Kamis, 28 Mei 2009

Asal Mula Sukoharjo: Menikmati cerita historis, menikmati sebuah kenangan.

Pada suatu waktu, di Majapahit terjadi huru-hara. Banyak prajurit yang tidak lagi setia terhadap kerajaan, melarikan diri dari Majapahit. Mereka tak lagi dapat menepis bahwa Majapahit telah diambang keruntuhan. Dilain sisi, kerajaan Demak maju lebih pesat. Sehingga keberadaannya semakin hari menggusur bumi Majapahit. Demak adalah kerajaan Islam yang maju pesat dengan dukungan para walinya. Dalam keberadaannya, kerajaan Demak bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam di bumi Jawa. Salah satu sebab keruntuhan Majapahit adalah juga disebabkan oleh keberadaan kerajaan Demak. Bala tentara Majapahit telah kalah dari prajurit Demak.

Ketika Majapahit telah diambang keruntuhan, tersebutlah seorang pangeran yang masih bertahan dalam kebimbangannya. Pangeran Banjaransari. Dia merupakan gambaran sosok yang bimbang antara mempertahankan Majapahit ataukan ikut pergi dari Majapahit. Lalu, pilihan telah diambil, dan dia memutuskan untuk pergi berkelana.

Dalam pengelanaannya, suatu ketika, dia dicegat oleh segerombolan begal yang akan merampoknya. Namun, karena kemampuan kanuragan yang dia miliki, Pangeran Banjaransari tak sedikitpun gentar dengan begal yang hendak merampoknya itu. Bahkan malah menantang begal-begal tersebut. Namun, sebelum adu kanuragan terjadi antara Pangeran Banjaransari dan begal-begal terjadi, maka, muncullah sosok manusia yang melerai perkelahian itu.

Dengan bijaknya, sosok laki-laki yang melerai tersebut menasehati para begal agar tidak melawan laki-laki yang dicegatnya, yang adalah Pangeran Banjaransari. Para begal tetap akan kalah ketika melawan Pangeran Banjaransari. Tetapi, apa yang dinasehatkan pada para begal seolah menguap begitu saja. Bahkan laki-laki yang meleraipun akan dibininasakan juga.

Namun, sebelum hal itu terjadi, sosok laki-laki dengan pakaian wali tersebut mengaku di sebagai Sunan Kalijaga. Maka, terkejutlah para begal dan Pangeran Banjaransari dengan kemunculan Sunan Kalijaga. Selanjutnya, Pangeran Banjaransari dan begal yang hendak merampoknya berlutut di hadapan Sunan Kalijaga agar diterima menjadi muridnya. Dengan ketakutan sekaligus kagum, para begal mengatakan bahwa mareka sebenarnya ingin bertobat sejak lama. Maka diterimalah para begal dan Pangeran Banjaransari menjadi murid Sunan Kalijaga. Dan berangkatlah mereka menuju padepokan sang Sunan.

Setelah sekian lama belajar pada Sunan Kalijaga, maka Pangeran Banjaransari mendapat tugas membabat alas Taruwongso dan membantu penduduk sekitarnya untuk keluar dari paceklik yang tengah melanda mereka. Maka dengan segala ilmu yang dimilikinya, didatangilah alas Taruwongso yang terkenal sebagai istana para jin. Usaha babat alas bukan tidak mengalami gangguan. Akan tetapi setelah terjadi pertempuran denan para jin penghuni alas Taruwongso, keluarlah Pangeran Banjaransari sebagai pemenangnya. Para jin yang berhasil dikalahkannya dipindah ke gunung Lawu.

Melihat keadaan masyarakat sekitar alas Taruwongso yang sedang dilanda paceklik dan mengidam-idamkan keadaan Raharjo, maka Pangeran Banjaransari menamakan daerah tersebut dengan nama Sukoharjo.

***
Sampai saat inipun nama Sukoharjo masih tetap ada. Bisa jadi kita termasuk orang yang belum mendengar cerita itu?! Sebuah cerita historis tentang asal mula nama kota Sukoharjo. Cerita yang bisa jadi adalah sebuah karangan saja, atau memang benar adanya, pada masa keruntuhan Majapahit. Dan masih dekat dengan kehidupan para Wali di tanah Jawa.

Terlepas dari kebenaran tidaknya cerita tersebut, memang terdapat sebuah makam yang disebut-sebut sebagai makam Pangeran Banjaransari di Taruwongso, daerah yang menjadi bagian daerah Tawangsari, Sukoharjo. Dan tentang makam itupun, apakah memang makam Pangeran Banjaransari ataukah bukan, saya sendiri juga tidak tahu secara pasti. Namun, saya pernah melihat papan nama yang menulis tempat itu ketika saya pulang dari Wonosari, Gunung Kidul.

Tulisan penunjuk tempat itu sengaja menarik perhatian saya karena malam hari sebelum hari itu, saya ikut menyaksikan sebuah latihan ketoprak dari suatu Padepokan di daerah Pajang. Sehari setelah saya melihat mereka latihan, saya juga menyempatkan diri untuk menyaksikan pertunjukan mereka. Pertunjukan tentang asal mula nama Sukoharjo. Ya… dari pagelaran ketoprak itulah awal saya mengetahui cerita dibalik nama kota Sukoharjo yang dekat dengan Solo.

Menikmati cerita-cerita historis bagi saya juga menikmati kembali sesuatu yang telah lama hilang. Ketika saya dapat menikmati cerita yang bernuansa sejarah, saya rasa imajinasi saya akan melarutkan kita kembali pada masa cerita itu terjadi. Ada sebuah sensasi tersendiri ketika dapat melihat masa lalu. Rasa-rasanya saya ingin dapat menjelajah waktu dan kembali pada masa-masa dulu ketika cerita itu dapat diingat sebagai sebuah sejarah pada masa kini.

Meskipun begitu, kehilangan itu tetap saja menjadi sebuah kehilangan. Tak dapat lagi menjadi sebuah kenyataan pada masa kini. Dan pagelaran adalah sarana mengenang sejarah layaknya kita memandangi sebuah potret masa kecil kita. Ada sesuatu yang kita rindukan ketika kembali menyimak gambaran-gambaran sejarah yang melintas di hadapan kita.

Malam itu, ketika saya menikmati uraian peritiwa tentang asal mula kota Sukoharjo, adalah sebuah peristiwa yang juga telah menjadi sebuah sejarah saja bagi saya. Mungkin kalau boleh saya bilang, sebuah peristiwa yang akan selalu melekat dalam memori kenangan saya. Peristiwa semacam itu tidak akan dapat saya temui lagi kedepannya. Karena setelah malam itu, saya telah kehilangan salah satu orang terdekat saya. Dan pagelaran ketoprak tentang asal nama kota Sukoharjo, adalah satu kenangan yang dapat dia tinggalkan untuk saya ingat.

Saya hanya dapat mengingat moment menikmati asal mula kota Sukoharjo menjadi bagian dari sejarah yang telah saya lalui. Mengingatnya bagi saya berarti juga menikmati apa yang telah hilang dari diri saya, meskipun saya tidak menginginkannya. Masa lalu telah membingkai moment itu pada tempat terdekat dengan kerinduan saya. Waktu begitu cepat berlalu meninggalkan sejarah yang diukir oleh setiap pribadi.

Sampai saat ini, saya masih dapat melihat dengan jelas kenangan yang baru beberapa hari lalu saya lalui. Namun, waktu jualah yang menjadi pemisah masa. Peristiwa itu menjadi sebuah masa lalu yang tersimpan sebagai penanda saya pernah kehilangan seseorang. Saya hanya dapat menikmati kenangan itu dalam pikiran saya. Gambaran yang sifatnya historis selalu saja menggugah kedalaman batin manusia. Dan sejarah bagi saya adalah bergumul dengan rasa kehilangan. Kenangan selalu saja menyita perhatian kita pada kedalaman peristiwanya.

28 Mei 2009
Agus Raharjo

Minggu, 24 Mei 2009

Doa dan Ikrar

Bulan ini, nampaknya adalah bulan yang sungguh baik. Bernuansa positif. Kalaupun ada peramal yang mengatakan, bulan ini adalah bulan bahagia. Mungkin saja benar adanya (bukan bermaksud percaya pada peramal). Bulan dimana banyak penyatuan moment yang menyatukan hati. Bulan berkah bagi para insan yang sedang merindukan “sang pelengkap”.

Bagaimana tidak? Dalam satu bulan ini, ada empat orang dekat saya yang akan berikrar setia pada ikatan suci perkawinan (Hmm…jadi pengen, Ya?!). Dan semuanya saya yakin telah melalui lika-likunya masing-masing untuk dapat berikrar di depan saksi seperti yang akan mereka lakukan itu. Sebuah ikrar yang akan membuat dua insan memegang kewajiban dan haknya masing-masing pada pasangannya.

Ada undangan yang benar-benar saya cermati isi dan gambar-gambarnya. Memang biasanya saya sering tidak memcermati undangan, hanya melihat waktu dan tempatnya saja. Tapi kali ini lain. Ada gambar kupu-kupu dan siput pada desainnya. Pertanyaan pertama yang timbul adalah, apa maksud kupu-kupu disandingkan dengan siput? Yang saya tahu, kupu-kupu adalah penjelmaan dari sebuah proses pembelajaran. Dari ulat yang bisa kita anggap menjijikkan sampai pada kupu-kupu yang menarik perhatian kita. Bisa jadi kupu-kupu adalah sebuah kelahiran baru. Yang jelas, siapa yang merasa menjadi kupu-kupu adalah seorang yang merasa dirinya terlahir kembali dengan segala kebaikan yang melekat padanya. Bagi saya, seseorang yang merasa seperti itu saya anggap adalah orang yang sangat menghargai sebuah proses.

Sedangkan siput? Kita tahu bahwa siput adalah seekor hewan yang malu-malu. suka bersembunyi dalam rumahnya. Dan sangat lambat sekali untuk bergerak. Bisa jadi, lambang dari keberadaan siput adalah gambaran sebuah kesabaran dan “menikmati” perjalanan. Sampai saking lambatnya, mungkin dia adalah seorang yang benar-benar detail jika diminta menerangkan apa yang telah dilewatinya.

Siput dan kupu-kupu? Adalah perpaduan yang tidak sepadan dalam arti ruang dan waktu. Itupun saya dapati pada halaman “Tentang Kami” yang menerangkan tentang pribadi calon pengantin. “Hampir semua yang ada pada kami adalah beda.” Namun, sungguh sangat bijak ketika mereka dapat disatukan oleh “Cinta (Misi dan Jiwa)”. Bisa jadi keduanya sangat menyadari benar perbedaan tersebut, namun, pada akhirnya mereka akan menginjak ke pelaminan.

Ada yang menarik lagi bagi saya pada undangan yang saya terima itu. Adalah doa calon pengantin. Saya akan jujur, bahwa saya membaca sampai pada akhir setiap kata-katanya. Entah itu benar-benar doa mereka atau dibuat oleh desaigner undangan. Namun doa yang mereka panjatkan dapat membuat saya terharu.
:
Doa Kami

Habib:
Berkenanlah Engkau Yaa Rabb,..
Menjadikan hadirnya seorang wanita berada di samping
Hamba_Mu yang lemah ini
Menjadikan hadirnya seorang wanita memberikan kesejukan
Dalam rona-rona biru hidup
Menjadikan hadirnya seorang wanita dengan lembut dan kelembutannya
Menjadikan karang dalam hati ini,…luluhhh
Menjadikan hadirnya seorang wanita dengan sabar dan kesabarannya
Menjdikan hati ini mampu mencapai Mardhatillah bersamanya…
Menjdaikan hadirnya seorang wanita dalam hari-hari
Menapaki jalan hidup di dunia menuju Akhirat yang abadi
Menjadikan hadirnya seorang wanita pengarah arah tujuan
Manakala terdapat khilaf dalam menapaki jalan hidup
Menjadikan hadirnya seorang wanita,.. sebagai kekuatan setelah kekuatan_Mu dengan doanya
Menjadikan hadirnya seorang wanita dnegan ketaatannya
Memasukkan kami bersama dirinya dalam Syurga dengan Ridho_Mu

Eni:
Dalam jalani hidup dan kehidupan
Tuhanku…
Aku berdoa untuk seiorang pria yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu
Tuhanku…
Aku tidak meminta seseorang yang sempurna, namun aku meminta seseorang yang tidak sempurna, sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu
Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
Seorang pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seseorang yang membutuhkan senyumku untuik mengatasi kesedihannya
Seseorang yang membutuhkandiriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna
Tuhanku…
Aku juga meminta,
Buatlah aku menjadi wanita yang dapat membuatnya bangga
Berikan aku hati yang sungguh mencintaiMu sehingga aku dapat mencintainya dengan sekadar cintaku..


Pada akhir doa, masih ditambah lagi kalimat: Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan: “Betapa Maha Besar Engkau karena telah memberikan kepadaku pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna.”

Bagi saya sungguh menjadi doa yang menggetarkan. Bukan karena umur saya yang mendekatinya, tapi karena ada ketulusan yang saya rasakan. Ketulusan yang tidak muluk-muluk. Ketulusan yang muncul dari hati.

Bisa jadi saya iri pada keduanya. Dan membaca kedua doa tersebut, saya berpikir, kapan saya dapat membacanya? Juga kapan saya akan didoakan seperti itu. Hmm…mungkin saat ini saya hanya bisa berdoa, Ya Allah…berikanlah kekuatan pada kami sedikit kekuatanmu untuk kesabaran kami menunggu saat-saat itu terjadi. Jagalah kami seperti kami juga berniat untuk menjaga diri masing-masing sampai pada waktunya nanti. Amin…

Doa dan Ikrar? Menjadi benar-benar sakral ketika berada pada momentum yang tepat. Sebelum Ikrar itu benar-benar diucapkan. Doa adalah tempat yang paling tepat untuk meletakkan janji. Dan sebuah Nadzar adalah perwujudan dari seberapa besar kesungguhan akan hal itu. Sekali lagi, semoga Allah memberikan jalan yang terang…

Solo, 20 Mei 2009
Agus Raharjo

Gerimis di Wajahku

Jika nanti kau merindukan aku
Kutitipkan kenangan pada wajah hujan
Karena aku tahu, hujan mengingatkanmu padaku

Jika nanti kau tak kuasa menahan tangis
Kuikutkan airmatamu pada derai hujan
Disanalah kerinduan kita bertemu

Jika nanti kau merasa jauh dariku,
Mendekatlah pada belai hujan
Dengannya, kutarik kau menari bersamaku

Jika nanti kau lelah menungguku
Bicaralah pada hujan
Darinya, kutahu aku harus datang
Dan kebahagiaan,
Menjelma rintik gerimis di wajahku.


"sebuah persembahan"
(AR, 19 Mei 2009)

Perjalanan

Rabu, tanggal 13 Mei 2009, hari dimana saya merasakan titik kegelisahan pada puncaknya. Saat itu, saya, seperti kebiasaan lama, berencana “menikmati” setiap permasalahan dalam sebuah perjalanan. Dan akhirnya, siang hari saya merencanakan untuk bersepeda. Bukan jalan-jalan, seperti yang biasanya. Karena perjalanan yang saya tempuh hari itu adalah sebuah perjalanan yang agak jauh. Disamping proses merenung dan berpikir, saya juga mempunyai amanat dari seorang teman mengambil surat rahasia dan penting (saya tahu setelah saya menerima surat itu).

Sampai pada sore harinya, saya benar-benar melaksanakan perjalanan itu. Dan saya memang merencanakan akhir dari perjalanan itu adalah masjid dimana saya belajar bagaimana berhadapan dengan anak-anak.

Lalu, dimulailah perjalanan pada sore itu. Saya dengan semangat seprti biasanya, hendak menjernihkan pikiran dengan merenungi semua permasalahan dalam sebuah perjalanan. Memang bukan perjalanan yang menyenangkan, namun setidaknya ada yang bisa saya resapi dari perjalanan singkat itu. Tentang semuanya. Apa yang saya lalui, apa yang saya lihat, apa yang saya rasakan, apa yang saya menimpa saya, dan apa yang tengah menunggu saya di sana. Semuanya mirip sebuah miniatur kehidupan.

Dari sebuah awal, saya sampai pada persinggahan pertama. Yaitu etmpat mengambil surat amanat dari teman saya yang telah jauh. Surat rahasia dan penting. Disana saya bertemu dengan orang-orang yang bagi saya punya pengalamannya masing-masing dari kesan yang ditinggalkannya pada saya. Pada pengalaman itu, akan saya ingat bagaimana karakter dari masing-masing individu yang melekat pada mereka. Tentang sebuah kesombongan, keangkuhan, sok pahlawan, sok penting. Walaupun tidak semuanya memberi kesan negatif, karena ada juga kesan-kesan positif yang diberikan pada saya dari orang-orang tertentu juga. Entahlah, mungkin semua itu adalah suka duka bernafas di dunia. Saya maklumi saja.

Ketika saya keluar dati persinggahan pertama, saya langsung berpikiran pada persinggahan berikutnya. Sebuah tempat yang dulu pernah saya kunjungi, dan orang yang saya anggap dekat dengan saya. saya bilang seperti itu, karena saya pernah melihatnya dari titik nol menjadi seperti dia yang sekarang ini saya kenal. Mungkin tidak sia-sia saya merasa ikut mendidiknya menjadi seperti sekarang ini. Meskipun dari dulu, sosoknya dapat membuat saya tersenyum karena kepolosannya.

Untuk lebih menikmati perjalanan, saya sengaja melewati sebuah makam yang dapat dikatakan besar di daerah itu. Pracimaloyo. Padanya, saya hanya melihat banyak sekali nisan-nisan yang tertancap dalam tanah, dengan nama-nama orang yang terbaring dibawahnya. Ketika itu, saya merasa dekat sekali dengan kematian. Ada rasa putus asa yang membuat saya pasrah pada kehidupan. Ada perasaan ditinggalkan yang begitu besar, juga ada kehilangan yang begitu berat untuk saya tanggung. Saat seperti itulah sepertinya mengingat kematian adalah sesuatu yang pas. Karena kematian juga menjadi sebuah cara tentang rasa kehilangan itu. Kehilangan mutlak yang tak akan pernah kita dapatkan lagi. Dan memang saat itu, saya benar-benar dicekam rasa kehilangan yang paling berat dalam hidup saya. Saya sungguh dibuat takut tak terkira padanya.

Dan pada tengah perjalanan saya di makam-makam tersebut, saya melewati sebuah jalan kecil yang dulu pernah saya lewati. Juga tentang rasa kehilangan. Diujung jalan kecil itu, saya tahu ada seorang wanita yang akan seklalu dirindukan oleh laki-laki yang senantiasa berpikir realistis itu. Di dalam tanah itu, terbaring wanita yang telah berjuang sekian tahun pada penyakit kanker yang akhirnya membawanya terpisah pada keluarganya. Meskipun saya tak melihat laki-laki yang saya kenal itu menitikkan airmata, namun saya percaya ada rasa kehilangan mutlak yang menyelimutinya. Tapi saya benar-benar kagum, pada apa yang diperlihatkannya. Dia begitu tabah menghadapi kehilangan itu. Tidak seperti adik perempuannya, yang menangis pilu ketika liang dalam tanah memeluk sang ibu. Ada suasana sedih dari pada jalan kecil itu, yang dulu masih basah oleh hujan, juga pada liangnya masih digenang air hujan.

Mengingat pengalaman itu, juga pengalaman-pengalaman lain pada nisan-nisan yang tertancap pada tanah diatas liang kubur itu, membuat saya berpikir tentang menghadapi sebuah rasa kehilangan. Barangkali saya masih beruntung, karena rasa kehilangan yang menakuti saya adalah bukan karena kematian. Dan kehilangan seperti itu tidak selamanya. Mungkin saja akan ada yang mengisi kekosongan padanya. Meskipun demikian saya sangat takut mengalami rasa kehilangan itu. Saya mencoba untuk ikhlas dan berpikir realistis, meskipun berat. Lalu dengan kesedihan dalam dada, akhirnya say keluar dari kompleks makam Pracimaloyo. Sebelum benar-benar meninggalkannya, sebentar saya melihat nama tempat itu. Saya berpikir, tempat inilah akhir dari perjalannan saya di dunia. Dan bisa jadi saya akan segera terbaring dalam liang tanah seperti mereka yang lebih dulu telah terbaring. Entah kapan.

Setelah benar-benar meninggalkannya, ada perasaan baru yang melingkupi dada saya. ada kenangan-kenangan kecil ketika saya akan bertemu dengan seseorang yang dekat dengan saya ketika kita sama-sama belajar dalam sebuah proses. Bisa saya sebut sebuah jenjang belajar menjadi dewasa. Hingga pada akhirnya, dari pembelajaran itu akan kami gunakan untuk dapat bertahan dalam masyarakat. Dan sore itu, dia sedang mengajar TPA anak-anak di kampungnya. Saya berencana membatunya. Saya akui, sekarang saya suka bersama anak kecil. Mungkin dengan mereka saya belajar menjadi seorang yang dewasa. Seperti orang itu, dia yang dimata saya tetap lucu dengan kepolosannya, saya lihat menjadi dewasa dihadapan anak kecil. Sungguh hanya naluri yang dapat merubah semua itu dengan tiba-tiba.

Mungkin inilah sebuah singkat “menikmati” perjalanan bagi saya. pada akhirnya, saya memang telah belajar menjadi ikhlas bangaiman menghadapi rasa kehilangan itu. Meskipun sangat berat.

Note: Keesokan harinya rasa kehilangan itu telah berganti menjadi sebuah semangat. Terima kasih telah percaya padaku! Empat baris tulisan saya pada “Halaman Persembahan” benar adanya.
Untuk Yaya’, terimakasih telah mengajariku bagaimana menghadapi kehilangan itu.

Solo, 19 Mei 2009
Agus Raharjo

Kamis, 07 Mei 2009

Kisah

Ketika membaca “Dari Penjara ke Penjara”nya Tan Malaka, saya mendapat sebuah kesimpulan bahwa kisah terkadang patut untuk ditulis. Secara jujur, dan terang. Dan selama ini, kisah—sebagian orang menyebutnya “curahan hati”—bagi saya adalah sesuatu yang bersembunyi dibalik bayangan hidup yang paling pribadi. Dan selama ini kisah yang jujur hanya saya tulis untuk saya simpan sendiri pada sebuah buku warna biru yang saya beli sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di Solo. Harapan saya semua dapat tertulis pada lembar-lembar kertas yang hanya saya yang membacanya. Walaupun terkadang, beberapa memang saya tulis untuk dapat dibaca orang lain. Meskipun dengan menyembunyikan maksud sesungguhnya. Saya masih berpendapat bahwa kisah hidup, bagi saya adalah sesuatu yang tabu untuk dikatakan dnegan jelas.

“Dari Penjara ke Penjara”, adalah sebuah kisah hidup yang ditulis dengan jujur oleh Tan Malaka. Meskipun tidak bisa lepas dari perspektif penulisnya sendiri tentang banyak hal. Dan dari dua jilid buku tersebut( jilid tiga belum saya baca), saya menemukan sebuah kisah yang secara jujur dapat menggetarkan. Kisah tentang sebuah perjuangan. Semuanya tentang pengalaman seorang tokoh Komunis sejati( dalam pandangan politiknya), berhadapan dengan ideologi imperialis. Dan selalu melawan bahkan dengan pribadinya. Ketika dulu saya takut mengenal kata komunis, tentu saja dengan pandangan miring yang menyertainya. Saya jadi merasa, saya telah masuk dalam jebakan kaum imperialis yang merupakan musush utama komunis. Dan saya selalu mendapati bahwa komunis adalah ateis (tak bertuhan), sedangkan yang saya dapati adalah Tan Malaka adalah seorang muslim dari orang tua yang taat beragama.

Mungkinkah dulu saya mengalami penyesatan yang luar biasa, hingga saya memaklumi semua pandangan miring tentang komunis itu? Membaca, buku-buku Tan Malaka, saya malah mendapati seorang sosok Nasionalis sejati. Semua hidupnya adalah untuk Republik Indonesia. dan pada seluruh umurnya adalah perjuangan. Mungkin Tan Malaka telah lupa bagaimana belajar untuk menikmati hasil dari perjuangannya, hingga dia hilang dari muka bumi ini.

Atau bisa jadi, perjuangan itulah yang memang lebih dia nikmati. Bukan hasilnya. Dan sebagai penghibur dari segala perjuangannya, dia lebih dapat menikmati sifat lugu rakyat jelata yang dapat mendorongnya untuk terus berjuang. Seperti yang dia katakan, ketika tinggal pada sebuah perkampungan di Kali Bata tentang para tetangganya.

Sifat rakyat jelata kita, selalu menghibur diri saya dan saya anggap satu sifat yang baik yang memberi penghargaan buat hari depan. Tahu berterima kasih dan menghargai anggota bangsa atau kaum yang berusaha membelabangsa atau kaum itu, adalah sifat pertama dan terutamauntuk menjadi bangsa yang merdeka dan terhormat!

Dari kalimat yang dia tulis, Tan Malaka sepertinya memang dapat terhibur dengan sifat rakyat jelata, yaitu rakyat kecil dengan segala keluguannya dan kebaikannya. Tentu saja masih dalam kaitannya adalah untuk berjuang, dan masa depan bangsa yang lebih baik lagi. Kalimat itu juga dapat ditafsirkan sebagai sebuah analisa seorang Tan Malaka untuk menjadikan sebuah bangsa yang terhormat.

Bukan kekayaan, bukan wanita, dan juga bukan kekuasann! Bukankah tiga hal itu yang senantiasa membuat lemah seorang laki-laki? Tapi justru ketiganya tidak kita temui dalam diri Tan Malaka. Kekayaan adalah bagaimana dia dapat sekadarnya bertahan hidup dalam berjuang. Wanita? Bahkan sampai maut menjemputnya, Tan Malaka tidak pernah menyebut seorang wanita yang mendampinginya. Sekali saja dia mengatakan bahwa ketika dia menjadi pelarian di Tiongkok, dia pernah dekat dekat dnegan wanita, tapi segera dapat dia alihkan karena sungguh berbahaya untuk keberadaan diri dan perjuangannya. Dan kekuasaan? Tan Malaka adalah sosok yang sebagian hidupnya adalah “menikmati” masa pembuangan. Selama kurang lebih 20 tahun dia diusir dari tanah air. Dan setelah kembali, ettap saja dia merasa mengasingkan diri hingga Indonesia merdeka. Dan setelah merdeka? Dia tetap menjadi seorang yang berjuang atas kebijakan pemerintah yang masih dia anggap membantu kaum penjajah, dan menyengsarakan rakyat.

Kisah yang seharusnya diketahui oleh kita, anak-anak negeri yang masih punya rasa nasionalisme. Bukan mengincar kekuasaan dan harta. Dan kisah seperti itu adalah sesuatu yang memang perlu untuk diceritakan dengan jelas dan terang. Justru tidak dibutuhkan kalimat-kalimat yang rumit untuk menceritakannya. Seperti juga saya pernah baca sebuah buku tentang pengalaman seorang gadis kecil Yahudi di tengah-tengah krisis Negara Jerman. Anne Frank, gadis itu dengan keluguannya menulis kisah hidupnya pada Diary. Lewat buku itu kita dapat ikut “menikmati” bagaimana hidup dalam persembunyian ditengah-tengah kemelut pembuangan dan pembantaian Jerman atas Yahudi.

***

Kisah hidup, dapat menjadi pembelajaran bagi orang lain. Saya sendiri, adalah tipikal orang yang sulit untuk dinasehati, terlebih ketika nasehat itu keluar dari acara-acara training. Justru malah saya ingin tertawa sinis ketika mendengarnya. Karena bukan kata-katanya yang berbusa-busa itu yang dapat membangkitkan kesadaran saya. Akan tetapi justru dengan kisah hidup sesorang. Sampai berbusa-busa sekalipun, seorang trainer atau motivator bagi saya adalah bahan tertawaan. Terlebih ketika itu disampaikan di depan banyak orang. Mungkin, seorang psikolog lebih akan saya hargai. Karena dia berinteraksi secara pribadi dengan pasiennya. Jikalau saya harus menunjukkan siapa motivator terbaik saya di dunia, saya akan menunjuk salah seorang saudara saya. dengan satu kalimat positif saja, dapat menggerakkan semangat saya pada level tertinggi. Bukan karena kedalaman kata-katanya, tapi karena aku tahu kisah hidupnya. Dan sampoai sekarangpun saya masih kalah jauh padanya. Bukan karena dia saudara, tapi karena pengalaman dan kisah hidupnya yang saya tahu benar seperti apa.

Semua yang dialamai oleh orang lain adalah pelajaran dan perenungan bagi saya. Dari dulu saya suka mencermati orang lain. Mungkin saja itu yang membuat saya dapat langsung mengetahjui bagaimana karekter yang melekat pada diri seseorang. Tapi memang aneh, saya tidak dapat menjelaskan karakter-karakter itu. Saya hanya bisa merasakannya saja.

Begitu juga dengan urusan yang paling sensitif bagi laki-laki dan perempuan. Cinta. Selama ini saya tidak pernah mengalami apa itu pacaran, tapi saya heran, mengapa kebanyakan teman saya suka datang dan berkonsultasi pada saya? Aneh bukan? Saya saja heran. Dari sejak SMP, saya selalu jadi “rujukan” untuk konsultasi terkait satu kata yang rumit maknanya itu. Bisa jadi saya adalah seorang penghubung dari pengalaman orang yang lebih dulu pernah merasakannya untuk disalurkan pada orang yang sedang belajar paham. Atau mungkin karena saya adalah pendengar yang baik. Tapi memang semua kisah yang saya dengar akan saya renungkan dan pelajari.

Suatu kali saya pernah mengobrol dengan teman saya yang mau nikah saat makan malam bersama. Dia menasehati saya tentang cinta (dia bisa bicara karena sebentar lagi nikah), kra-kira begini: “ Jangan pernah kau tanyakan kepadanya mengapa dia mencintaimu!” Hanya itu!

Tapi dalam perenungan saya, kalimat itu memang sungguh-sungguh bermakna. Setelah saya pelajari dan renungkan, saya mendapati sebuah kesimpulan bahwa pertanyaan itu adalah sebuah ungkapan yang akan menimbulkan keraguan pada orang yang ditanya. Dan memang sangat berbahaya sekali ketika itu dikatakan pada orang yang telah saling merasakan itu. Bisa jadi dia akan ragu pada dirinya sendiri, atau justru dia akan mengira kita tidak percaya dnegannya. Semua itu adalah hal yang dapat melemahkan hubungan. Jadi, saran saya pada orang-orang yang telah menemukan “sayap kedua”nya, jangan pernah menanyakan hal itu.

Begitulah, sepertinya kadang kita perlu untuk mempelajari kisah-kisah orang lain. Agar kita sendiri lebih kuat daripada orang lain tersebut, dan yang paling penting kita lebih bisa siap menghadapi sesuatu. Apapun itu! Bukan hanya pada sekadar curahan hati, tapi sebuah perjalanan.

Tan Malaka, saya kira dia belum menemukan titik akhir dari perjalanannya hingga malaikat maut menjemputnya. Saya merasa, saya ingin menjadi seperti dia, tidak takluk pada harta, kekuasaan dan wanita. Entahlah, mungkin saya terlalu takut untuk merasa kehilangan pada ketiganya sebagai manusia. Serasa dibelenggu. Terlebih ketika perihal tersebut telah dekat dengan saya. Saya sendiri juga tidak mengerti, sampai kapan saya bisa seperti seorang Tan Malaka. Saya ingin kembali menjadi seperti dulu, tidak tergantung pada apapun. Setelah semua yang aku saya alami, saya ingin itu terjadi. Bisa jadi dengan sikap dingin itulah yang akan membekukan hati saya pada ketiganya. Dan saya hanya ingin berjuang, agar dapat bermanfaat bagi orang lain. Dengan atau tanpa apa dan siapapun!

Solo, 8 Mei 2009
Agus Raharjo

Senin, 04 Mei 2009

Monolog: Sayap, Luka, dan Ajakan ke Atas.

Aku adalah burung, yang kehilangan satu sayap. Ah… aku bahkan tidak pernah merasa pasti, apakah sayap itu memang melekat. Yang kurasakan selama ini, aku serasa terbang. Aku telah terbang pada banyak tempat, banyak sekali. Dan semuanya seolah mendewasakan aku. Pada impian, dan cita-cita. Aku pernah singgah pada puncaknya yang tertinggi. Saat itu, aku bahkan tidak takut jatuh. Aku merasa sayapku lengkap. Meskipun hanya sekadar bayangannya saja. Tapi aku merasa kedua sayapku dapat mengepak, seutuhnya. Saling melengkapi.

Tiba-tiba aku merasa kesepian. Satu sayap itu telah terbang sendirian. Dan satu lagi masih melekat. Selama aku masih bernafas, yang melekat ini akan selalu ada. Itulah diriku. Dan yang terbang, menghilang itu? Entahlah…mungkin itu hanya bayangan dari sebuah pantulan cahaya yang paling suci.

Dan betapa dahsyat bayangan itu. Hingga mampu membuatku mampu mengitari tempat-tempat yang paling tinggi sekalipun. Sedangkan, aku adalah burung yang terbuang dari kawanan, sendirian. Bagaimaan aku dapat terbang lagi ketika sayapku tak lengkap? Aku hanya sendirian dan punya satu sayap saja. Kalau aku bergabung dengan kawanan, aku akan terasing. Aku bukanlah jenis seperti mereka. Mereka yang selalu dipuja karena dapat mengicaukan lagu suci pada rumah-rumah yang banyak disinggahi malaikat. Dan aku adalah burung yang tahu diri. Buluku yang tak indah, suaraku yang melengking, adalah aib bagi kawanan burung indah itu. Aku terlalu sadar untuk tidak membuat mereka tidak dipuja. Biarlah mereka tetap pada kawanannya. Yang saling mengepakkan sayap, saling menopang dengan yang lain, berkicau bersama dan saling bersahutan. Biarlah aku sendirian, sama seperti dulu, ketika aku keluar dari cangkang telurku. Dan kudapati sayapku hanya satu. Kerena ketika itu, aku adalah burung yang tidak terbang. Hanya berjalan, berjalan, dan berjalan. Mungkin sesaat, kadang aku juga perlu untuk berlari. Tapi tidak pernah terbang, tidak pernah.

Seharusnya aku tahu, bahwa ketika sayap itu tiba-tiba ada, menawarkan dirinya untuk membawaku terbang, aku sekuat tenaga menolaknya. Karena aku tahu, ketika aku terbang, rasa sakit terjatuh lebih menyakitkan daripada ketika dulu aku berjalan dan berlari.

Tapi sayap itu terlalu nyaman. Dan sayapku terlanjur kesepian. Katanya dia butuh teman agar merasa sempurna. Dan sayap itu terlalu sempurna. Padahal aku juga telah menasehatinya, bahwa tidak perlu sayap yang bagus untuknya. Yang penting sayap yang selalu setia dan nyaman saja. Bukan sayap dari pantulan cahaya suci. Tapi aku juga tak mampu menahannya. Dia terlalu terbuai pada sayap itu. Katanya sayap itu datang diiringi sebuah lagu. Lagu yang selama ini aku dnegar, tapi tak tahu lagu apakah itu. Yang kulihat pada lagu itu, adalah gambaran seorang bidadari. Ah… apakah bidadari juga punya sayap. Karena yang aku tahu, mereka ada di atas. Sebenar-benarnya aku ingin melihat mereka, mengagumi keindahannya. Tapi bagaimana aku dapat terbang ke atas kalau sayapku hanya satu? Tidak lengkap.

Barangkali, sayap yang telah hilang, telah menemukan sayap keduanya pada kawanan burung yang bersama-sama hijrah itu. Dan barangkali juga, hijrah mereka adalah ke atas. Bukankah bayangan akan terpantul menjauh dari cahaya? Sedangkan cahaya ada di atas, dan aku ada di bawah. Jadi memang benar, sayap itu sebenarnya juga ada di atas. Dan menuju ke atas, menjauh dariku. Hanya bayangannya saja yang menyertaiku. Karena sesungguhnya, sayap itu juga ada di antara kawanan yang terbang ke atas. Aku masih ada di bawah. Andai saja memang ada Ajakan ke Atas, Langit, Surga.* Aku akan turut serta, karena tidak ada yang aku risaukan di bawah. Aku tidak perlu takut untuk meninggalkan siapapun. Karena aku independent.

Hei… bukankah aku burung yang merdeka? Mengapa sekarang aku merasa kehilangan seberat ini? Apakah aku sebenarnya tidak merdeka sama sekali?! Bayangan sayap itukah penjaraku? Tapi sebesar apakah penjara itu hingga aku dapat terbang dan singgah pada tempat-tempat yang jauh dan tinggi? Ataukah hanya yang ada dalam dada ini yang terpenjara? Mungkin memang hanya itu. Organ kecil yang mengatur emosi dan hasrat. Namanya hati. Tapi bukankah aku adalah burung? Mengapa juga dapat merasa punya hati? Bukankah hati hanya dapat dirasakan oleh manusia saja? Manusia yang kebanyakan tolol untuk hati dan pikirannya. Sungguh ketololan luar biasa ketika anugerah itu masih membuat mereka seperti hewan.

Tapi sungguh, aku merasa bebas dalam penjara itu. Dan ketika sayap itu terbang bersama sayap yang lain, penjara itu serasa menyisakan luka. Bahkan aku tak tahu bagaimana menyembuhkannya. Kalau aku saja tidak tahu, bagaimana yang lain dapat menyembuhkannya? Sedangkan hanya aku yang merasakan luka itu. Lagipula aku tidak punya teman. Siapa yang akan membantu membalut luka itu? Ah…. Luka itu?! Karenanya, sesaat aku menjelma seorang penyair. Aku mampu meresapi luka itu dengan kalimat yang sederhana tapi dalam untukku.. Luka:

Seperti hujan meninggalkan basah
Seperti api menyisakan bara
Dan seperti itulah luka
Sesaat setelah kau meninggalkanku
(AR, April 2009)

Kalau saja Haris Firdaus, penyair muda itu benar, bahwa ada Ajakan ke Atas, Langit, Surga.* Aku ingin mengikutinya. Karena luka terlalu perih dan menyakitkan. Mungkin dengan mengikuti ajakan, aku terbebas dari luka yang menyakitkan atau bahkan dari burung yang berharap pada sayap kedua untuk terbang ke atas.

Atau bila aku punya pilihan, aku akan memilih tetap tidur dalam cangkang telurku. Biarlah terlelap sampai mati sebelum lahir. Dengannya aku tidak akan melihat sayap itu, atau merasakan perih terluka karenanya. Tapi pilihan itu telah ada, sebelum aku merasa dilahirkan. Sekarang aku terlanjur lahir.

Dan aku adalah burung yang hanya punya satu sayap. Sedang mencari sayap kedua untuk dapat terbang ke atas. Dalam kesepian, bukan dengan kawanan.


*Judul Cerpen Haris Firdaus.
Ris, adakah ajakan itu?



Klaten, 2 Mei 2009
Agus Raharjo.

NOCTURNO: Malam Hari dan Kesepian

Nocturno, kata yang begitu dekat menjadi metafora dalam menggambarkan sebuah titik rendah dalam religiusitas seorang manusia. Dan tentu saja bagi seorang penyair sekalipun. Kata itu menjadi sangat pas ketika sebuah ketidakberdayaan maupun kesepian berada pada derajat paling puncak pada tingkatannya.

Dalam kesederhanaan kata-katanya namun dapat dirasakan pada bagian terdalam dalam hati manusia, Sapardi Djoko Damono menggambarkan Nokturno sebagai sebuah lagu yang bernada sendu. Penyair kelahiran Solo ini melukiskan sebuah kepasrahan dalam puisinya.

Kepasrahan untuk menyerahkan pada sesuatu yang lebih terang dari pada dirinya sendiri. Seolah dalam keadaan yang patah asa dia berkata pada sesuatu, atau bahkan seseorang, kubiarkan cahaya bintang memilikimu. Karena dia yakin, ‘yang lain’ itulah yang dapat memberinya kejelasan dalam terang.

Ketidakberdayaan itu semakin terlihat jelas ketika ‘yang lain’, terlihat terlihat bersifat aktif dalam perebutan akan sesuatu itu. Bukan lagi hanya diam menunggu sang penyair menyerah, tapi telah memaksa pada diri sang penyair. Dangan sesuatu yang sebelumnya tidak diduga oleh penyair sendiri.

Hanya isyarat atau tanda yang dapat tersisa dari yang lain itu. Dan sesuatu dari sang penyair telah hilang dari dirinya. Tanpa dia dapat mencegahnya. Bahkan mungkin tanpa dia dapat mengira sebelumnya. Sebuah laku yang putus asa. Putus asa itulah yang membuat kita membuat laku yang tanpa prediksi. Hanya tindakan yang serampangan, pasrah dan tidak memikirkan hal-hal yang dapat terjadi di belakangnya. Mungkin itulah gambaran sebuah kepasrahan dan ketidakberdayaan. Kalah dari ‘yang lain’, seperti kalimat selanjutnya: Kubiarkan angin yang pucat/ Dan tak habis-habisnya/ gelisah/ Tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu/

Dan nyata sekali bahwa ketidakberdayaan itu mewujud dalam kalimat terakhir, yang secara bijaksana mengisyaratkan asa pada titik paling rendah. Yaitu ketidaktahuan dengan mengajukan pertanyaan yang semestinya dia sendiri yang dapat menjawabnya: Entah kapan kau bisa kutangkap…

Pertanyaan itu diucapkan bukan pada ‘yang hilang’. Justru pada dirinya sendiri. Sikap pesimis telah membuatnya bingung bahkan untuk menjawab pertanyaan yang hanya dia sendiri yang dapat menjawabnya.

Saya, ketika membaca puisi itu, dan dengan mengingat kata-kata Nokturno, membayangkan bahwa yang hilang dari diri sang penyair adalah seseorang. Bisa jadi, yang mempengaruhi saya berpikiran demikian adalah sebuah sinetron remaja yang dulu, sewaktu saya masih SMP pernah mengenalkan saya tentang kata Nokturno untuk pertama kali.

Pada moment yang saya ingat, Nokturno adalah sebuah metafor untuk sebuah kesendirian. Meskipun ketika saya melihat kata itu dalam sebuah kamus, saya mendapati arti sebuah lagu malam hari. Malam hari, bagi saya menjelma menjadi sebuah kesunyian, dan ketakutan akan mengingat sesuatu. Di sanalah kita akan bertemu dengan mimpi-mimpi. Dan disana pulalah kesunyian selalu lekat pada diri kita. Seperti juga gambaran Nocturno-nya Chairil Anwar: Aku menyeru--tapi tidak satu suara/ Membalas, hanya mati di beku udara.

Ada rasa membutuhkan yang sangat besar ketika kita terbangun pada moment-moment malam hari. Dalam kesendirian itu, kita menjadi seorang tak berdaya tanpa ‘yang lain’. Segala semangat juga keinginan, tak beranjak dari tempatnya. Hanya menjadi keinginan dan semangat yang tersimpan dalam diri kita saja. Yang semakin bergejolak dan membuat rasa nyeri dalam jiwa kita. Seolah kita tengah merindukan sesuatu tapi tak pernah sampai juga sesuatu itu pada kita.

Chairil Anwar, penyair yang disebut-sebut pelopor lewat puisi-puisinya, pada bait selanjutnya juga mengurai kedalaman rasa seperti itu dengan kata-katanya: Dalam diriku terbujur keinginan/ Juga tidak bernyawa// Mimpi yang penghabisan minta tenaga,/ Patah kapak, sia-sia berdaya/ Dalam cekikan hatiku

Di dalam benak saya, bercermin dari pandangan religius, ketika ada anggapan bahwa kita akan lebih dekat dengan Yang Esa, ketika kita bermunajat pada sepertiga malam, adalah sesuatu yang sangat benar. Ketika pada malam hati, kesunyian yang teramat sangat menggelayuti, juga kegundahan luar biasa menerpa, pada momentum itulah kita serasa dapat menerima sesuatu lebih lapang. Karena saat-saat itu kita berada dalam sebuah kerinduan yang memuncak. Karena bias jadi apa yang kita rindukan adalah sesuatu yang sifatnya abstrak.

Saya tidak akan heran, ketika ada seseorang yang dalam waktu-waktu seperti itu dapat meneteskan airmata ketika bermunajat. Bahkan, tanpa bermunajat sekalipun kegundahan dan kerinduan itu dapat memberatkan air yang selalu tersimpan dalam mata kita. Dan tanpa kita sadari, mengalir membasahi kedua pipi kita.

Ketika kita berbicara tentang kesepian, mungkin Nocturno adalah yang paling tepat sebagai metafornya. Nocturno yang berbicara tentang malam, juga tentang kesunyian itu sendiri. Bukan hanya Sapardi dan Chairil yang dapat merasakan romantisme malam hari, tapi dalam sisi religius seseorang, kita bahkan perlu untuk menyelami kesunyian itu, agar kita lebih dekat dengan Yang Esa.


29 April 2009
Agus Raharjo