Minggu, 23 November 2008

Cinta; “Kepada Seorang,”

Sebuah luapan bahagia mungkin dapat kita artikan itu cinta. Segenggam kerinduanpun kita katakan bahwa kita sedang jatuh cinta. Atau bahkan duka yang dalam yang kita rasakan juga kita namakan cinta. Lalu, apa sebenarnya cinta itu? Apakah sesuatu yang mandiri, berdiri sendiri. Seperti yang ditulis Kahlil Gibran: cinta tidak memberi apa-apa kecuali dirinya dan tidak membawa apa-apa kecuali dari dirinya/ Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki/ karena cinta sudah cukup bagi cinta//
Sebanyak apapun perbendaharaan kata yang kita miliki, sepertinya tidak akan pernah cukup untuk melukiskan atau mengungkapkan apa yang kita rasakan sebagai sebuah wujud dari cinta. Karena siapa tahu yang namanya cinta itu? Apakah kita akan berusaha menafsirkan dengan bahasa kita sendiri, lalu mencoba meresapinya. Mungkin makna yang akan dirasakan masing-masing orang akan berbeda. Atau kita perlu bertanya pada orang yang sedang merasakan itu?
Putu Wijaya, “sang teroris mental” mengartikan bahwa cinta adalah memberi dan menerima. Baginya, cinta adalah sebuah kombinasi yang tidak bisa diceraikan antara keinginan untuk memberi dan menerima. Tidak bisa dipisahkan. Karena kalau dipisahkan akan mempunyai arti yang lain. Apakah itu sudah cukup bagi seseorang yang sedang jatuh cinta untuk mendefinisikan cinta? Atau apakah bagi kita cinta selayaknya sebuah ketulusan seperti yang ditunjukkan Joko Pinurbo (Jokpin) dalam sajak “kepada puisi”nya: Kau adalah mata, aku air matamu? Meskipun ketulusan itu bukan ditujukan pada seseorang, melainkan pada puisi.
Lalu bagaimana orang yang berada dalam situasi dan kondisi berbeda dalam mengartikan cinta? Bahkan mungkin dengan berbagai ungkapan yang berbeda pula. Layaknya keinginan kesederhadaan Sapardi Djoko Damono dalam “Aku Ingin” : Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;/ dengan kata yang tak sempat diucapkan/ kayu kepada api yang menjadikannya abu// Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/ awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sampai sejauh ini, tema-tema cinta telah beranak-pinak menjelma menjadi karya-karya yang mengagung-agungkannya. Entah itu cinta yang telah diwujudkan dalam sebuah lirik lagu yang dibumbui dengan irama melodi yang menyentuh kedalaman hati. Atau banyak puisi yang dengan berbagai kelincahannya mencoba memaknainya. Cinta itu universal. Luas dan mungkin tak akan ada batasnya.
Tak seorangpun akan mampu untuk menolak kehadirannya, atau mungkin ingin menghadirkannya—dengan ketulusan yang nyata. Bahkan mungkin saya sendiri, sebagai manusia biasa yang mempunyai hati. Saya tak sanggup ketika harus menolak rasa yang semakin dalam menyergap dalam dada saya.
Pernah saya mencoba untuk mengabaikan kehadirannya. Mencari sesuatu yang membuat saya memikirkan seseorang yang telah membuat saya “duka”. Tetapi, yang terjadi adalah sebuah kegelisahan yang teramat sangat. Semakin saya mencoba untuk menyingkirkannya, semakin kuat resapannya merasuk ke jantung hati saya.
Bagi saya, rasa itu sungguh sangat menyakitkan. Sebuah duka. Bagaimana tidak? Saya berada pada posisi yang membingungkan. Saya tidak sanggup untuk membagi rasa itu kepada orang yang membuat saya “duka”. Bukan karena tidak berani, tapi pada kenyataannya bahwa rasa itu belum waktunya untuk dibagi. Sedangkan ketika saya hanya menyimpannya, maka yang tersiksa adalah saya. Saya hanya berharap, ketika memang rasa itu terlampau tajam merobek hati saya—semakin lama memang terasa—ada seseorang yang dapat menenangkannya. Dan dia yang “pantas” untuk tempat membagi itu. Lagi-lagi, semoga dia yang telah membuat saya “duka”.
Saya bukan seorang penyair yang dapat merangkai kata untuk mewakili sebuah arti cinta, juga bukan musisi yang dapat mengalirkan nada dalam penjelmaan terhadap cinta. Sulit memang, tapi itulah sebuah ambiguitas arti dari cinta. Tak ada yang dapat mematenkan apakah artinya. Kalaupun ada, pastilah banyak orang yang akan “membantah” arti yang dipunyai.
Meskipun demikian apa yang telah menjadi arti baku dari cinta itu, tak ada yang akan mengusik menurut masing-masing individu. Bagi saya sangat naïf ketika memaksakan orang lain untuk sama berpikiran seperti kita. Karena saya yakin latar belakang yang mewakili dari arti itu sangatlah beragam.
Saya sampai pada kesimpulan, saya tidak akan mencoba melawan kehadirannya, hanya memang saya perlu berpikir berkali-kali untuk dapat membagi cinta itu kepada yang membuat “duka”. Bukan tanpa alasan, hanya saya terlalu takut ketika cinta yang saya bagi tidak pernah membuatnya tersenyum. Lalu entah mengapa deretan kata-kata tiba-tiba muncul dari kedalaman hati. Mungkin salah satu cara mengalihkan rasa itu adalah saya harus menulisnya. Kata-kata ini adalah untuk seseorang yang membuat saya “duka”. “Kepada Seorang,”

Aku tidak ingin terpaksa tidak mencintaimu
Ketika mendengar lagu itu mengalun
Lirih di dalam hatiku
Kubiarkan saja rasa ini terus menusukku

Aku juga tidak ingin hanyut dalam mencintaimu
Yang membuatku memikirkanmu
Setiap saat dalam waktuku
Karena aku takut

Solo, 15 Oktober 2008
Akhirnya, itulah yang dapat saya resapi tentang apa itu sebuah cinta dengan latar belakang hidup saya. Saya yakin apa yang saya tulis belum sepenuhnya dapat mewakili arti kata-kata itu. Dan lebih bijaknya adalah saya serahkan kepada semua orang untuk mengartikan cintanya menurut apa yang menjadi kedalaman batinnya. Meskipun tema cinta adalah tema “usang” tetapi akan terus menjadi tema yang universal dan bagi orang yang merasakannya akan tetap menjadi yang mewakili hati.

Klaten, 22 Nopember 2008
Agus Raharjo