Selasa, 25 Agustus 2009

Dia Puisi

Mengenang

Ada sesal,
Pada akhir dosa

Namun,
Ada rindu
Yang tergolek setelahnya

(AR, juni 2009)

Meraba Hati

Ketika pertama aku menemukanmu
dalam bingkai yang lugu namun serentak mengundang
rasa malu terbias angkuhnya harapan

Ada kerinduan mendebarkan
lentik jari meraba hati: menyakitkan sekaligus menyenangkan
siapa sangka kau menawarkan tanda dan aku membacanya

Aku rindu kau: tergambar masa lalu, sekarang, dan hari esok

Barangkali akan kau tanya sebuah alasan
yang perlahan mengupas takut dari semua kehilangan
mungkin juga tak dapat kuterangkan dengan bahasa
sebuah kejujuran yang kutepiskan dalam tanda khayal

Aku rindu kau: tertulis kenangan, kisah, dan impian

Setiap jengkal aku merasa kau mengikutiku
Gemulai manja lambaian tanganmu memanggil
dengan bibir yang bergetar kau berbisik:
Aku ada dihatimu, maka kau selalu merindukanku

(AR, Juni 2009)

Perjalanan

Berapa kali kususur jalan ini
tapi tak kutemui dirimu seperti waktu pertama
gerimis mengundangku untuk melihatmu basah airmata

Aku lugu dan kau pilu
Terbenam pada tikungan rahasia sebuah tanda yang mengisyarat luka

Nanti kalau aku menemukanmu lagi
akan kukurung dalam hati pertemuan itu
sama ketika pertama aku melihatmu basah airmata

Kubuat jejak padanya agar aku dapat kembali
menyesapi kenangan yang terbawa dari masa lalu
agar perjalanan ini tak hanya sia

(AR, Juni 2009)

Rumah baru

Bulan Ramadhan ini, akhirnya apa yang pernah terlintas dalam pikiran saya benar-benar terjadi. Saya menjadi terasing dari kehidupan yang biasa saya lakukan. Saya begitu dekat dekat dengan kesunyian, juga dekat dengan semua waktu untuk menata impian. Pada bulan ini, akhirnya saya dapat dekat dengan Sang Khalik. Dulu, ketika saya memikirkan untuk menempati rumah Allah, saya akan mengisi hari-hari luang saya dengan banyak mengetik. Dan darinyalah harapan saya, saya dapat menulis dengan baik.
Disini, tak terdengar lagi celotehan teman-teman, tak ada hiruk pikuk acara televisi, tak ada suara-suara bising tak berguna. Yang ada hanyalah ketenangan, kerinduan, juga harapan-harapan yang kian dekat. Ketenangan, karena memang inilah kehidupan yang terasing. Kerinduan, mungkin adalah bonus dari rasa terasing itu, rasa rindu pada semuanya, seolah saya tak dapat lagi bersama orang-orang dan segala yang saya rindukan. Harapan, adalah wujud dari semua ikhtiar yang masih saya lakukan untuk sesuatu, atau mungkin untuk seseorang. Saya ingin menjadi lebih baik lagi, saya ingin jadi yang terbaik untuk seseorang, saya ingin membuktikan bahwa saya bisa menjadi lebih baik.
Kalau saya pikir, sangat aneh ketika saya berada disini. Mungkin bukan saya saja yang merasa heran ketika saya mengambil keputusan penting itu. Namun, apa yang saya lakukan adalah bukan tanpa pertimbangan. Apa yang saya putuskan telah saya pikirkan, dan akan saya jalani hingga waktunya nanti. Salah satu alasannya adalah saya ingin senantiasa dekat dnegan Allah, karena Dia yang telah menganugerahi saya sebuah rasa yang membuat saya merasa sangat sakit namun juga sangat menyenangkan. Saya ingin membuat rasa itu tetap pada jalur yang semestinya, semoga Allah memberi kesabaran yang tangguh padaku hingga waktunya tiba.
Dan untuk saudaraku sesama penghuni rumah baru ini, terima kasih telah memberiku sedikit penawar keterasingan.

Rumah baru, 25 Agustus 2009
Agus Raharjo

Kata-kata Yang Berkesan Untukku

- Ah kamu tuh… : greatest women
- Kamu tuh ya…. : greatest women
- Hulik-hulik : greatest women
- Maaf… : little sister
- Mas jangan marah,….takut… : little sister
- Saya pikir… : Iswan
- Jadi begini… : Erry Soffan
- Jujur ya… : Surya Eka
- Trus piye akh? : Umar
- Ehmm…lha kowe… : Awin
- Sik-sik…tunggu… : Candra
- Esensinya apa? : Haris Firdaus
- Bagi saya… : Haris Firdaus
- Rangerti!!! : Ali
- Mantanku….(mantan mentri) : My little generation
- Biasa…orang sibuk!!! : My little generation
- Rame donk Gus, kamu kalau diem nyeremin…: Bangun
- Tau ah gelap.. : bidan jutek
- Gi ngap ne? : bidan jutek
- Ho’o to? : Mas Jhon
- Lha cita-citamu apa? : Mas Anto
- Wis lulus rung? : Mas Anto
- Arep bali saiki…??! : Simbok’e
- Kok koyo ngono yo Gus…? : mbak Endang
- Mas Agus baik deh… : Adik2ku cewek
- Yo ojo ngono… : Bagus
- Piye cah? : Bagus
- Kita?! Pak Agus sudah berubah ya…? : Edi
- Sbg akhwt sy sakit hati… : Ayu PA
- Ora bisa! : Mentri keuangan
- Srondengan.. : Akhi Guspur
- Piye bro… : Akhi Guspur
- Jadi begini, Mas… : little brother Gundul

Masih banyak lagi, tapi pada sesi selanjutnya. Insya Allah.

Parade Cinta Pondok Pesantren: Dzikir-Dzikir Cinta, 3 Cinta 3 Doa

Kehidupan di sebuah pondok pesantren tidak berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya—namun lebih terawasi. Nuansa yang ditawarkan adalah seringnya kita mendengar lantunan ayat-ayat Al Qur’an, juga terjaganya sholat secara berjamaah. Namun, sama seperti kehidupan pada umumnya, dalam lingkungan pondokpun cinta tak dapat ditentang keberadaannya. Pada siapapun. Memang bisa jadi yang utama diajarkan adalah cinta pada Allah Yang Esa, namun itu tidak serta merta menghilangkan rasa cinta pada sesama. Ada ikatan persaudaraan yang kuat, ada kepatuhan pada kyai, juga ada rasa rindu yang besar pada orang tua. Bahkan juga ada rasa cinta pada lawan jenis.

Membaca novel “Dzikir-dzikir Cinta”nya Anam Khoirul Anam, kita dibuat melihat dunia pesantren seperti kehidupan pada umumnya seorang remaja. Meskipun memang pada kenyataannya sedikit, bahkan mungkin banyak berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Rusli, seorang pemuda yang “nyantri” di pondoknya Kiyai Mahfud, berniat menimba ilmu sebanyak-banyaknya disana. Namun, seperti kehidupan remaja pada umumnya, dia juga dilanda perasaan cinta pada santriwati bernama Sukma dari Pondok Gus Mu’ali. Meskipun Rusli ingin meniadakan perasaan cinta pada hamba-Nya, karena trauma akan keberadaan cinta itu sendiri.

“Meski aku tak membenci akan adanya cinta, namun cinta telah melukai mataku hingga cinta itu sendiri yang membuatku membencinya”.

Namun, tampaknya penulis menghendaki kisah lain pada cinta keduanya. Rusli dapat menerima keberadaan cinta itu dan akhirnya disatukan, padahal Rusli telah menikahi Fatimah, putri Kiyai Mahfud, sebelumnya karena rasa hormat yang terlampau besar.
Demikian juga dengan Sukma, dia seorang yang pernah merasakan gelapnya tawaran dunia, ketika menyimpan cintanya untuk Rusli, dia dengan kesungguhan hati berusaha memperbaiki diri, dan terus bersabar. Sebuah perjuangan yang begitu mengharukan. Dia menutup dari perasaan cinta pada laki-laki lain, dan hanya untuk Allah semata setelah tahu bahwa Rusli menikahi Fatimah. Namun, ketulusan dan kesabarannya membuahkan hasil, sampai akhirnya penulis membuat tokoh Fatimah meninggal dunia dan akhirnya Sukma dapat bersanding dengan Rusli.

Itulah sekelumit cerita tentang cinta pada kehidupan pondok pesantren. Bahkan di pesantrenpun keberadaan cinta pada sesame hamba tidak dapat dibatasi. Dan justru, menurut saya, dengan sedikit godaan yang ditawarkan kehidupannya, maka cinta yang tertulis pada santri-santriwatinya lebih terasa dalam memaknainya. Sebuah surat cinta dapat membuat pembacanya tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Begitu juga dengan cerita cinta yang dikisahkan dalam film 3 Cinta 3 Doa. Tokohnya, 3 orang pemuda, mempunyai liku cerita yang lain-lain pula. Ada yang begitu dalamnya rasa cinta pada Allah hingga punya cita-cita “Syahid” ketika keluar dari pondok nanti. Ada yang selalu merindukan sosok ibu yang telah menitipkan dia di pondok, dan berusaha mencari keberadaan ibunya. Juga ada yang tidak dapat menerima keberadaan cinta karena sang ibu yang menikah. Namun, semuanya hampir sama, cerita cinta di pondok seperti kehidupan kebanyakan. Ada rasa yang kadang menyakitkan namun menyenangkan, ada rasa ridu yang menggelora, ada usaha untuk mendapatkannya, juga ada doa yang terpanjat padaNya. Karena sejatinya semua cinta bersumber pada yang menciptakannya. Dialah Yang Esa.

****

Melihat kehidupan pondok yang penuh dengan cerita cinta, saya sangat miris ketika pondok terkotori oleh anggapan buruk tentang teroris. Meskipun saya bukan orang pondok, namun saya sangat geram pada pendapat yang menyudutkan sebuah pondok.
Ada sebuah benang merah yang dapat saya lihat dari semua kejadian terkait dengan pondok. Dulu, ketika Belanda masih berkuaa di bumi pertiwi, peran pondok pesantren tidak dapat diremehkan begitu saja. Dari orang-orang pondok jugalah yang ikut andil dalam merebut kemerdekaan, namun sekarang pondok pesantren khususnya dan Islam umumnya seperti disudutkan. Ada pertanyaan besar dalam diri saya. Mengapa??

Kalau boleh berimajinasi, dalam pikiran saya Indonesia tidak akan dapat dikuasai sebelum umat islam luntur keislamannya. Siapa yang ingin menguasai? Entahlah, kita seperti melihat seekor gajah yang masuk ke mata kita. Yang terlihat cuma sebagian kulitnya. Kita tak pernah tahu bahwa itu adalah seekor gajah.

25 Agustus 2009
Agus Raharjo