Jumat, 31 Oktober 2008

Dini hari, di Wahyu Sari Tawangmangu

Setiap waktu yang tertinggal, akan menyisakan masa lalu. Dalam pekat malam, tanpa bintang dan bulan. Angin malam berdesir dari arah utara, menerpaku dingin. Tapi juga panas. Haluan apa yang digunakan untuk berpijak? Kesalahan-kesalahan kecil yang membuat jiwa mencibir. Dari kelakuan, tawa, juga bara yang terpendam.

Hariku indah, tapi memang kadang menyakitkan. Biarpun aku tidak mau menyerah. Tapi itu sebuah kenyataan. Di hari ini, juga hari depan layaknya bumi yang harus berputar. Agar siang dan malam menjadi kisah yang nyata. Di sudut dingin ini. Aku termenung merindukan cerita dari negeri lain. Seperti waktu masih kecil aku selalu membayangkannya. Diantara deret kursi di beranda. Atau di bawah kasur.

Sepintas lalu aku tertegun. Kemudian timbul uraian makna yang yang menjadi sebuah pertanyaan. Dimana diri dan mau kemana ini?

Di sepertiga malam, seperti ini. Tangis menjadi doa saat kening menyatu dengan tanah. Ribuan kata meresap menjadi sebuah pengharapan. Cahaya terang menemukannku dalam sujudku. Membimbingku, kemudian mendorongku jatuh dalam buaian taman Firdaus.

Tubuhku tergerak penat yang terdalam. Kudengar angin menderu dan melantunkan teriakan kegelisahan, seperti ada pertempuran sengit diluar sana. Di luar gerbang rumah tempat aku berteduh. Daun-daun saling beradu. Tak ada yang mengenal menyerah, semua saling tempur dan sikut. Apakah yang menjadi sebuah keyakinan hati? Sedangkan untuk memaknai arti saja laksana mengeringkan samudra dari airnya.

Hari semakin pagi. Sekarang, rasa sendiri mulai menyelimutiku, ketidakpercayaan, bahkan pada siapapun yang ada di sampingku. Aku lelah. Benar-benar lelah. Harus percaya pada air di daun alas. Atau mungkin aku terlalu tidak mengerti, bahwa semua berjalan atas kepentingan dan keinginannya pribadi? Dengan bingkai kelembutan, senyum tenang, dan janji untuk bersama.

Apa yang menimpaku? Hingga saat ini aku ingin menjatuhkan diri. Karena semua kepalsuan ini. Aku tak mampu menerimanya. Bukan karena aku sederhana. Tapi aku percaya, mungkin aku dulu anggap kau juga. Pada keyakinan ini.

Setiap waktu, rasa itu jadi satu kemunafikan. Merajamku dengan kepolosan dan pengkhianatan. Siapa yang berarti?? Aku kira kau tidak. Satu coreng warna pekat melukai kepercayaan ini. Bukan aku menuntut. Tapi itu ada dengan sendirinya.

Aku rasa inilah perenunganku. Dimana aku, dan siapa? Aku jujur pada kesepian. Diapun akan selalu menerimaku dengan kejujurannya, bahwa kesepian itu duka. Tapi aku menerimanya dengan ketulusan. Dia tidak akan menjadi kepalsuan. Sepertimu. Karena sampai sekarang aku masih merasa sendiri.

Aryo aswati; 24 Oktober 2008

Rumah; Metafora untuk Sebuah Kerinduan

Jika aku pulang nanti
Aku ingin canda tawa dalam rumah
Agar selalu ramai hati yang masih sepi


Rumah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, mempunyai arti (1) Bangunan untuk tempat tinggal; (2) Bangunan pada umumnya (seperti gedung). Pada kenyataannya, seperti itulah yang selama ini kita pahami dan rasakan. Rumah, bagi sebagian orang adalah tempat kembali setelah pulang dari dunia luar.

Seperti sepenggal luapan kata diatas. Bagi saya, rumah menjelma metafora sebuah tempat yang menjadi buah kerinduan sang pengembara. Sampai kapanpun, sampai manapun, atau sampai berapa lamapun, pasti seorang pengembara akan pulang. Dan rumah adalah tempat awal dan akhir perjalanan itu. Sayalah seorang pengembara itu. Sampai kapanpun saya akan tetap merindukan keberadaan rumah.

Seperti sebuah doa. Rumah diharapkan menjadi tempat melepas penat. Bahkan dapat merubah keadaan yang sebelumnya segala energi negatif terkumpul. Dengan itu rumah menjadi satu-satunya tempat yang diharapkan membawa bahagia. Tak ada yang lebih menyenangkan ketika kita, jika dalam perantauan panjang hendak kembali ke kampung halaman. Menuju rumah. Kerinduan yang sangat besar menyelimuti hingga mungkin ketika kita dalam perjalanan pulang, kita tersenyum-senyum sendiri. Bahkan untuk orang yang sehari-hari dapat pulang sekalipun. Rumah adalah tempat yang paling nyaman untuk melapas penat dan tempat paling sepi untuk ”lari” dari rutinitas.

Seorang teman saya, Haris Firdaus, suatu kali mengungkapkan ingin melepaskan diri dari perihal memikirkan rumah, tetapi tetap tidak bisa, karena suatu waktu muncul dalam pikirannya keadaan rumah yang kemudian terjadilah perenungan kepada rumah itu. Maka dia dapat meresapkan renungannya menjadi sebuah puisi yang dalam, bukankah itu salah satu wujud bahwa bagaimanapun rumah adalah sesuatu yang selalu kita rindukan.

Mungkin bagi Haris, ”rumah” adalah tempat menerima pengalaman yang membuatnya merasakan keharuan yang dalam, hingga akhirnya ”rumah” adalah sesuatu yang memang tidak mesti nyata. ”Rumah” bisa digantikan menjadi wujud yang lain yang dapat mewakili sebuah persinggahan tentang pengalaman. Bisa jadi yang dirasakan Haris adalah keharuan yang dalam. Akan tetapi bisa jadi berbeda pada orang yang lain.

Berbeda dengan Haris. Saya tak hendak lari dari segala pengalaman yang terjadi di dalam rumah. Meskipun rumah bagi saya adalah rumah wujud dan tak wujud. Semua adalah sama. Tetapi memang rumah yang tak wujudlah yang lebih mendominasi tentang segala pengalaman yang pasti telah dan akan terjadi.

Keberadaan rumah yang selama ini membuat saya merindukannya terlebih bukan pada sebuah bangunan yang membuat saya kagum. Tetapi lebih dari itu, rumah adalah sebuah metafora kerinduan saya pada sebuah sebab. Pengalaman dan orang-orang yang ada di dalamnya. Hingga sampai saat ini, saya masih akan merindukan rumah yang selama ini menjadi tempat persinggahan saya. Dan dapat saya kira, kelak saya akan menemukan sebuah rumah baru. Persinggahan baru, juga sebuah alasan baru untuk sebuah kerinduan terhadapnya.

Tiga baris kata yang saya tulis diatas merupakan sebuah cerminan bahwa saya sedang melakukan percarian kepada rumah yang sejati. Sebuah rumah yang wujud dan tak wujud, yang akan menjadi tempat persinggahan, bahkan mungkin sampai hayat. Tempat saya mencurahkan segala kegelisahan yang setiap hari saya alami, kepenatan yang saya rasakan, juga tempat saya berbagi. Itulah rumah yang merupakan resapan dari semua kerinduan saya.

Saya tak akan menghalangi apa yang dapat saya ridukan dari rumah itu. Entah itu keharuan atau canda tawa. Bagi saya asal saya dapat mencurahkan kerinduan saya ketika senja datang, itu sudah membuat rumah menjadi tempat yang benar-benar saya rindukan. Sekali lagi, saya tidak merujuk pada rumah yang wujud. Saya lebih menekankan rumah sebagai sebuah metafora kerinduan pada sesuatu. Kerinduan tentang sesuatu, juga kerinduan pada siapa.

Memang rumah adalah metafora yang bagi saya mewakili kerinduan itu. Dan harapannya, ketika saya menemukan rumah itu, saya dapat mencurahkan segala kerinduan itu kepadanya. Agar hati yang masih sepi ini menjadi ramai dengan tawa bahagia.


Solo, Oktober 2008
Aryo Aswati

Senin, 20 Oktober 2008

Kaderisasi?

Seringkali kita mendengar kata kata ‘kaderisasi’, terlebih bagi orang yang memang sangat suka bergelut dengan sebuah organisasi. Sebuah anggapan untuk sebuah arti ‘mencetak kader-kader baru melalui proses transfer visi’. Menurut Lie Charlie, “pembentukan kata kaderisasi adalah liar dan tidak berdalil. Karena tidak ada pola pengimbuhan pasti yang dapat dirumuskan.” Memang, kalau kita membuka kamus bahasa Inggris, kita tidak akan dapat menemukan kata Caderization, yang kita sangka sebagai asal kata tersebut.
Akan tetapi, tinggalkan sejenak pembahasan tentang bahasa kaderisasi. Yang ingin saya ungkapkan lebih dahulu adalah makna dibalik kata kaderisasi yang sering terdengar ketika sudah berada dalam lingkup sebuah lembaga, organisasi, maupun gerakan. Apa sih kaderisasi itu? Mungkin, setahu saya, seperti yang saya ungkapkan di atas. Bahwa kaderisasi adalah upaya mencetak penerus yanmg mempunyai visis yang sama dengan kita. Siapa yang bakal menjadi penerus sebuah estafet “perjuangan”.
Entah, barangkali kita sering mendengar tentang iron stock, dan siapa yang dengan bangga akan mengaku sebagai bagian dari iron stock itu. Ya, sekumpulan anak muda yang secara heroik bercita-cita merubah keadaan –sebagian menyebut dengan kemapanan-- yang dianggap kurang baik. Sebagian mahasiswa yang mengaku aktivis. Asumsinya, ketika sebuah kemapanan terbentuk, maka keadaan akan sulit untuk berkembang lagi. Karena orang-orang yang ada di dalam merasa sudah “keenakan”.
Dalam keadaan seperti itu, sistem pengkaderan akan sedikit lebih sulit, untuk mencetak calon penerus yang minimal sama dengan penerus sebelumnya. Proses transfer visi (wah..berat nih!) yang akan dilakukan hanyalah sebuah formalitas meneruskan tradisi. Bahkan sangat mungkin sekali kalau yang terjadi malah penurunan standar kualitas kadernya. Yah, tapi tetap harapannya adalah melebihi dari generasi sebelumnya.
Ibarat sejarah yang pasti akan selalu berulang, maka keadaan sekarang inipun juga pasti pernah dialamai oleh masa-masa dulu –bukan kualitas kadernya. Ketika sebuah gerakan dan juga organisasi yang tidak lepas dari entitas social, bahwa banyak masalah secara sosial pasti akan dihadapi. Tidak heran ketika ketegangan-ketegangan terjadi dalam sebuah pergerakan, baik antara perbedaan visi antar organisasi, dan bahkan tak jarang “ketegangan yang bersandiwara” di dalam satu organisasi itu sendiri.
Aneh memang. Ketika dalam sebuah organisasi idealnya hanya memiliki satu visi, tetapi terjadi ketegangan yang membuat panggung saandiwara yang luar biasa canggih. Atau dalam pikiran saya, memang satu visi. Akan tetapi dengan jalan yang berbeda-beda? Bener atau tidak ya? Ketika itu memang benar, timbul pertanyaan lagi. Bagaimana konsensus yang terjadi dalam organisasi itu? Apakah memang tidak ada consensus yang mengikat? Kalau itu tidak ada, berarti memang organisasinya bermasalah. Namun bila ada, maka mengapa “ketegangan yang bersandiwara” itu dapat terjadi? Bukankah aneh? Sepemahanan saya, itu adalah masalah. Atau saya yang memang tidak memahami apa itu organisasi ya?
Kita kembali ke permasalahan kaderisasi—pengkaderan. Timbul pertanyaan dalam pikiran saya, ketika dalam sebuah gerakan atau organisasi, terdapat “ketegangan yang bersandiwara”, maka bagaimana prosesi pengkaderan terjadi? Bingung? Saya pikir tidak perlu. Ketika kita masih sebagai orang yang melakukan gerakan atau yang ada dalam organisasi itu, maka jelas konsensuslah yang akan dipakai. Entah bagaimana bentuk konsensus itu. Akan tetapi ketika kita bukan termasuk orang yang bertanggung jawab atas prosesi pengkaderan, maka tidak perlu repot-repot memikirkannya.
Yang ingin saya tekankan disini adalah, bagaimana jika memang kenyataannya “ketegangan yang bersandiwara” itu benar-benar membuat panggungnya dalam sebuah organisasi?
Sungguh sangat disayangkan. Ketika panggung itu benar-benar digelar. Bagaimana dengan bakal calon penerusnya? Apalagi itu terkait dengan sebuah visi yang selama ini dijunjung tinggi. Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab atas semua itu? Saya kira, kedua actor dalam “ketegangan yang berandiwara“ merasa mempunyai tanggung jawab itu.
Aneh memang jika sampai saya menyebut kondisi itu sebagai “ketegangan yang bersandiwara”. Mungkin karena orang-orang yang merasa bertanggung jawab ingin sama-sama menyelamatkan generasi penerusnya. Namun, ketegangan tidak dapat dielakkan. Disamping itu juga, kondisi dibuat seolah-olah seperti biasa. (Hahaha…selamat! Kamu masuk nominasi peraih piala Oscar!)
Lalu, apa yang menjadi hasil dari prosesi pengkaderan itu, jika ada aktor-aktor yang sama merasa bertanggung jawab atasnya? Ada beberapa kemungkinan. Yang pertama, adanya kebingungan bakal calon. Itu terjadi ketika memang mereka melihat ada perbedaan dari orang-orang “atas’. Siapa yang bakal jadi panutan? Mungkin inilah yang ada dalam pikirannya. Jika memang itu terjadi, maka siapa yang dekat dengan bakal calonlah yang akan menjadi panutan (entah yang di atas atau di bawah tanah).
Kebingungan ini juga dapat timbul karena ‘tarik menarik’ calon oleh orang-orang atas. Tapi untuk yang satu ini, saya pikir tidak akan signifikan memberi pengaruh.
Yang kedua adalah sikap apatis dari bakal calon. Apalagi ketika mengetahui ada panggung yang digelar dalam organisasinya. Inipun juga tergantung sisi kecerdasan dan kemauan dari bakal calon. Bukan yang cerdas yang dapat menentukan, tapi dia yang mau ambil bagianlah yang mempunyai hak menentukan.
Lalu bagaimana hasil dari proses pengkaderan itu? Kalau di dalam sebuah organisasi terdapat “ketegangan yang bersandiwara”—apalagi terkait pemikiran—maka saya melihatnya ada pihak yang merasa mengkhianati dan dikhianati (aduh..apalagi ini?). Iya, seperti yang diatas, pasti ada consensus yang tidak disepakati atau lebih buiruknya dilanggar. Iya apa iya??
Nah, ketika bakal calon dididik oleh orang yang bisa dikatakan melanggar, aduh…takutnya nanti sifat-sifat dari pelanggar akan turun. Lalu apa yang akan terjadi ketika semua punya sifat seperti itu? Kalau menurut saya sekalian saja dibubarkan. Mau dicetak seperti apa mereka. Anarkis? Atau lebih parahnya, karena diajarkan untuk loyal pada pikiran dan egoisme pribadi, sewaktu-waktu dapat melanggar konsensus. (Wah…bahaya tuh!)
Sebenarnya semua punya niat baik (kecuali yang tidak) untuk prosesi pengkaderan itu. Tapi mungkin perbedaan persepsi yang tidak disampaikan, atau memang tidak diterima konsensus, membuat gerakan bawah tanah itu muncul. Wah…, yang lebih gawat lagi kalau itu adalah sebuah kekecewaan yang tidak tersampaikan. Gerakan itu akan berusaha menjalar kesana kemari. (wuiiihh…serem…)
Jadi, setidaknya senior harus berani ikhlas. Entah itu berbagi ilmu dengan berpikir jauh kedepan. Jangan berpikir sempit dan pendek bahwa semua kader harus sama seperti saya. Juga transfer yang proporsional terkait tugas dan pekerjaan untuk bekal kedepan. Ok, meskipun hanya sedikit dan dangkal semoga bermanfaat. Dan pesan untuk orang-orang yang kekecewaannya terlalu memuncak--terus menghasilkan gerakan bawah tanah. Mengutip ucapan Pramoedya Ananta Toer,"jangan kau kira bisa membela sesuatu, apalagi keadilan, kalau tajk acuh terhadap azas, bniar sekecil-kecilnyapun....".

aryo aswati
Solo, 2008

Rabu, 08 Oktober 2008

hari ini hari hujan

Hari ini hari hujan.
masih saja kau memeluk angin
walaupun juga yang tersentuh adalah dingin
dan tak pernah dapat kau genggam dengan erat

Hari ini hari hujan,
sedih yang terasa jadi semakin pilu
airmata tak lagi terasa
karena gerimis meniadakan
air yang menetes di pipimu

mungkin kau kira kita tak pernah dapat jawaban,
mengapa hari ini hari hujan

aku selalu memperingatkan,
jangan kau sesali kesedihanmu
aku tahu hari ini akan terjadi
ketika koyak merangkai tangis
pendar nyala mata-mata penuh pasrah
yang berdiri disamping
sebuah nisan dari pejuang yang mati

aku tahu hari ini hari hujan
ketika kesedihan terkumpul,
dan mengalir air dari rahasia langit


Solo, 22 Juli 2008
Aryo Aswati