Senin, 29 Juni 2009

Surat Untuk Cinta

Juni,
malam-malam kurindukan kau karenaNya.

Cinta…
Cinta, itulah kata yang akan aku sematkan untukmu. Yang akan kuucapkan setiap kali aku memanggil namamu. Itulah kata serupa curahan yang aku timpakan padamu. Cukup satu kata saja, bagiku telah mewakili semua kelegaan dan beban dalam pikiran dan jiwaku. Itulah kata yang hanya akan aku ucapkan pada satu orang. Bukan orang lain. Bukan ibu dan ayah yang telah mengajariku bahasanya. Bukan teman dan sahabat yang bicara dengan ketulusannya. Bukan saudara yang membisikkan kebijaksanaannya. Juga bukan pada perempuan-perempuan yang aku nihilkan keberadaannya, setelah ada dirimu. Tapi hanya padamu saja aku gerakkan gairah bibirku untuk satu kata itu. Itulah kata sebagai wujud rasa sayangku. Rasa yang akan semakin menderaku sewaktu kata itu telah melekat untukmu. Dan hanya akan kupanggil untuk memanggilmu. Tentu saja disamping namamu sendiri.

Cinta…
Tahukah kau… Betapa berat menjaga nama itu? Dan betapa banyak cobaan yang menantang untuk aku lalui? Namun, sampai saat itu terjadi—sebuah moment indah—akan kujaga itu. Hanya untukmu seorang. Bukan yang lain. Karena aku juga tahu, Adam hanya untuk Hawa. Bukan yang lain. Akan aku jaga sampai benar-benar datang waktunya aku memanggilmu. Jika mungkin dulu aku pernah mengucapkannya, maafkanlah aku, dan anggaplah itu sebuah khilaf dari beratnya cobaan menjagamu. Dan kesalahan itu bukan untuk selamanya. Darinya aku dapat belajar untuk memaknai kedalaman yang ditawarkan kata itu. Setelah itu, hanya kebanggaan jika aku dapat menjadikannya mahkota yang akan menyanjungmu. Mencoba menerbangkanmu dan memberi ruang tanpa batas dalam mengarunginya.

Aku telah ikhtiarkan mengunci mulutku untuk tidak mengatakan itu pada yang lain. Aku tidak akan iri mendengar suara-suara menggelikan darinya yang dibisikkan orang lain dari kedangkalan nafsunya. Aku juga tak akan mendendam pada khilaf yang telah menyeretku pada kepedihan. Juga pada rasa sakit tatkala aku hanyut dalam melihatnya. Aku tak akan merasa iri pada semua itu. Aku tahu kesejatian adalah dari perjuangan. Dan aku selalu berjuang untuk mencapainya. Dengan segala penderitaan datangnya kelak, juga kerinduan yang ditawarkan iblis agar aku tersesat pada nikmat nafsu yang membakar kita berdua. Aku masih ingin melalui semua itu dengan gigih. Dengan tegak nantinya aku ingin meraih kemenangan dari semua tawaran yang menjatuhkanku pada rendahnya sebuah nilai dari kesejatian kehidupan. Karena telah banyak aku melihat bagaimana seseorang yang tak mampu menahan hanya terperosok semakin jauh dalam sisi kelam nafsunya. Aku memang sering melihat mereka tertawa dengan merendahkan kata itu. Tapi juga kulihat mereka tertawa dalam panasnya api yang disiramkan iblis pada tubuh-tubuh mereka. Sesungguhnya aku hanya merasa kasihan pada mereka, namun mereka tak menyadarinya dan justru menjadi sosok-sosok yang bebal dan buta. Ya Cinta… aku pernah melihat mereka semua tertawa dalam bara yang telah menunggu dalam rumah iblis dengan api nerakanya.

Aku tak menginginkan kita menjadi seperti mereka. Masih bisa tertawa senang sekarang, padahal nantinya apa yang mereka tertawakan adalah perbuatan yang akan mereka tangisi karena membawa mereka pada siksa panasnya api abadi. Bukan itu yang aku harapkan, aku juga yakin itulah yang ingin kamu jaga. Aku begitu paham. Sama sepertimu, aku ingin kamu juga menjelma wanita yang melebihi pesona bidadari. Yang “seakan-akan bidadari itu permata yaqut dan marjan.” Aku juga lebih bahagia ketika kau dapat melebihi seorang bidadari. Aku sungguh akan bangga dengan hal itu. Itulah kenikmatan yang hanya dapat dirasakan dalam taman-taman abadi. Aku tidak rela ketika kulitmu nanti terkelupas oleh panasnya api neraka karena apa yang menggoda kita sekarang ini. Meskipun kita juga tidak memungkirinya, bahwa godaan itu sungguh nikmat. Namun kita juga paham, bahwa nikmat itu bukan untuk selamanya. Selama masih kusimpan kata itu. Itu tanda bahwa apa yang kita lakukan adalah nikmat yang sementara belaka. Hingga saat-saat aku telah berikrar, dan kuucapkan kata itu layaknya sebuah lantunan ayat-ayat yang setapak demi setapak memberi jalan menuju taman abadi. Hingga waktu itu belum terjadi, jagalah dirimu dari semua godaan yang membuat kita menjadi rendah dimata Yang Maha Menyayangi.

Cinta… tahukah kau aku sering menitikkan airmata? Ah, bodohnya aku, pasti kau tidak akan tahu. Iya Cinta… dalam kesunyian malam-malamku, kerinduan padamu sungguh begitu besar. Benar-benar menjadi terpaan yang sangat berat untukku. Namun kau tahu? Itu yang selalu memberiku jalan lapang hingga aku senantiasa bermunajat pada Dia Yang Maha Pemurah. Atas kemurahanNya aku masih diberi kesempatan merasakan kerinduan dan cinta. Dan atas kasih sayangNya aku masih diberi jalan untuk dapat bermunajat padaNya. Meskipun kerinduan padamu begitu besar, namun aku sadar karena Allah aku merindukanmu. Karena Allah jua aku merasakan cinta padamu. Aku merasa, Allah telah membuat jalan untuk kita lalui seperti sekarang ini. Entah apa yang akan terjadi nanti, biarlah itu jadi rahasiaNya saja. Kita akan coba menebak dengan ikhtiar kita. Dengan rencana-rencana, dan jerih payah yang kita lakukan, juga doa yang tak alpa kita panjatkan. Darinya, ada tempat terbaik yang menanti kita pada ridho dan barakahNya yang menanti. Biarlah kita titipkan harapan-harapan pada doa yang selalu kita lantunkan ketika kita bergumul dengan ketaatan padaNya.

Nanti… ketika harapan-harapan itu telah mewujud, aku ingin sekali bercerita padamu. Cerita tentang keseharianku, apa yang aku rasakan ketika merindukanmu, tentang ikhtiar yang aku lakukan selama ini, ah…aku akan cerita apa saja padamu. Dan kau adalah sosok yang dengan bijak mendengarkan cerita-ceritaku. Lalu, aku yang akan mendengarkan cerita-cerita tentangmu. Apa saja ingin aku dengar, asal kau yang menceritakannya. Kita akan selalu bercerita ketika kita tengah menikmati ridho dariNya. Dan tak lupa kita akan membuat cerita tentang kehidupan yang senantiasa berjuang untuk apa yang telah kita yakini. Apa yang saat ini masih kita perjuangkan sendiri-sendiri. Kelak, ketika kau mengalami kepenatan atas perjuangan ini, aku yang akan menjadi embun bagi gersangnya kemarau dalam semangatmu. Kau akan menjadi oase bagi Sahara atas jenuh dan lelah yang kualami. Ah…alangkah indah saat-saat seperti itu. Ketika kita berdua dapat saling menguatkan dan saling menopang. Karena yang setengah telah menjadi seutuhnya. Dan kita menjadi pejuang yang sempurna.

Cinta…
Apa yang aku tulis sekarang ini adalah sebuah harapan. Walau masih banyak harapan yang ingin aku tulis, namun aku tak pandai merangkai kata-kata. Aku masih sulit menyusun kata menjadi kalimat sehingga membangun menjadi sebuah paragraph yang indah selayaknya istana Sulaiman. Aku takut ketika kau baca paragraph yang tak indah itu, kau menjadi jenuh. Biarlah harapan-harapan sementara aku titipkan pada Allah saja. Dia akan menyimpannya dalam peluk kasih sayang ketika kulantunkan ayat-ayat doa padaNya. Tapi yakinlah, masih banyak harapan yang tak tertulis dalam bait-bait yang sedikit ini. Dan pahamilah, ada doa dalam ruh ketika aku menulis surat ini padamu. Doa yang terlantun dari laki-laki yang merindukan keberadaanmu. Doa yang terngiang dalam jiwa yang menanti kehadiranmu. Dan doa yang menggelegar dalam semangat untuk menjemputmu. Disanalah aku titipkan segala rasa dan ungkapan. Suatu waktu nanti akan aku endapkan menjadi sebuah kata untuk memanggilmu… Cinta.

Dengan kasih sayang dan kerinduan yang dalam,
Tertanda, AR.



Ya Allah…
Kutitipkan surat ini padaMu. Sampaikan pada sosok yang aku rindukan itu. Dan katakan padanya dengan semua ketulusanku, aku akan mencintainya karenaMu. Aku akan menjaganya untukMu. Aku akan membimbingnya menujuMu. Dan aku akan selalu menemaninya bersamaMu.

Ya Allah…
Katakan juga padanya, akan aku simpan sebuah kata itu hanya untuknya. Cinta. Akan kusematkan kata itu ketika dia telah menjadi pendampingku. Menjadi istriku. Dan katakanlah sebuah pesan untuknya dariku. Bilang padanya untuk bersabar dan selalu menjaga diri. Ikutkanlah ridho dan kasih sayangMu pada kami, Ya Allah. Karena sekarang ini aku belum dapat memanggilnya Cinta.


Solo, 11 Juni 2009
Agus Raharjo