seorang penghubung dari pengalaman orang yang lebih dulu pernah merasakannya untuk disalurkan pada orang yang sedang belajar paham. Atau mungkin karena saya adalah pendengar yang baik. Tapi memang semua kisah yang saya dengar akan saya renungkan dan pelajari.

Suatu kali saya pernah mengobrol dengan teman saya yang mau nikah saat makan malam bersama. Dia menasehati saya tentang cinta (dia bisa bicara karena sebentar lagi nikah), kra-kira begini: “ Jangan pernah kau tanyakan kepadanya mengapa dia mencintaimu!” Hanya itu!

Tapi dalam perenungan saya, kalimat itu memang sungguh-sungguh bermakna. Setelah saya pelajari dan renungkan, saya mendapati sebuah kesimpulan bahwa pertanyaan itu adalah sebuah ungkapan yang akan menimbulkan keraguan pada orang yang ditanya. Dan memang sangat berbahaya sekali ketika itu dikatakan pada orang yang telah saling merasakan itu. Bisa jadi dia akan ragu pada dirinya sendiri, atau justru dia akan mengira kita tidak percaya dnegannya. Semua itu adalah hal yang dapat melemahkan hubungan. Jadi, saran saya pada orang-orang yang telah menemukan “sayap kedua”nya, jangan pernah menanyakan hal itu.

Begitulah, sepertinya kadang kita perlu untuk mempelajari kisah-kisah orang lain. Agar kita sendiri lebih kuat daripada orang lain tersebut, dan yang paling penting kita lebih bisa siap menghadapi sesuatu. Apapun itu! Bukan hanya pada sekadar curahan hati, tapi sebuah perjalanan.

Tan Malaka, saya kira dia belum menemukan titik akhir dari perjalanannya hingga malaikat maut menjemputnya. Saya merasa, saya ingin menjadi seperti dia, tidak takluk pada harta, kekuasaan dan wanita. Entahlah, mungkin saya terlalu takut untuk merasa kehilangan pada ketiganya sebagai manusia. Serasa dibelenggu. Terlebih ketika perihal tersebut telah dekat dengan saya. Saya sendiri juga tidak mengerti, sampai kapan saya bisa seperti seorang Tan Malaka. Saya ingin kembali menjadi seperti dulu, tidak tergantung pada apapun. Setelah semua yang aku saya alami, saya ingin itu terjadi. Bisa jadi dengan sikap dingin itulah yang akan membekukan hati saya pada ketiganya. Dan saya hanya ingin berjuang, agar dapat bermanfaat bagi orang lain. Dengan atau tanpa apa dan siapapun!

Solo, 8 Mei 2009
Agus Raharjo