Kamis, 30 April 2009

Asal Mula Ketakutan

Pernahkah kita merasakan takut akan sesuatu? Entah pada apapun itu. Mengapakah kita bisa merasakan perasaan seperti itu?
Belum selesai saya membaca Maryamah Karpov-nya Andrea Hirata, saya menemukan sebuah simpul penyebab rasa takut itu. Mungkin kita telah mengalaminya sejak awal, tapi mungkin kita tidak menyadarinya. Dan ini erat hubungannya dengan persepsi.
Satu pertanyaan kecil sederhana untuk memulainya. Adakah yang bilang cabe itu manis? Pasti tidak ada ya?! Namun, siapa yang menciptakan cabe itu rasanya pedas? Atau apa sih pedas itu? Bisa jadi itu adalah nama turunan yang kita kenal dari orang tua kita. Dulu, salah satu dari kita pasti ada yang menganggap es itu terasa panas kalau kita pegang. Sesungguhnya kita belum mengenal apa itu dingin ketika menamai rasa yang ditawarkan es untuk kita. Tapi orang tua atau siapapun pasti akan memberikan “pembenaran” bahwa es itu dingin.
Hal itu akan sama kasusnya dengan terciptanya sebuah ketakutan. Masih erat hubungannya dengan persepsi yang kita terima dalam memaknai suatu obyek yang ditangkap oleh indera kita. Mengutip dari Psikologi Komunikasi-nya Jalaluddin Rakhmat, Desiderato berpendapat, persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Lebih lanjut, persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi.
Pengalaman. Itulah yang hingga kini membentuk sebuah persepsi pada diri kita tentang sebuah obyek tertentu. Tentu saja bukan pengalaman kita sendiri. Bisa jadi semua itu adalah pengalaman orang-orang terdahulu. Dan seiring dengan interaksi kita dengan orang-orang terdahulu( yang mendahului kita lahir) itulah yang perlahan ikut membentuk persepsi kita akan sebuah obyek yang ditangkap indera kita.
Ketika kita mendapati seseorang dengan ketakutan yang luar biasa pada sesuatu, patut kita lihat pengalaman yang ada di belakangnya. Jangan salahkan si penakut. Taruhlah misalnya, ada orang yang sangat takut akan hal-hal yang berbau mistik, atau hantu. Bisa jadi, ketika kecil, ketakutan itu disebabkan karena ditanamkannya persepsi bahwa hantu itu menakutkan. Ingat, seorang anak kecil yang polos tidak akan langsung dapat mempersepsikan segala sesuatu. Dia tidak akan mengerti apa itu takut, apa itu panas, apa itu pedas.
Persepsi dari orang lainlah yang dapat mempengaruhi pembentukan persepsi itu. Pernah suatu kali saya dapat cerita dari seorang teman saya. Tentang keponakannya yang masih kecil melihat sesosok pocong (diluar konteks benar atau tidak). Tidak ada yang memberitahu keponakan teman saya itu bahwa apa yang dilihatnya adalah pocong (katanya dia sangat sensitive dnegan hal-hal gaib). Yang dia tahu, makhluk serupa pocong itu dia persepsikan sebagai sosok boneka Teletubies. Teman saya dan keluarganya sering melihat keponakannya itu teriak-teriak senang ketika malam, seperti melihat Teletubies. Kalau tidak ada sinetron Jadi Pocong yang diperankan Mandra (Pelawak yang Nyaleg), teman saya dan keluarganya tak akan pernah tahu bahwa yang dilihat keponakannya pada malam-malam itu adalah pocong. Ya, waktu dia melihat sosok pocong pada sinetron itu, seperti biasanya dia berteriak-teriak Teletubies dengan senangnya. Kontan sekeluarga yang melihat itu kaget dan baru sadar kenapa dia sering teriak-teriak Teletubies dan menunjuk pada suatu tempat ketika malam.
Itulah. Anak kecil belum dapat memahami apa itu rasa takut. Mungkin ketika yang melihat itu kita, bisa jadi kita akan merinding dibuatnya. Kenapa? Karena persepsi bahwa pocong itu menakutkan bagi sebagian orang telah melekat pada diri kita. Suatu saat bisa saja persepsi itu berubah atau hilang sama sekali, tapi bisa jadi akan semakin menjadi sebuah ketakutan yang luar biasa. Tinggal bagaimana pengalaman kita sendiri yang memupuknya.
Dan ketika tayangan-tayangan mistik yang belakangan sudah tak laku lagi dalam dunia layar kaca kita tempo hari, bisa jadi membentuk sebuah generasi yang menyepakati bahwa mistik dan hal gaib adalah sebuah hal yang mengerikan dan menakutkan. Jangan lupa bahwa media sangat besar pengaruhnya dalam membentuk sebuah generasi pada diri masyarakatnya.
Ketika kita telah mengetahui betapa persepsi dapat dipengaruhi oleh keadaan kita sekarang, maka bagaimana kita akan turut andil dalam membentuk sebuah penanaman persepsi pada generasi kita kelak? Minimal untuk anak-anak kita, apa yang akan kita tularkan pada anak-anak kita kelak. Itu tergantung pada diri kita. Nah, sekarang hendaklah dipikirkan persepsi apakah yang akan kita tanamkan pada anak kita, apakah jadi seorang penakut? Patriot? Ambisius? Semua tergantung kita sebagai ‘yang terdahulu’.

Solo, 28 April 2009
Agus Raharjo

Jumat, 17 April 2009

Doa Yang Mengancam

Adaptasi dari cerpen karya Jujur Prananto
Sutradara : Hanung Bramantyo
Pemain : Aming, Ramzi, Deddy Soetomo, Titi Kamal, Djojon, Nani Wijaya, Cici Tegal, Berliana Febrianti

Betapa himpitan kemiskinan menjadi suatu penyebab terjadinya hal-hal yang diluar batas akal sehat terjadi. Indonesia mencatat tidak hanya sedikit kasus yang mencengangkan kita akibat rasa takut akan kemiskinan. Alasan ekonimi sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga ketika berita buruk tersiar dalam media.

Hanung Bramantyo, hendak menyajikan titik ekstrim pada kita tentang rasa putus asa karena kemiskinan dari sisi religiusitas manusia. Terlebih pada seorang muslim, entah apa motifnya, karena memang kita terbiasa mendengar bahwa Islam identik dengan kemiskinan.

Lewat tokohnya Madrim (Aming), seorang kuli pasar yang hidupnya tidak pernah beranjak dari kekurangan dan kesengsaraan, ingin merubah nasib dengan sebuah doa yang bukan kebanyakan dilakukan. Iya, Madrim yang merasa telah putus asa, padahal kerja keras telah dia lakukan dan doa juga senantiasa dia panjatkan, tapi nasib tidak juga pernah berubah. Dan ditambah dengan minggatnya sang istri Leha (Titi Kamal), akhirnya dia mengucapkan doa “aneh” pada Tuhan. Doa yang mengancam.

Ya Allah, hari ini aku menghadapmu, ya Allah, limpahkan rizkimu, ya Allah, bebaskan aku, ya Allah, dari segala kemiskinan dan hutang, ya Allah. Ya Allah, kembalikan istriku, ya Allah, aku cinta dia aku butuh dia, ya Allah! Asal kamu tahu ya Allah, aku capek, aku lelah berdoa, ya Allah. Kalau dalam tiga hari tiga malam Kau tidak mengabulkan doaku, ya Allah, aku akan murtad, aku akan berpaling pada setan, ya Allah.

Kira-kira begitulah doa Madrim pada titik ekstrim keputusasaannya. Dilatari dengan hujan disertai petir, akhirnya Madrim beranjak pergi entah kemana. Sampai pada suatu tempat, dia tersambar petir. Tapi anehnya dia tidak mati. Justru karena tersambar petir itulah awal dari perubahan nasibnya, karena dia menjadi punya kemampuan untuk melihat masa lalu sampai sekarang hanya dengan melihat sebuah foto. Karena kemampuannya, dia menjadi orang yang tiba-tiba kaya.

Tapi ada kelemahan pada kemampuannya itu. Dia tidak dapat menggunakan kemampuannya itu untuk mencari keberadaan istrinya. Bukan hanya itu saja, dia juga dengan sengaja melihat masa lalu ibunya dan mendapati kenyataan yang membuatnya meninggalkan ibunya.

Rasa shock karena perubahan yang terjadi pada dirinya, membuat Madrim ingin menjadi seorang yang biasa lagi. Dia berdoa agar kekuatan yang dia dapatkan dihilangkan darinya. Tapi apa daya, dia sendiri tidak tahu apakah kekuatan itu asalnya dari Allah ataukah setan. Karena dia berfikir kekuatan itu berasal dari setan, ditengah mabuk dlam diskotek, dia minta pada setan dengan permintaan kira-kira sama ketika dia berdoa dulu. Dia meminta kalau kekuatan itu tidak diambilnya lagi, maka dia akan kembali pada Allah.

Bukan hilang kekauatan yang didapatnya, justru malah bertambah kemampuannya menjadi dapat melihat masa depan. Dengan semua itu, kemewahan yang sebelumnya didapatnya, menjadi lebih bertambah lagi. Tapi, lagi-lagi rasa kesepian semakin menjalari hidupnya. Semakin hari justru dia menjadi terbiasa mimpi buruk akibat rasa takut menanggung kemewahan yang terlanjur melekat padanya. Tak ada ibu yang menemaninya. Istri yang sekian lama tidak dilihatnya, sekali dilihat lalu bunuh diri. Pada saat itulah dia berada pada keadaan yang benar-benar kacau. Shock yang tak tertanggungkan, hingga halusinasi. Dan akhirnya pingsan hingga tak tanggung-tanggung sebulan lamanya.

Penyelesaian yang diberikan Hanung adalah, Madrim yang takut untuk berdoa pada Allah karena doa yang mengancamnya dulu, akhirnya mendapat semacam titik cerah dari sahabatnya, Kadin untuk senantiasa tawakal dan ikhlas pada Allah dan berdoa padaNya. “Karena doa siapapun pasti Allah dengerin. Siapapun!”

Dan akhirnya, Madrim kembali hidup normal dengan membuka warung di pasar tempatnya kerja dulu, bersama ibunya. Dia juga mendapat pengganti Leha, istrinya yang meninggal, dengan berencana melamar gadis yang bekerja di sebuah warung di pasar itu yang telah bangkrut. Sebuah akhir yang bahagia, seperti kebanyakan cerita-cerita hidayah.

Tapi memang sebenarnya, titik tekan film itu bukan pada akhir yang dapat ditebak, karena pertolongan Allah. Tapi sebuah gambaran simpul-simpul kemiskinan, keputusasaan, juga kekafiran. Bukankah kita juga mengetahui bahwa kamiskinan dan kefakiran itu lebih denkat dengan kekafiran.

Dilain pihak, ada nuansa dramatis pada liku hidup yang dialami oleh sang tokoh. Perubahan hidup dari kemiskinan dan keputusasaan menjadi kehidupan yang serba bergelimangan kemewahan tidak serta merta membuatnya bahagia. Ada sesuatu yang dirindukannya. Orang-orang yang dicintai, kerja keras, dan hidup normal dengan berbagai masalah yang menyelimutinya. Dan selalu tidak merasa kesepian.

Menurut saya, perubahan yang mendadak membuatnya tidak terbiasa dengan kehidupan yang berbeda. Proses. Itulah titik tekannya. Ibarat sebuah perjalanan, bukan pada titik akhir dimana sebuah pembelajaran itu ada, tapi terletak pada perjalanan itu sendiri. Sejauh mana kita mampu bertahan dan berjuang dalam liku perjalanan yang ditawarkan pada hidup kita. Dan doa, adalah sebuah ikhtiar religius pada Sang Pemberi Perjalanan. Bukankah Allah sesuai dengan apa yang kita sangkakan kepadaNya?

Solo, 15 April 2009
Agus Raharjo

Minggu, 12 April 2009

Ucapkan Selamat Tinggal Pada Harapan

Tetralogi Laskar Pelangi, novel yang melambung tinggi bersama euphoria tema pendidikan nasib anak negeri. Sebuah potret ironi bagi semangat dan kenyataan dalam memandang apa sekolah itu.

Baru beberapa hari lalu saya menyelami dunia harapan dan semangat yang digariskan jelas oleh tulisan Andrea Hirata, yang juga Ikal dalam keempat novel itu. Yang paling terkesan dalam diri saya adalah sebuah semangat dalam harapan yang tipis, serta sebuah perjuangan melawan logika-logika yang dipandang mustahil oleh manusia.

Ikal, yang “dibutakan” oleh perempuan bermata sipit terus melawan hambatan-hambatan realitas dalam mencari keberadaan cinta pertamanya. Setelah berpisah belasan tahun, sejak gadis itu pergi, Ikal masih saja memegang harapan bertemu dengannya suatu saat nanti. Dan memang, perjuangan untuk seorang wanita, bahkan dapat melintasi dunia dalam mimpi-mimpi orang lain menjadi sebuah kenyataan dalam kehidupan kita.

Itulah harapan. Sekecil apapun itu, perjuanganlah yang dapat mewujudkannya.

Masih ingat kata-kata Arai—sepupu Ikal—yang juga memegang teguh harapan itu? “Jangan pernah mendahului takdir”. Bagi saya, kata-kata itu membawa sebuah kepastian bahwa harapan itu senantiasa selalu ada. Kapankah kita bisa tahu takdir itu ketika kita belum pernah mengalaminya? Seperti sebuah keyakinan, jodoh dan rizki kita sudah tertulis dalam buku takdir Yang Esa. Tapi pernahkah kita tahu siapa dan berapa rizki untuk kita? Bukankah sungguh naïf ketika kita dengan tegas mengatakan dialah yang akan menjadi jodohku, atau sebanyak itulah rizki yang akan aku terima.

Dengan kata-kata Arai, aku rasa perjuangan Ikal juga berlandaskan akan keyakinan seperti itu. Bahwa kita tidak dapat menafikan kekuatan semangat dan keyakinan. Namun, juga harus mempertimbangkan realitas ilmiah. Maksud saya, bukan menentang realitas ilmiah, hanya saja, realitas ilmiah kadang muncul ditengah-tengah kekuatan keyakinan itu. Dan kuncinya adalah peluang. Selama peluang itu masih ada, harapan juga akan selalu ada.

Dalam sebuah film yang berjudul “My Blueberry Nights”, saya juga menemukan simpul-simpul harapan pada sebuah kata “Kunci”.

“Jangan pernah membuang kunci, karena kau tidak akan dapat membuka pintu lagi”. Karena “Jikapun kunci itu masih ada pada kita, kita juga belum tentu menemukan orang yang kita cari di dalamnya”.

Paradoks memang. Antara hilang harapan dan keyakinan akan harapan itu. Ketika kita telah membuang kunci—bagi saya itu ibarat keputusan—maka kita telah menutup peluang itu, juga harapan. Dan tanpa kita membuang kunci—membuat keputusan—ternyata belum tentu juga perwujudan itu ada dibalik harapan. Harapan adalah harapan, peluang tetaplah peluang, yang senantiasa bersembunyi dibalik misteri sebuah takdir.
Tergantung bagaimana kita memilih langkah kita menghadapi harapan itu. Apakah kita akan jadi seorang yang pesimis dengan keputusan kita, ataukah sama seperti Arai? Yang dengan kata-katanya dia mampu bertahan selama bertahun-tahun hanya untuk mencintai seorang Zakiah Nurmala—memang kisahnya berakhir dengan kemenangan harapan.

Dan bagi seorang Ikal, harapan itu juga selalu ada, hingga apa yang dia lakukan—bagi yang telah membaca Maryamah Karpov pasti tahu—adalah perjuangan untuk memenangkan peluang itu. Hingga akhirnya, melalui rintangan yang tidak logis—bagi orang lain—dia mampu membuktikan bahwa keyakinan dan perjuangan yang ditopang dengan logika ilmiah adalah cara terbaik memenangkan harapan itu.

Namun, sungguh sangat disayangkan, ketika pada akhirnya, dialah yang justru membuang kunci itu. Hingga akhirnya, pintu untuk harapan itu tertutup rapat. Dia telah memutuskan untuk tidak menikahi A Ling, ketika dengan jawaban ekspresif, ayahnya menolak keputusan Ikal untuk “mencuri” A Ling dari pamannya.

Bukan pada penolakan ayahnya, tapi pada keputusannya sendiri harapan dan peluang itu lenyap dari gambatan seorang yang teguh pada keyakinannya. Memang sebuah akhir yang tidak menyenangkan bagi saya, ketika setelah dengan perjuangan yang melawan logika kebanyakan, justru dia kalah pada dirinya sendiri. Namun itulah takdir. Kita baru dapat mengetahui bahwa Ikal memang tidak ditakdirkan dengan A Ling setelah kita tahu mereka memang tidak ditakdirkan bersama.

Entahlah, Ikal yang tidak saya mengerti, atau saya yang terlalu bodoh untuk memahami tentang harapan itu. Namun, saya hanya akan mengatakan sebuah sindiran pada Ikal, setelah sepanjang hidupnya dia berjuang dengan semua harapan, tapi akhirnya dia menyerah pada keputusannya sendiri.

“Ucapkan selamat tinggal pada harapan!”

Itu saja.


Solo, 11 April 2009
Agus Raharjo