Selasa, 12 Agustus 2008

17 Agustus

Rasa-rasanya, saya selalu merindukan tanggal itu. Semakin hari, semakin berganti tahun, selalu saja akan bertemu dengan 17 Agustus. Hari yang bagi sebagian orang adalah hari yang benar-benar menjadi sebuah sejarah yang akan dikenang dalam pikiran. Dimasukkan dalam hati, dan menjadi sebuah kenangan yang memikat. Juga untuk saya.

Hari ketika sekitar pukul 11.00—kata Ibu saya—adalah hari dimana saya menghirup udara dunia untuk pertama kali di tahun ’85 waktu itu. Saya yang tidak pernah dapat menolak bahwa saya akan dilahirkan oleh Ibu saya. Seorang wanita yang lahir dan besar di Klaten. Tapi itulah rahasia Ilahi. Yang saya yakini adalah bahwa saya lahir dan besar di Klaten dari Ibu saya adalah bukan tanpa alasan. Sesuatu sebab yang membuat saya terlahir di tanggal itu juga.

Juga, tanggal ketika gegap gempita kebebasan telah berkumandang di seantero Nusantara. 17 Agustus 1945, hari yang menjadi sebuah kebanggaan bagi anak negeri atas kemerdekaan dari penjajahan. Meskipun hanya sebagai penghibur sementara. Karena senyata-nyatanya negeri kita tidak sepenuhnya terbebas dari sebuah “perlakuan penjajah”. Hanya dengan wujud dan cara yang lain. Lebih “mudah” serta lebih “menyenangkan”.

Mengapa saya dapat beranggapan bahwa itu lebih “mudah” dan “menyenangkan”. Saya bukan bermaksud apa-apa, hanya saja saya melihat bahwa kita seperti tidak tahu bahwa kita sedang mengalami “perlakuan penjajah”. Atau bahkan kita terlalu naïf sehingga tidak mau tahu apa yang terjadi pada diri kita. Itulah yang membuat kita masih membiarkan “perlakuan” itu terjadi pada diri kita. Jadi, bisa saya katakan, bahwa wujud perlakuan ini yang menjadikan kita lebih “mudah” mengalami “perlakuan penjajah” dengan cara ini kita “dianggap” telah masuk dalam perangkap penjajah.

Kemudian saya katakan “menyenangkan” oleh karena dengan wujud-wujud yang sulit ditolak oleh manusia—berupa kesenangan duniawi—membuat kita menikmati dari semua agenda besar penguasaan. Entah itu dengan nikmatnya konsumsi atas segalanya, atau bahkan budaya yang serba instant.

Saya jadi miris ketika melihat tahun demi tahun berganti, dan selalu melewati tanggal 17 Agustus. Bukan karena saya hari itu berkurang usia atas keberadaan saya di bumi. Lebih pada semakin lama saya melihat bahwa makna tanggal 17 Agustus semakin lama meluntur pada jiwa penerus bangsa.

Apa yang sebenarnya telah terjadi? Jika dulu waktu kecil saya selalu dengan semangat mengikuti upacara. Mencoba membayangkan betapa susahnya seseorang berjuang ketika mengheningkan cipta berlangsung. Apakah yang dirasakan anak-anak sekarang sama seperti yang saya rasakan dulu.

Saya kira tidak. Anak-anak sekarang telah bangga ketika dirumahnya ada Playstation. Juga lebih bisa menghayati ketika sibuk dengan membaca sort message service (SMS). Mungkin juga karena mereka tidak pernah tahu atau diberi tahu betapa beratnya untuk membuat mereka menghirup udara kebebasan di negeri ini.

Tapi bagi saya pribadi, 17 Agustus adalah hari yang sangat bersejarah dan selalu saja saya senang mengalaminya. Tanggal yang selalu saja membuat saya bangga karena tanggal lahir saya sama seperti “lahirnya kembali” Indonesia. Tempat saya hidup, dan mencoba memahami untuk apa saya hidup di dunia ini.

Solo, 2008
Aryo Aswati

"Pengobanan?"

Selalu ada sebuah alasan untuk menjadikan orang lain “patuh” atas kehendak pihak tertentu. Dalih keshalehan sosial, atau sebuah amanah bisa membuat seseorang merelakan yang lain. Bisa jadi, potensi seseorang tak pernah dapat tergali, atau bahkan sekadar terlihat. Salah siapa ketika sebuah “pengorbanan” dijadikan senjata agar mau bersama-sama “memperbaiki” masyarakat.

Seringkali saya mendengar sebuah pertanyaan, “untuk apa semua ini?” sebuah kerelaan yang terpaksa mengingat pejuang yang lain ada “urusan” yang laen. Memangnya kita juga tidak punya urusan sendiri? Siapa sih yang suka dipaksa ketika pemaksaan itu benar-benar jauh dari nurani, jauh dari hati kita yang terdalam. Entah sampai kapan orang-orang yang “diberi amanah” mampu bertahan? Bisa-bisa ketika jatuh, yang terjadi adalah sebuah kekecewaan yang memberontak. Bukan lagi sikap acuh, tapi menentang.

Terkadang memang sangat memuakkan membayangkan “yang lain” melegang maju karena pengorbanan yang benar diterima dengan senang hati, maksudnya sesuai dengan keinginan dan potensinya. Tidak seperti orang-orang yang menelan mentah-mentah makanan yang paling dibencinya karna pahit yang dirasakan. Mungkinkah pikiran pahit ini menyehatkan? Tidak. Justru sebaliknya, pahit ini dirasakan seolah-olah racun yang perlahan mengekan semua gerak untuk sebuah kemajuan.

Mungkin saya egois? Iya. Tapi sebelum bertanya pada saya, tanyakan itu ke “yang lain”! Kemana saat keshalehan sosial memanggil? Dan amanah meminta uluran tangan. Pasti jawabnya, “kita di amanah yang lain.” Benar bukan? Saya ingatkan sekali lagi! Apakah menurut “kalian” kita tidak punya amanah??? Hingga korban-korban atas nama keshalehan sosial menjamur. Jadi, siapa yang egois sekarang???

Sekarang tanyakan nurani masing-masing!!! Kalau punya. Apakah yang bersedia mengulurkan tangannya atas nama keshalehan social ketika bertolak belakang akan menerima dan bersedia mengulurkan tangannya? Saya pikir, jika itu terjadi pastilah “bersembunyi” di amanah yang lain jalan terbaik. Beda kasusnya ketika amanah itu menjadi obsesi atau minimal jalan yang mempermudah jenjang kedepan kelak. Huh… jawab dengan jujur! Itupun kalau masih punya kejujuran. Atau kejuijuran itu juga dicari celahnya? “Tidak apa-apa, kebohongan ini untuk kebaikan.” Bagi saya, kebohongan tetaplah sebuah kebohongan. Dengan dalih apapun itu tetap saja kebohongan.

Entah apa lagi dalih untuk membenarkan sesuatu sering kita dengar tapi sangat tabu untuk dibicarakan. Bahkan lebih tabu daripada obrolan2 tentang lawan jenis. Hmmm…. Itu kayaknmya yang paling sensitive. Intinya, semua bungkam untuk masalah sebuah “pengorbanan”. Entah takut, atau memang tolol, tapi semua seperti tidak terjadi apa-apa. Hingga sebuah korban benar-benar berjatuhan. Entah keluarga, karir, atau kehidupan pribadi sebagai mahasiswa. Hingga kadang saya dengar yang bisa dilakukan hanya menyendiri dan meneteskan airmata. Karena airmata itu sendiri haram dikeluarkan demi lancarnya generasi-generasi selanjutnya.

Solo, 2008
Aryo Aswati