Selasa, 28 Juli 2009

LAWU #2: Sebuah Cerita

Tanggal 17 Juli yang lalu, saya berkesempatan untuk melihat suasana yang berbeda. Lawu. Nama yang tak asing namun begitu jauh dari jangkauan sebelumnya. Dan saat itu, sebenarnya juga tak ada niat untuk melakukan pendakian kesana—perjalanan tepatnya. Karena sebelumnya ada sebuah ajakan untuk “ngecamp” oleh seorang teman. Tapi aneh, kebanyakan “ngecamp” adalah bukan ngecamp. Saya bilang seperti itu karena ketika “ngecamp” kita membawa bekal makanan dari rumah, dan dimasak disana. Kalau saya bilang kenapa tidak sekalian saja pindah rumah?! Dengan “ngecamp” seperti itu, bukankah hanya sebuah acara pndah makan?

Yang saya tahu, “camp” adalah sebuah tempat yang serba terbatas. Mungkin pemikiran ini meresap dalam diri saya ketika membaca cerita sejarah tentang “camp” pengungsian dari orang-orang yang diusir. Saya ingat betul pernah melihat sebuah film yang bagi saya sungguh dramatik. Saya lupa judulnya, tapi saya ingat betul ceritanya. Tentang sebuah keluarga yang hidup di “camp pengungsian” yahudi. Seorang ayah yang ingin menciptakan sebuah suasana rekreasi pada anak laki-lakinya ketika berada dalam sebuah “camp pengungsian”. Ada anggapan bahwa sang anak belum seharusnya menyadari apa yang tengah menimpa mereka sekeluarga. Dalam “camp pengungsian” itu, sang anak dijelaskan bahwa mereka sedang mengikuti sebuah perlombaan untuk mengumpulkan nilai tertinggi agar dapat memiliki sebuah tank. Tugas sang anak cukup sederhana, yaitu jangan sampai tentara Jerman mengetahui keberadaan sang anak. Cukup cerdas juga mengharukan. Bahkan sampai saat sang ayah “dieksekusi”pun sang anah masih percaya bahwa mereka sekeluarga tengah mengikuti perlombaan. Itulah gambaran ngecamp bagi saya.

Untuk ke Lawu, saya sadar tidak akan mendapatkan “kenikmatan” seperti itu. Namun, saya akui ada niat yang berbeda yang bukan berdasar pada keegoisan diri saya pribadi. Justru saya rasa, niat ke Lawu memang bukan lahir dari keinginan pribadi sebelumnya. Namun saya masih sempat meniatkan itu setidaknya untuk menikmati suasana yang berbeda di tengah kejenuhan aktifitas saya. Meskipun saya akui tidak dapat menghilangkan semua beban pikiran yang menggelayut, bahkan ketika pendakian berakhir.

Tapi dengan niat untuk orang lain itulah saya tetap kuat dan mampu bertahan hingga sampai turun dari Lawu. Padahal, beberapa hari sebelumnya saya sendiri sangsi apakah mampu untuk naik—karena beberapa hari sebelumnya saya “terbaring” dirumah. Namun saya telah mengucapkannya—saya anggap itu sebuah janji—dan saya harus menepatinya.

Dengan keberanian melawan dingin, saya beserta 5 orang lainnya akhirnya berhasil juga menikmati indahnya bumi dari sudut pandang lain. Sejenak ada suasana yang menyenangkan, namun juga ada sesuatu yang saya rindukan ketika saya berada diatas gumpalan awan putih. Saya tak mengerti apa itu, namun saya menikmatinya. Saya hanya teringat dengan orang-orang dan tempat-tempat yang saya tinggalkan. Dan suatu saat nanti saya akan meninggalkan mereka dan menuju pada orang dan tempat baru.

Selalu ada yang datang, dan juga pergi. Jika ada pilihan, saya memilih selalu ada yang datang tanpa ada yang pergi. Saya benci kerinduan setelahnya.

Meskipun saya akui, pada tempat dan waktu itu ada rasa senang, namun juga ada kesedihan terselip diantaranya. Di tempat yang terasing, seperti puncak Lawu dan lembah-lembahnya, saya merasa benar-benar kecil tak berarti dibandingkan Yang Meninggikan gunung ini. Ada kedekatan jiwa dan getar yang mengharu ketika saya merasa dipisahkan dengan hal-hal yang saya tinggalkan.

Yang terus terngiang dalam kepala saya, mungkinkah akan seperti ini terus adanya? Siapa yang akan menenangkan segala gejolak ini? Saya membayangkan ketika saya meninggalkan segalanya kelak, saya lebih menikmati ketika sudah tidak ada beban yang tertinggal, dan terpenuhinya semua janji. Aneh. Justru ketika saya ada pada puncak tertinggi, saya sangat merindukan tempat di bawah. Ataukah justru karena memang saya orang yang selalu merasa terasing dari semua?! Semoga tidak.

Saya sempat untuk bermunajat ketika badan saya menantang dingin pada malam terakhir di Lawu. Hari sebelumnya saya memang dikalahkan hawa dingin, hingga tidak dapat tidur. Dan pada munajat itu saya teringat dengan kehidupan zaman Rasul Muhammad di gurun pasir. Padanya siang akan membakar, dan malam akan membekukan. Saya merasa kalah dnegan kehidupan mereka orang-orang terpilih. Saya merasa sangat kecil dan kotor kalau mengeluh kalah dari dingin yang serasa menusuk tulang-tulang.

Dan tibalah ketika kami pulang. Selalu saja ada lagu yang seolah menjadi lagu wajib ketika hendak kembali. Dulu, ketika saya kunjungan ke Kudus, lagu itu juga saya nyanyikan sepanjang perjalanan. Kalau tidak salah judulnya “Tunggu Aku Kembali” dari Naff: Akan kutuangkan rindu/ selepas ku kembali/ kepada kekasih hati// akan kuungkapkan rasa/ petikan bunga-bunga/ yang lama tersimpan/ disaat ku jauh// Tunggu aku kembali/ dimana, ku tau kau selalu setia/ Pasti ku kan kembali/ disana, dimana cintamu menanti//

Dalam hati ketika menyanyikannya, saya akan tetap menyanyikannya ketika suatu saat nanti ada seseorang yang tengah menanti saya di rumah. Tapi itu masih nanti. Bukan sekarang, tapi biarlah itu saya nyanyikan untuk sesuatu yang saya rindukan tapi tak mengerti apa.

Biarkan aku bersenandung lirih/ mengusap gundah/ membasuh perasaan// Lalu taburkan kemesraan/ selayaknya pertama datang/ dan tabir terbuka// Biarkan aku merangkai kata/ menyusun kisah/ menerang hati// Kemudian telusuri baitnya/ selayaknya akan lama perjalanan/ di waktu datang janji/ untuk kemudian hari//

Saya selalu ingat janji yang saya ucapkan. Dan saya ingin menepatinya.

Agus Raharjo
28 Juli 2009

LAWU #1 : Ambisi; Eksistensi; Rekreasi

Ada yang tersurat dalam sebuah pendakian. Perjalanan menyusur bukit dan lembah yang berkelok, seolah tak membuat gentar—justru semakin menantang. Dalam dada pendaki, ada degup luar biasa yang menggejolak ketika mulai melangkahkan kaki untuk pertama kali. Sebuah gairah yang mendebarkan.

Setidaknya, itulah secuil dari perasaan yang menimpa seorang pendaki. Ada saja alasan untuk kembali menikmati keelokan dan tantangan tonggak-tonggak bumi tersebut. Menyerap energi dingin yang ditawarkan kabut-kabut gunung, seraya menyepuh bibir dengan hangatnya kopi. Semua itu terjadi dalam kewarasan logika manusia. Bisa jadi karena ingin menyatu dengan alam, semua kabut yang membawa dingin dihantam dengan seluruh keberanian.

Kabut, bagi sebuah tempat seperti pegunungan adalah hal yang biasa. Disitulah berkumpul jutaan bulir air yang saling memeluk menyusuri lembah-lembah. Dari sanalah lembab menyajikan oksigen yang tipis. Dibalik keanggunannya, ada sebuah misteri yang selalu menyertai keberadaan kabut. Apa yang ada dibalik ribuan bulir-bulir uap air itu? Secara makna, Goenawan Moehammad pernah mempertanyakan arti dari ribuan uap yang menyisir gunung tersebut.

Dalam puisinya yang berjudul “Kabut” GM bertanya tentang arti keberadaan kabut: Siapakah yang tegak di kabut ini./ Atau Tuhan, atau kelam. Dua buah pilihan yang paradoks dalam arti namun tidak bisa dibandingkan. Tuhan, adalah manifestasi dari sebuah ideologi dan keyakinan. Keberadaannya bisa jadi ada namun tidak ada. Karena tidak dapat diwujudkan dalam sebuah material atau digambar dalam alam pikiran. Bisa diterima karena cukup diyakini saja. Tanpa perlu untuk menggugat keberadaan diriNya.

Sedangkan kelam? Adalah sebuah bentuk yang menggambarkan keadaan gelap, sepi, sunyi, dan mencekam. Antara Tuhan dan kelam menjadi sebuah paradoks, karena Tuhan adalah lambang dari pencerahan, sedangkan kelam adalah sebaliknya. Namun, paradoks dari keduanya tidak dapat dibandingkan secara ideologi. Bagi kaum yang meyakini agama tentu saja akan menggugat adanya pembandingan kedua kata tersebut untuk menggambarkan sesuatu. Namun, itulah ekspresi seorang penyair. Dia mampu berimajinasi di luar batas kewajaran manusia yang lain.

Keberadaan kabut dalam sebuah pendakian adalah peringatan untuk pendaki segera mawas diri akan keberadaan dirinya. Yang terjadi ialah, seorang pendaki akan kehilangan dirinya ketika kabut telah menyelimuti gunung dan lembah. Sepi dan terasing, perasaan seperti itu kemudian akan menggelayut.

Gunung beserta kabutnya senantiasa menyimpan cerita-cerita mistis diluar logika manusia. Ada pesan yang akan di ikrarkan oleh para pendaki ketika memulai sebuah pendakian. Dan selama pendakian setidaknya pendaki akan mawas diri pada semua pantangan dari gunung yang tengah ditelusuri. Memang terkesan ganjil dan di luar nalar, tapi itulah misteri sebuah gunung.

Secara logika, keberadaan kabut yang menutupi kawasan gunung saja membuat seorang pendaki kehilangan keberadaan dirinya—tersesat, apalagi ditambah dengan cerita mistis yang menyertainya. Namun, hampir tak akan sepi sebuah gunung dari pendakian. Entahlah, mungkin justru itulah keindahan yang ditawarkan penopang bumi.

Pengalaman juga tantangan membuat pendaki semakin liar menerobos imajinasi hanya untuk melihat terbitnya matahari. Ketika seseorang merasa sangat perlu untuk “muncak” gunung, apa yang sebenarnya dicari? Toh hanya melihat bumi dari sudut pandang berbeda. Namun, memang bukan manusia namanya ketika merasa menginginkan sesuatu agar terpenuhi. Bisa jadi alasannya cukup sederhana, ambisi. Ya…dengan itu, tanpa paham apa yang akan dicari untuk naik gunung, seseorang rela menahan lelah hanya untuk memenuhi gejolak keinginannya. Alasan yang sangat sederhana tapi memalukan. Hanya ambisi. Dengan alasan itu, sebenarnya pendaki tidak melakukan pendakian sebuah gunung, tetapi mendaki batas tertinggi egonya.

Ada cerita berbeda ketika seorang pendaki melihat gagahnya gunung sebagai sebuah tantangan. Perihal yang melatarbelakangi untuk melakukan pendakian. Sebuah eksistensi manusia terhadap alam. Dengan sampainya seorang pendaki “muncak” seolah merasa dirinya telah mengalahkan sebuah gunung dengan jebakan alam yang mengelilinginya. Merasa dirinya tak tersesat dan selamat hingga kepuncak adalah satu nilai tambah untuk menunjukkan eksistensinya pada pendaki lain bahwa dia telah sampai ke puncak paling tinggi.

Suatu ketika dalam sebuah televisi swasta, mengabarkan bahwa tim kru televisi telah berhasil sampai kepuncak sebuah gunung yang “prestisius” bagi seorang pendaki. Bagi saya, hal itu hanyalah tontonan biasa, mengingat bahwa sebenarnya kita memang diciptakan melebihi semua makhluk. Gunung, bagaimanapun begitu adanya. Dengan semua rintangan dan jebakan jurang yang menyempurnakannya. Yang saya tahu, dalam keyakinan saya, bahwa tanpa kita berhasil “muncak”pun, eksistensi kita lebih diakui daripada gunung. Saya ingat dengan sebuah kalimat “Bahkan gunungpun tidak sanggup memikul AMANAH ini” dari seorang yang saya kira orang baik. Jadi tidak perlu menunjukkan eksistensi kita pada orang lain bahwa kita telah berhasil “muncak” kalau masih mengakui eksistensi kita sebagai makhluk paling beruntung.

Yang lebih saya terima terkait pendakian hanyalah sebuah rekreasi. Sebuah jalan untuk menyegarkan pikiran dan jiwa karena kita berhadapan pada suasana yang berbeda daripada sebelum-sebelumnya. Suasana yang mungkin sekali sangat menarik karena saya jarang melihat sebuah alam dengan jurang-jurangnya, dengan udara dinginnya, juga dengan kesunyian yang ditawarkannya. Alasan yang mungkin dipandang remeh karena bobot katanya tapi justru sebuah keluguan. Orang yang jarang melihat gunung pasti suka dengannya, begitu juga orang gunung akan suka berekreasi ke kota. Itulah alasan yang tidak dibuat-buat dan lahir dari kewajaran sifat manusia.

Agus Raharjo
28 Juli 2009

Selasa, 07 Juli 2009

Mengenang teman-teman

Sewaktu saya benar-benar pulang kerumah. Ketika itu saya kembali dapat menyesapi semua kenangan yang tertinggal pada semua tempat yang pernah saya pijaki. Tempat-tempat itu seolah mengingatkan saya pada semua peristiwa yang membuatku hingga seperti sekarang ini. Seakan saya telah lama pergi darinya. Dan perihal ini dapat saya rasakan ketika saya menyambangi sebuah pasar kecil di belakang sekolahku waktu saya memakai seragam merah putih.

Pada paginya hari, saya diberi kesempatan menikmati semua gambaran peristiwa kecilku yang pernah saya alami bersama teman-temanku. Di tempat itu—pasar Kwoso—saya kembali mengingat siapa dan bagaimana teman-temanku dahulu, karena saya ingat, kami sering maen dibelakang sekolah yang dapat langsung menuju pasar tradisional tersebut.

Yang paling pertama saya ingat sewaktu saya menginjakkan kaki di antara deretan lapak-lapak kecil itu adalah, dulu, dibelakang sekolah itu, sering dijadikan ‘arena’ duel teman-temanku. dan saya ingat siapa orang yang paling sering duel di tempat itu. Yang kedua adalah, dulu sekali sebelum saya mengenakan seragam merah putih, saya masih ingat sering maen sendiri di pasar ini karena simbah putri juga jualan makanan tradisional di tempat ini. Selanjutnya, wajah teman-temankulah yang teringat pada memori pikiranku. Saya ingin menulis tentang mereka, setidak-tidaknya dari pandanganku, dan tidak semua dapat saya tulis disini. Inilah orang-orang yang sewaktu kecil menemani hidupku:

Untung Gunarjo
Dialah teman sekaligus sahabat dan saudara bagiku. Sebenarnya dia adalah kakak kelas, namun dia pernah tidak naik kelas sekali. Orangnya memang tidak suka dengan akademis, yang dia suka adalah semua petualangan. Hobinya adalah mancing dan berburu. Orangnya dulu lebih besar dariku, maka saya biasa merasa dilindungi ketika bersamanya. Ketika kita sekolah dasar dulu, dia sudah terlihat sebagaimana sosok laki-laki yang tidak pusing dengan cewek, dan segala tetek bengek kesenangan budaya modern lainnya. Baginya, mancing dan berburu adalah kenikmatan sendiri.

Dengannya juga saya membentuk sebuah tim maen kelereng—dia, saya dan satu orang lagi—yang sering menang ketika maen kelereng bahkan melawan orang-orang dewasa. Setiap melihatnya saya selalu ingat kejadian pada bulan ramadhan yang pernah kita lalui. Karena kita sering bersama, bahkan dalam sholat Tarawihpun pasti selalu bersebelahan. Suatu kali ketika kita sholat Tarawih, ketika Imam selesai membaca Al Fatihah, maka kita berseru mengucap Amiii..nn! kontan dia terpingkal-pingkal hingga kapok bersebelahan denganku lagi. Katanya ketika saya mengucap Amin itu, suara saya unik. Saya juga heran, apanya yang unik??!

Sekarang ini, dia tidak pernah melanjutkan sekolah SMAnya. Kelas dua dia keluar dari SMA. Entahlah, masuk SMP dia banyak menjadi lebih nakal dan bandel, hanya saja saya selalu tahu bahwa meskipun dia nakal, dia nakal secara individu yang tidak merugikan orang lain kecuali orang tuanya yang selalu dibuat repot. Dia bukan tipikal anak nakal yang ekstrovert, tapi laki-laki yang berkarakter individu penyendiri yang introvert dan tidak neko-neko. Hingga sekarang saya masih merasa begitu merindukan petualangan-petualangan dengannya dan sholat bareng yang kita lsayakan sewaktu kecil dulu di rumahnya. Juga keberaniannya. Saya masih ingat dulu waktu SMA kelas 2 (badan saya lebih besar darinya), ketika saya punya masalah dengan anak-anak kampung sebelah di lapangan sepakbola, saat itu saya sendirian yang paling besar yang lain masih SMP, Untung ngajak saya mencari siapa saja anak-anak itu dikampung mereka. Kejadiannya malam-malam, kita berdua menjelajah kampung sebelah mencari orang-orang yang sore tadi membuat gara-gara di lapangan (Untung tidak ikut maen bola), dan kita hanya berdua saja. Saya agak tsayat kalo memang benar-benar bertemu anak-anak kampung sebelah trus jadi apa kami nanti. Tapi dia nyantai saja berjalan dan sambil sesekali bilang bilang jangan tsayat. Dalam pikiran saya, busyet ni anak! Cuma berdua berani ekspansi ke kampung sebelah yang juga banyak anak-anak nakalnya. Beruntung sekali kita tidak bertemu anak kampung sebelah seorangpun, jadi tidak ada pengeroyokan atau perkelahian yang kami alami..Tapi saya salut pada keberaniannya.

Arif Wulantoro
Dalam olahraga, inilah seorang teman yang berbakat dari kecil. Sewaktu saya sangat senang sekali dapat menendang bola di lapangan (karena dalam 1 pertandingan paling banter dulu saya hanya dua kali menendang bola) dia sudah dapat berlari membawa bola dan membuat gol. Dia juga jago badminton, serta tenis meja. Dari sisi olahraga, saya kalah jauh darinya (dulu lho! Sekarang berani diadu deh.Hehehe…tapi terakhir kita maen bola kita jadi partner, juga bersama Untung, dia juga bagus).

Arif adalah tipikal laki-laki penakluk cewek (hehehe…piss Rep), karena di sekolah dasar aja dia dah berani masuk dunia permainan cewek (halah… apaan tuh?!), maksud saya dia dah berani lirik-lirik cewek, padahal kita masih sibuk dengan maen kelereng, mancing, dan maen kesawah atau panjat pohon. Dia juga termasuk laki-laki yang dapat dibilang paling gaul (saya juga bingung ukuran gaul itu apa? Pokoknya itulah!). Dengan Arif saya masih satu SMP, dikota (dia yang ngajak saya masuk SMP 2 Klaten). Dan memang kita akrab setelah itu. di SMPpun dia juga tidak berubah, masih saja berbau masalah cewek. Saya pernah diajak lewat depan rumahnya cewek yang dia suka waktu pulang. Jauhnya minta ampuun…(sebenarnya bukan lewat tapi memutar jalan pulang). Mungkin karena dia punya wajah yang selalu imut ya?! Saya sayai Arif punya paras babyface, biarpun terakhir saya pernah liat dia punya kumis tipis. Giginya aja sejak kecil belum pernah ganti kok. Tapi orangnya berpikiran dewasa dan sportif. Mungkin dialah tipe cowok flamboyan di sekolah dasar yang saya kenal pertama kali.

Sri Mulyono
Mul—begitu saya memanggilnya—adalah seorang tetangga sebelah rumah. Walaupun rumah kita berdekatan, kita baru bener-bener akrab sejak SMA. Dia adalah tipe laki-laki flamboyan kedua—saya tahu waktu SMA. Sewaktu sekolah dasar, dialah orang kedua yang tidak bisa maen bola, setelah saya. Saya masih ingat, ketika salah satu dari kami bisa menendang bola, maka kami akan saling pamer dan gembiranya kayak kejatuhan coklat dari langit. Walaupun dia belum menjadi laki-laki penakluk cewek, tapi sejak sekolah dasar bakatnya sudah terlihat. Dengan wajah yang berkarakter, tidak genteng juga tidak jelek, tapi menarik, cowok ini adalah tipikal cowok yang suka dirumah saja. Game adalah jenis permainan yang dia sukai. Saya kenal dengan permainan seperti itu juga dari dia. Dari jamannya Nitendo, Super Nitendo, sampai Sega, dan sekarang Playstation. Tapi memang kita berdua berbeda, saya tidak begitu suka dengan maen game (kalaupun bisa dibilang suka, pasti juga sepak bola, lainnya tidak), saya lebih suka game yang langsung dengan alam.

Yang masih teringat jelas dengan cowok ini adalah, dia sering ngajak saya ke Mall Matahari Klaten hanya untuk maen ding-dong. Dan hingga sekarangpun dia masih suka maen game (kayaknya sih?!). Juga dia masih saja tidak bisa maen bola (sekarang saya bisa). Mungkin karena dia suka dengan dunia maya dan internet. Hal itu juga bisa jadi yang membuat dia menjadi seorang yang pendiam, tapi diam yang menghanyutkan cewek-cewek. Hehe… piss Mul…

Dwi Anggono
Inilah teman sebangkuku dahulu ketika kita kelas VI SD. Saya masih ingat benar, kita adalah anak-anak yang suka menyanyi. Anak ini dapat saya sebut kekar walaupun orangnya lucu juga. Dahulu, saya pernah berlomba dengannya untuk menciptakan sebuah lagu. Dan kalau tidak salah ingat, hanya beberapa hari kita harus dapat menyanyikan lagu kita masing-masing. Aneh memang, kita masih duduk di kelas VI SD sudah mencoba mengarang lagu.

Pada hari yang telah disepakati, akhirnya kita benar-benar menyanyikan lagu “kita”. Saya kagum ketika dia dapat membuat sebuah lagu yang saya kira memang ciptaannya dia. Tapi akhirnya saya tahu bahwa itu adalah lagunya Katon Bagaskara: setetes embun di daun/ lambang bergulir/ ketika jatuh ketanah/ terserap musnah… Ketika saya tahu bahwa lagu itu bukan ciptaannya saya merasa menang, karena walaupun jelek, saya telah menciptakan lagu saya sendiri. Namun, saya juga tidak menyanyikan lagu jelek saya sendiri, tapi menyanyikan sebuah lagu yang saya hafal sebagai soundtrack film Virtual Fighter yang saya suka. Hingga saya menulis inipun, syaa masih ingat bagaimana lagu yang saya nyanyikan sewaktu SD dahulu. Sorry Dwi, laguku dulu juga lagunya orang lain. Hehehe…

Dengan Dwi saya juga masih ingat pernah membentuk kelompok belajar dengan nama ‘Time’di rumahnya. Seingat saya ada saya, Dwi, Marwanto, Nur Gobog, Heri Kizi (kalo ada yang lain sudah lupa). Agak lucu ketika membicarakan nama ‘time’ untuk menyebut nama itu. Ceritanya namanya sebenarnya bukan itu, namun karena kita ga tahu bahasa inggris, yang niatnya ‘team’ malah menjadi ‘Time’. Dan nama ‘Time’ terlanjur ditulis di tas saya. Setelah tahu bahwa yang dimaksud adalah ‘team’, maka saya mengusulkan untuk tetap memakai nama itu dengan filosofi bahwa waktu menunjuk pada kepentingan kita untuk menggunakan waktu sebaik mungkin untuk belajar. Baguskan alasannya?! Akhirnya nama kelompok itu tetap dengan nama ‘Time’ karena semua sepakat dengan saya. Sebenarnya lucu juga sih, kalau belum terlanjur saya tulis di tas, mungkin saya akan sepakat dengan nama ‘Team’. Hehehe….

Marwanto
Entah sejak kapan saya dekat dengan Marwanto saya tidak begitu ingat. Yang saya ingat, dulu saya pernah main kerumahnya dan diperlihatkan sebuah topeng kayu buatan ayahnya khusus untuknya. Dalam hati saya merasa iri, karena dia begitu disayang oleh ayahnya. Katanya lagi, ketika ayahnya pulang dari kerja di Jakarta, dia pasti dibelikan tas, sepatu yang bagus-bagus. Hal itu membuat saya semakin iri saja dibuatnya. Dalam benak saya, keluarganya yang sederhana adalah sebuah potert keluarga yang saling memberi perhatian dengan tak segan mengucapkan rasa sayangnya. Ibunya saya tahu tidak segan untuk mengingatkan waktu makan telah tiba, hingga mungkin kalau dia sedang tidak dirimah pasti dicari (hanya untuk makan dulu).

Saya ingat dulu, ketika main kerumahnya, saya disuruh memetik mangga sepuasnya. Di depan rumahnya memang ada pohon mangga jenis mangga nanas (katanya). Saya sangat senang sekali melihat kehidupan keluarganya, walaupun saya belum pernah melihat ayahnya yang kerja di Jakarta.

Marwanto adalah anak yang juga jago sepak bola di kelas dulu. Dia orangnya ulet dan pekerja keras. Walaupun secara teknik dan individu dia masih dibawah Arif, tapi dia bukan orang yang mudah menyerah. Dia juga layak menjadi kapten ketika ada di lapangan sepak bola, karena kedewasaannya main bola dan mengatur teman-temannya.

Heri Kizi/ Gembeng
Yang paling dapat saya ingat dari anak ini adalah dia sering menangis. Makanya dia mendapat julukan gembeng. Dia juga salah satu anak yang saya anggap dekat dengan saya. tapi anak ini lucu dan lugu. Seringkali dia menjadi bahan olok-olokan temen-temen. Dan orang yang paling sering dikerjai teman-teman adalah dia. Bisa jadi karena dia memang sering nangis kalau dikerjai makanya temen-temen suka ngerjai dia. Sewaktu temen-temen mengerjai dia, biasanya saya merasa kasihan dengannya, namun ketika dia sudah normal lagi, muncul deh sifat nyebelinnya. Hehehe… walaupun bebitu, saya juga suka bergaul dengan dia.

Yang dapat saya ingat sampai sekarang dnegannya disamping kelompok belajar ‘time’ adalah saya tahu bahwa ibunya adalah seorang pembatik. Ketika itu kelompok ‘time’ dapat jatah belajar di rumahnya dia, maka itu kali pertama saya melihat orang membatik secara langsung. Entahlah, hingga sekarang saya masih suka dengan kain batik. dan suatu saat nanti saya ingin membuat perusahaan batik sendiri. (amin)

Mungkin terlalu banyak ketika saya menceritakan semua teman-teman yang pernah memberi catatan pada kehidupan saya waktu sekolah dasar. Hanya beberapa itu yang dapat saya ceritakan disini. Ketika saya benar-benar merasakan pulang kerumah. Disaat saya mengantar Ibu ke pasar yang letaknya di belakang SD saya. Meskipun sejenak di pasar, saya masih ingat benar bagaimana SD dan teman-teman saya. Semuanya melintas seperti sebuah rekaman yang lama tersimpan dalam kenangan saya.

Untuk semua teman-teman saya, terimakasih karena membentuk saya seperti sekarang ini. Tanpa kalian mungkin saya tidak akan seperti sekarang.

Juli 2009
Agus Raharjo