Sabtu, 31 Januari 2009

Misalkan Bukan hanya "Hujan Bulan Juni"

Hari-hari kemarin, dan sampai hari inipun, langit masih membelai mesra pada awan. Alhasil, awan tak henti-hentinya menitikkah hujan, yang bagiku sungguh indah. Seolah, hujan tidak ingin berbagi senja dengan kita. Senja yang jingga selalu dia sembunyikan dalam warna kelabu mendung.

Ketika hari-hari selalu saja hujan seperti itu. Saya teringat mengapa saya selalu suka hujan. Alasan yang membuat saya justru merasa senang ketika rintik-rintik air meluncur dari mendung yang seakan murung. Dan semua alasan itu tak pernah lepas dari kehidupan saya. sejak dahulu, ketika saya masih melihat dunia yang sempit. Saya tersadar, hujan dapat menemai saya dalam meresapi hidup.

Ketika hujan turun, dahulu, saya selalu dibuat tertawa senang karenanya. Betapa tidak? Saya yang masih kecil merasa dapat menikmati belaian langit pada kulit saya. Meskipun nantinya saya dapat marah dari ayah. Saya selalu riang menyambut hujan yang mempesona. Merasa selalu ingin berbagi keriangan dengannya. Memang pada akhirnya saya dimarahi habis-habisan oleh Ayah, dan harus mencuci pakaian yang saya kenakan untuk menjemput hujan.

Namun, seiring usia yang selalu bertambah, saya merasa hujanh menemani dalam hal yang berbeda. Saya ingat, ketika masa-masa saya mengalami goncangan, entah mengapa—mungkin suatu kebetulan—hujan maupun mendungnya selalu dekat dengan saya. saat itu saya merasa yang dapat merasakan kesedihan yang saya alami hanyalah hujan. Saya ingat terus, dan bahkan pernah menjadi pertanda, bahwa setiap saya sedih atau sebaliknya, setiap hujan akan membelai mesra, keadaan saya tergoncang. Yang ada adalah murung. Saya seolah dapat berbicara dengan hujan, dengan kesedihan. Diapun menyambut dengan belaiannya.

Pengalaman hujan yang menjadi sebuah alasan, mengapa sampai sekarang saya ingin bersentuhan dengan hujan, hingga sekarang masih menggelayuti dalam diri saya. Namun, tidak semesra dahulu, saya terlalu malu untuk mengakui bahwa saya sungguh sangat suka hujan.

Dan sekarang, ketika pengalaman tentang hujan membuat saya merasa miris—kesenangan saya, menjadi kesedihan orang lain—saya tak dapat lagi merasai pengalaman batin itu. Saya terlalu naïf untuk mengakui bahwa hujan selalu memberi sebuah perenungan. Oleh sebab bahwa hujan menimbulkan tangis bagi orang lain. Seperti sebuah tempat yang sakarang saya singgahi, Solo. Hujan telah meluluhlantakan kepasrahan hingga berserakan dibalai pengungsian.Seperti setahun lalu, saya ikut dalam sebuah aksi relawan untuk korban banjir, di Kampung Sewu.

Ketika hujan belakangan ini kembali tidak mau berbagi senja dengan kita, saya merasa hujan telah membuat saya takut. Terlintas sebuah pertanyaan pada diri saya, apakah yang membuat hujan menjadi begitu sedih hingga terlampau ingin mencari tempat berbagi kesdihan itu? Apakah kita talah membuat kesalahan yang tidak termaafkan hingga hujan juga ingin menunjukkan bahwa dia juga dapat bersikap egois. Saya merasa malu sebagai manusia jika memang telah membuat hujan menjadi sedih. Mungkin memang kita telah berbuat banyak salah hingga menyakiti kekasih hujan, bumi.

Meresapi hujan, ada harapan agar hujan kembali seperti dahulu. Ketika saya merasa bahwa dialah teman yang selalu ada bersama saya menikmati sebuah pengalaman. Dan, hujan menjadi lebih menentramkan. Andai Sapardi Djoko Damono menulis hujan bukan hanya Hujan Bulan Juni. Ingin rasanya saya merayu hujan dengan puisinya. Akan kulantunkan kata-kata itu hingga dia kembali dapat menemani saya menikmati laku hidup di dunia. Akan kubisikkan padanya:

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

(Sapardi Djoko Damono, 1989)


Mungkin dengan begitu hujan akan kembali berbagi senja dengan kita. Hingga tak ada lagi kesedihan, juga penyesalan atas apa yang telah kita perbuat padanya. Misalkan bukan hanya Hujan Bulan Juni. Saya masih akan merasakan pengalaman bersama-sama hujan yang telah membuat saya bagaiaman belajar melalui sebuah perenungan.

Solo, 31 januari 2009
Agus Raharjo

Rabu, 28 Januari 2009

Hakekatnya Adalah Menjaga

Pernah suatu sore, ketika langit masih murung dengan mentari, di suatu tempat terjadi obrolan oleh dua orang muda. Obrolan yang tidak jauh mengenai dunia seusianya. Kira-kira begini:

Si A: “Kok tidak lagi kesana?”
Si B: “Lha emang kenapa?”
Si A: “Ya ga biasanya aja.”
Seraya tersenyum Si B menjawab: “Untuk menjaga.”
Si A: “Menjaga siapa? Kamu?”
Si B hanya tersenyum lagi:”Hmmm…”


Obrolan itu tidak hilang bahkan sampai si B telah kembali pada aktifitasnya. Mungkin dalam hati dia malah tersentak. Apa yang telah dia jawab untuk sebuah pertanyaan yang mungkin tidak bisa ditangkap oleh orang lain kecuali keduanya. Tanpa tanda apapun, mungkin kita akan dibuat bertanya, apa yang mereka berdua obrolkan. Ah, biar saja itu menjadi rahasia mereka berdua.

Dalam kegamangannya atas pertanyaan, kita tidak tahu bahwa sebenarnya pertanyaan itu telah diprediksi oleh si B ketika nanti bertemu si A. Namun, dalam kisah selanjutnya, jawaban yang dia berikan dengan memberi sebuah senyuman atas pertanyaan itu membuatnya berpikir. Atau lebih tepatnya, dia juga bertanya selama ini “siapa yang dia jaga”? Atau “mengapa menjaga”?

Layaknya sebuah drama, dalam hatinya terdengar gemuruh yang menderu, berteriak, dan membuat ketenangan lenyap. Pertanyaan dan jawaban dari obrolan yang dapat dia perkitakan tadi serasa melayang-layang di atas kepalanya, berputar-putar, dan sesekali keluar masuk kedalam otaknya. Alhasil, obrolan dan pertanyaan tersebut tidak mungkin tidak dia pikrkan.

Dan inilah hasil perenungan yang sebenarnya telah ada jauh di dalam dirinya. Akan tetapi alangkah membingungkannya ketika perenungan itu tidak didasari kejelasan permasalahan yang dialami si B atas obrolan yang terjadi. Dan inilah singkatnya: entah mengapa si B, adalah juga manusia biasa. Tentang apa yang menjadi bahan obrolan itu, adalah tentang sebuah ‘kejadian’ yang juga dialami oleh sebagian besar makhluk yang bernyawa. Silakan menebak apa itu.

Sekarang kita kaitkan dengan pertanyaan dengan kejadian yang dialami si B maupun manusia pada umumnya.. Mungkin saja si B salah arti tentang sebuah sebab yang dirasakannya, tentang siapa. Tapi ini terlepas dari siapa yang dimaksud. Yang ada dalam perenungan si B, tokoh misterius ini, dia merasa berbeda dengan orang kebanyakan mengenai ‘kejadian’.

Yang dia rasakan, ketika ‘kejadia’ telah menimpanya, maka yang ada dalam pikirannya adalah menjaga. Dan dari obrolan singkat itu, dia kembali disadarkan makna menjaga itu. ‘Kejadian’ yang oleh orang kebanyakan dapat dijadikan senjata ampuh memperdayai orang lain, bahkan tak segan-segan merusaknya, oleh si tokoh ditangkap secara berbeda.

Baginya, ketika seseorang telah mengalami ‘kejadian’, maka jadi sebuah kewajibannyalah dia menjaga. Bukan menyakiti, bahkan digunakan sebagai dalih untuk memperoleh sesuatu. Yang seperti itu dapat dianggapnya tidak memahami. Baginya, apa yang disebabkan oleh ‘kejadian’ hakekatnya adalah menjaga. Bukan merusak.

Dapat diibaratkan seperti ini. Ketika kita masih kecil, dan ayah kita memberikan sebuah mainan yang sangat kita sayangi. Apa yang akan kita lakukan pada mainan itu? Hanya orang yang tidak menyayangilah yang akan sembarangan mempermainkannya. Dia tidak akan merasa sedih ketika mainan itu rusak. Dia juga tidak akan merasa kehilangan ketika mainan itu hilang. Itulah yang tidak memahami hakekat ‘kejadian’.

Berbeda ketika dia sangat menyayangi mainan itu, entah karena pemberian ayah atau memang dia suka mainan jenis itu, yang dilakukan salah sayang. Kalau dalam bahasa Jawanya eman. Eman dari kerusakan jenis apapun. Itulah hakekat menjaga.

Ketika kisah itu saya dengar, saya jadi ingin sekali meresapi penggalan kata-katanya Albert Camus. Kira-kira begini: Hasrat memiliki tidaklah tertahankan/sampai pada titik ia mampu bertahan bahkan dengan mencintai dirinya sendiri// Oleh karena itu/mencintai adalah menetralkan orang yang kita cintai//

Jadi, hakekatnya adalah menjaga. Meskipun kehilangan tidak dapat dipungkiri sebuah luka yang akan mengoyak. Hingga perih mengalir bersama dengan air laut yang begitu terasa mengharu. Akan tetapi, dari kisah obrolan tersebut saya jadi mengerti sebuah makna. Seolah John Dreyden berkata pada saya: “Pada masa-masa keshalehan/ luka akibat cinta jauh lebih manis ketimbang kesenangan apapun lainnya”//

Dan itulah jawaban yang oleh si tokoh dapat digali dari dasar dirinya sendiri. Jawaban atas perenungan pertanyaan yang seringkali muncul dan berputar-putar diatas kepala, kemudian menyusup masuk dalam otak. Hakekatnya adalah menjaga.



Solo, 26 Januari 2009
Agus Raharjo

Kehilangan

Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya…


Sebuah lirik lagu yang begitu dalam. Tentang sebuah rasa yang ada jika yang lain juga ada. Tentang sebuah kehilangan, juga tentang rasa memiliki. Dan kalau kita merenungkan lagi apa arti sebuah kehilangan, kita tak dapat lepas dari perasaan memiliki.

Tanggal 19 Januari 2009. Hari senin yang begitu murung. Mendung mencoba bersikap romantis dengan mengantarkan butiran-butiran hujan pada senjaku. Hari ini, sebuah prosesi perpisahan akan digelar. Dan puncaknya adalah rasa kehilangan. Karena rasa memiliki telah jauh mendekam dalam lubuk hati paling dasar. Kepada seorang wanita. Dia sahabat, kakak, adik, panutan, dia Ibu.

Begitulah. Selalu saja kehilangan itu mengundang kesedihan. Tentang rasa memiliki. Hari senin itu saya dapat merasakan senja saat itu berubah begitu mesra. Didapatinya seseorang akan merasakan perihnya kehilangan. Hingga tak pelak langit mengirimkan kado kecil tentang kesedihan yang juga dirasakannya. Hujan

Waktu berjalan melambat. Seakan menambah drama perpisahan menjadi semakin hidup. Karena hari itu, bukan perpisahan yang biasanya. Hari itu adalah sebuah perpisahan untuk selamanya. Tak akan ada lagi canda diantara kita. Tak ada lagi kemesraan. Bukankah begitu? Ibu?

Tapi, hanya sebentar saja rasa kehilangan membelai. Selebihnya, rasa memiliki. Bahwa aku pernah merasakannya, bahkan untuk sampai hari depan nanti.

***

Itulah yang dapat saya terjemahkan dari kesedihan oleh rasa kehilangan. Meskipun bukan secara langsung, tapi saya mencoba menterjemahkan suasana yang memuram duka atas rasa kehilangan. Kepada seseorang yang bukan saja dekat, tapi sudah ada jauh mengendap di dasar hati.

Meskipun bukan saya yang secara langsung merasakan kemesraan perpisahan itu, namun perpisahan itu membuat kesedihan yang begitu erat dengan saya. Pengalaman itu seperti tak asing bagi saya. sebuah kesedihan karena telah merasa memiliki. Itulah kehilangan.

Tak ayal, ketika rasa kehilangan menyergap pada saat itu—hujan membuatnya semakin lengkap—saya teringat sebuah lagu. Lagu yang bagi saya mewakili sebuah kepasrahan. Tentang kehilangan, dari rasa memiliki.

Dan bagi saya rasa kehilangan memang hanya dapat menyapa, ketika kita sungguh pernah merasa memiliki. Tanpa hal itu, kehilangan hanya menjadi sebuah kesedihan yang tak melankoli. Begitu hambar, tanpa suasana romantis yang tersusun dalam bingkai airmata.

Senja itu saya larut. Pada airmata dari seorang yang ditinggalkan. Dari sebuah prosesi perpisahan agung. Pada sebuah perpisahan untuk selamanya. Wajah riang lucu yang kekanak-kanakan itu. Menjelma menjadi sebuah potret yang tak mampu memendam kepedihan. Meskipun tawa, canda, dan ketegaran, di usap pada sisi raut paling luar.

Tapi saya tahu. Tentang rasa kehilangan. Tentang bagaimana ‘menikmati’ perpisahan itu. Karena aku juga tahu—seperti Letto—tentang rasa memiliki sebelum kehilangan. Bahkan ketika rasa memiliki itu hanya dirasakan, tanpa benar-benar memiliki.

Seperti sebuah film yang saya nikmati beberapa waktu yang lalu. Film dengan judul August Rush. Menceritakan tentang seorang anak yang mencari kedua orang tuanya melalui musik. Karena kedua orang tuanya musisi, maka sangat anak punya bakat luar biasa dalam bidang musik. Dengan mendengar musik itulah dia keluar dari panti asuhan dan mencari keberdaan kedua orang tuanya.

Sang anak—August Rush—didorong rasa memiliki kedua orang tua, punya tekad menemukan Ayah-Ibu melalui getaran-getaran musik yang dia dengar melebihi orang lain. Karena mempunyai rasa memiliki—bahkan belum pernah melihat—orang tua ituilah sampai akhirnya diketahui dia seorang yang jenius dalam musik. Dan dapat ditebak, ending dari film tersebut berakhir bahagia dengan pertemuan sebuah keluarga pada sebuah konser musik.

Kau tahu? Seperti itulah rasa memiliki. Bahkan ketika belum pernah bertemu sekalipun. Dan, kehilangan adalah bagian lain dari rasa memiliki. Memang bertolak belakang. Tapi, ketika kita tidak pernah merasa memiliki sesuatu, apakah kita pernah merasa kehilangan?

Sungguh, dua rasa yang saling melengkapi. Tapi, ketika melihatmu pada hari senin itu. Dengan sama sekali tidak ingin mengusir rasa memiliki itu. Saya berharap, rasa kehilangan akan segera menjauh darimu. Agar keceriaan polos di wajahmu selalu terlihat. Seperti waktu-waktu saya melihatmu. Dan saya yakin tawa itu masih ingin dimiliki orang lain. Akhirnya, saya ingin mengucapkan,”Meskipun kami tidak dapat menggantikan yang telah pergi, tapi kau masih memiliki kami,”

:Charla dan Siti (Kalian adalah harapan bagi sebuah keluarga)


Solo, 21 Januari 2009
Agus Raharjo

Minggu, 18 Januari 2009

Kematian: Gambaran Sebuah Keniscayaan

Pada detik-detik yang terus berjalan, kematian terus saja mengintai. Seperti yang saya saksikan setiap hari. Bahkan mungkin orang lain di seluruh dunia juga tahu, karena kematian menjadi sebuah ruang kelam yang menarik untuk disaksikan. Ya, melalui sebuah kotak kecil elektronik yang bernama televisi. Sebuah kematian menyentuh bagian terdalam manusia, hingga kita dibuat ngeri memikirkannya.

Apa yang terjadi dengan ruang gelap dalam misteri kematian yang selalu terjadi di bumi Palestina sekarang? Tidakkah kematian itu niscaya pasti datang? Mengapa kematian begitu mudahnya menjadi sebuah akibat?

Baru saja saya selesai menonton sebuah film best foreign language film. The Barbarian Invasions, itulah judulnya. Film yang bagi saya menceritakan perihal sebuah kematian, dengan dramatisasi yang dibuat lucu sekaligus mengharukan.

“Aku ingin bersama teman-temanku”

Kalimat itu keluar dari Remy Girard ketika dia tidak mau dipindah ke rumah sakit yang lebih bisa merawatnya. Tapi bukan menolongnya. Karena keadaan sakit yang telah parah dideritanya. Mungkin dia tahu bahwa kematian menjadi sebuah keniscayaan yang akan dialaminya saat itu. Dan harapannya adalah bersama teman-temannyalah dia ingin menghadapi kematian itu.

Mau tak mau, Sebastian, putra Remy ingin mewujudkan keinginan ayahnya untuk menjelang kematian yang niscaya akan datang pada ayahnya. Dengan tidak ada rasa sakit, juga kesepian. Sang ayah dibuat bahagia dengan cara-cara yang mungkin bagi kita sungguh aneh. Bagi Sebastian, dengan bekal uang yang dia miliki—dia tergolong di atas rata-rata dalam materi—dia dengan mudah dapat mewujudkan keinginan ayahnya itu.

Dan langkah pertamanya adalah menghubungi semua teman-teman ayahnya, waktu muda dulu. Alhasil, berkumpullah orang-orang yang sudah tidak muda lagi dengan mengenang masa-masa ‘nakal’ waktu muda dulu.. Mungkin dalam pikiran Sebastian, meskipun sementara, apa yang dia perbuat adalah yang terbaik untuk ayahnya.

Apa yang dilakukan Sebastian sebagai bakti seorang anak ‘mengantar’ ayahnya pada sebuah kematian, adalah usaha yang terbilang ‘sembrono’. Betapa tidak. Dia memenuhi segala apa yang menjadi kesenangan ayahnya. Mulai dari mendesain kamar pasien yang baru, mendatangkan mantan mahasiswanya—meskipun dengan dibayar—, bahkan menyediakan heroin untuk dinikmati. Dan yang terakhir, menghilangkan rasa sakit dalam menjemput kematian dengan menyuntik semacam cairan—entah cairan apa.

***

Kematian, menjadi sebuah fenomena yang tak lepas dari bayang-bayang ruang gelap—kesedihan, haru, ngeri, perpisahan, kesepian, juga kepergian. Terlepas dari itu semua, kematian adalah sebuah keniscayaan yang akan terjadi pada setiap yang hidup. Setelah hidup, kemudian datang kematian. Entah dengan kerelaan ataupun penyesalan, dia menghantui setiap saat dalam waktu kita. Seolah dialah bayang yang dengan setia mengikuti kemana kita berada. Dan nantinya hanya sebuah nisan yang dapat mempercantik tempat kita.

Bagi penyair, kematian menjelma menjadi sebuah nuansa yang agaknya dibaca dengan segala ‘kenakalan’ pribadinya. Entah dalam kata, kalimat, maupun bait, kematian dirasai menjadi jalan bagi terciptanya baris-baris perasaan pengarang.

Lihatlah bait-bait puisi “Nisan” Chairil Anwar: Bukan kematian benar menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertakhta//

Meskipun kematian adalah duka yang dalam, sang penyair menggambarkan sebuah keterterimaan atas resiko kehilangan karenanya. Sebuah rasa rela atau pasrah kehilangan karena kematian. Mungkin itulah yang Chairil gariskan dalam hidupnya ketika kematian yang niscaya telah merenggut nenekandanya. Terlepas bagaimana perasaan Chairil kepada nenekanda dimana puisi itu ditujukan.

Dalam pikiran saya, mungkin puisi itu ditulis Chairil sembari membayangkan sebuah nisan yang tertancap di atas pusara nenekandanya, atau bahkan saat Chairil menatap diam nisan itu. Merenung, dan dan bertanya kemana kematian membawa perpisahan itu datang.

Kematian memang menjadi sesuatu yang pasti. Hanya waktu saja yang membuktikan hal itu terjadi. Pada detik-detik dimana kita tidak bisa bersembunyi dimanapun, juga berlindung pada apapun.

Bagi seorang Kahlil Gibran, kematian tak ubahnya sebuah kepergian biasa. Seperti dalam penggalan kata-katanya “Di Hadapan Kematian”:…Keberangkatanku sekarang ini tidak akan berbeda dari kepergianku besok atau lusa. Karena, hari-hari kita akan musnah seperti dedaunan di waktu musim gugur. Saat kematianku telah begitu dekat,…”

Pada akhirnya, sebuah keniscayaan adalah sebuah kepastian. Tentang kematian dengan segala gambaran yang menyertainya. Hanya yang sungguh rela menyambut datangnyalah yang akan menepiskan kematian keluar dari bayang-bayang ruang gelap disisi manusia. Dan sampailah kita memberi senyum pada kematian itu.


Solo, Januari 2009
Agus Raharjo

Jumat, 16 Januari 2009

Agama: Spiritual Kebenaran

“Hanya kebaikan yang boleh mewujud hari ini. Kebenaran harus kau pikul agar jangan sampai jatuh ke tanah dan menyentuh bumi, menjelma, hari ini. Sebab jika kebenaran menjelma hari ini, ia menjelma kekuasaan”

Kalimat tersebut mengalir dalam “Bilangan Fu”nya Ayu Utami ketika Parang Jati bertemu dengan Yuda sesaat setelah ia mendaftarkan ‘agama’ barunya pada Departemen Kebudayaan. Memang bukan pada Departemen Agama. Dan falsafah yang dianut agama baru itu adalah “laku kritik”.

Bagi Parang Jati, semua agama menawarkan kebenarannya masing-masing. Hingga sikap kritis terhadap kebenaran dalam agama sering dianggap sebagai sikap yang tidak beriman.

Agama, suatu waktu dapat mewujud menjadi sebuah harapan yang melambung tinggi atas sesuatu. Dan, dalam “Bilangan Fu”, Ayu Utami telah menggelitik kita akan eksistensi agama itu sendiri. Tentang sebuah kebenaran yang hanya berhak diketahui nantinya. Karena kebenaran itu misterius.

Agama mungkin telah ada sejak zaman purba, ketika orang-orang purba telah berharap pada sesuatu untuk mencapai atau menginginkan sesuatu. Atau hanya sekadar sebagai bentuk manifestasi dari rasa syukur karena mendapat sesuatu. Sebagai upayanya, sebuah ritual rela dilakukan. Jadi, agama maupun keyakinan tidak bisa lepas dari sebuah harapan. Tentang kebenarannya, kita tunggu saja nanti, mungkin begitu Parang Jati akan berkata.

Mungkin kita masih ingat, dalam sebuah doa, Joko Pinurbo secara terang mengatakan pengharapan manusia akan sesuatu itu dalam “Sehabis Sembahyang”: Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku// Terima kasih atas segala pemberianmu/ mohon lagi kemurahanmu: sekadar mobil baru/ yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya/ agar aku bisa lebih cepat mencapaimu//

Sebuah keyakinan maupun agama tidak akan dapat berdiri tegak jika dilihat dengan kaca mata rasional. Karena pada dasarnya sifat agama maupun keyakinan erat bersentuhan maupun mewujud dalam jiwa spiritual manusia.

“Hanya kebaikan yang boleh mewujud hari ini”. Adalah sebuah penarikan garis batas antara sebuah keyakinan akan kebenaran dengan laku yang diharapkan terjadi di saat ini. Mungkin bagi Parang Jati, agama adalah sebuah bentuk pengabdian akan datangnya kebenaran nantinya. Dan itu sebuah keniscayaan. Namun, “laku kritik” menempatkan posisi manusia dalam bingkai aktivitas untuk hari ini. Saat manusia masih menginjakkan kaki di bumi. Tentang Surga ataupun Neraka, kebenaran itu datangnya nanti. Dan biarlah tetap seperti itu.

Pada hakikatnya, agama merupakan sarana yang dicari manusia agar tercipta ketentraman. Timbul karena kebutuhan spiritual yang tengah keresahan. Dihimpit rasa tertekan maupun kepenatan atas hiruk pikuk kehidupan di dunia. Sebagai sebuah pengharapan. Sekali lagi, agama maupun keyakinan selalu bertujuan untuk mengharapkan sesuatu.

Ketika manusia hidup dalam dunia yang serba menjunjung sikap rasional. Agama dan keyakinan terlihat telah bergeser menjadi sebuah kebutuhan akan pemenuhan spiritual yang berada pada wilayah yang ‘tersudutkan’. Mungkin hanya sesaat bagi kita menengok kehidupan spiritual kita. Hingga agama hanya menjadi pelengkap dalam administrasi Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja.

Lihatlah sekarang, apakah keyakinan ataupun agama memang tempatnya ada diluar garis batas dunia dan akhirat? Itupun kalau memang masih percaya kebenaran akhirat. Tapi sekali lagi, biarlah kebenaran itu datang dengan sendirinya. Kita yang percaya hanya mampu memikulnya. Dalam keyakinan kita, bahwa kebenaran itu sebuah keniscayaan.

Ketika agama menjadi sebuah kebenaran yang hanya mampu diangankan. Dan kebenaran yang datang dari akhirat adalah kebenaran yang datang nantinya. Akankah manusia kehilangan kepercayaan sehingga kebenaran itu menjadi sesuatu yang absurd? Seperti kita tahu, hingga akhirnya Nietzsche menganggap ‘Tuhan telah mati’.

Dan sekarang. Nilai-nilai agama yang agaknya sulit untuk dimanifestasikan dalam keyakinan maupun laku, mulai direpresentasikan dengan nilai-nilai spiritual kekinian. Tanpa menghilangkan dogma-dogma nilai keyakinan, wujud spiritual dibahasakan dengan bahasa-bahasa bumi. Titik tekannya hampir sama dengan “laku kritik”nya Parang Jati. Biarlah kebenaran itu datangnya nanti. Mungkin di akhirat, atau Surga. Yang paling penting adalah kebaikan yang dilakukan hari ini. Yang ditimbulkan dari kesadaran dalam diri.

Kita sering mendengar kata-kata emotional, spiritual dan sebagainya mewujud dalam sebuah pelatihan maupun seminar-seminar. Mungkin, itulah bahasa tentang nilai-nilai spiritual dalam agama yang lebih mudah dipahami oleh manusia sekarang. Bukan dengan keyakinan akan kebenaran yang datangnya kelak di akhirat, melainkan nilai spiritual yang keluar dari dalam diri pribadi masing-masing.

Saya tidak pernah bisa mengerti, betapa mahalnya membangkitkan motivasi dan kesadaran spiritual sekarang. Apakah kita telah jauh terjebak dalam kungkungan dunia yang serba mengedepankan rasio manusia? Padahal, agama dan keyakinan saya rasa tidak dapat ditelan mentah-mentah menggunakan rasio manusia.

Hingga dapat kita lihat, setiap kali seminar maupun pelatihan spiritual, pasti banyak peminatnya. Meskipun harga tiketnya setinggi langit. Mungkin agama bagi manusia sekarang adalah segala hal yang nilai-nilai yang dapat diwujudkan dalam kehidupan sekarang, yang sifatnya universal. Dan “Kebenaran harus kau pikul agar jangan sampai jatuh ke tanah dan menyentuh bumi, menjelma, hari ini. Sebab jika kebenaran menjelma hari ini, ia menjelma kekuasaan.”


Solo, Januari 2008
Agus Raharjo