Minggu, 25 Oktober 2009

Perpisahan

Ada saja yang tak pernah selesai diucap. Cerita-cerita yang kau minta. Seperti tadi malam, saat kita terjaga di sebuah ambang duka. Mendekat pada pintu perpisahan. Ditemani langit-langit hitam mengundang gerimis. Selayak perpisahan itu sendiri. Perpisahan.
Aku ragu. Entah itu nyata, atau hanya isyarat saja. Atau justru begitulah adanya.
Kau berlalu,
Kita mengingat malam yang sama. Mengisahkan cerita, mungkinkah yang kau minta? Atau hanya inginku saja.
Ada duka yang sama, ada rasa serupa. Malam-malam yang sama. Malam-malam menyambut pagi. Seingatanku juga.
Cerita-cerita yang kau minta. Aku harap bukan cerita perpisahan kita. Bukan kisah tentang malam terakhir. Perpisahan. Duka.
Aku ingin bercerita. Tentang kisah selanjutnya. Tentang impian, dan keteduhan mengawali tidur kita. Membuka jendela mimpi hinggap tak ada batasnya. Untuk mengulang malam-malam yang serupa.
Serupa dulu pernah kita rasa. Di dalam gua, diatas gunung, menerkam dingin, kemudian meluncur pagi. Dan kaulah cerita. Akulah cerita. Meski bukan cerita yang selalu sama. Kitalah ceritanya.

Ada yang tak sempurna diungkap. Ungkapan menerang. Di dalam gua, di puncak gunung, mengalir bersama dingin, di guratan malam, kemudian meluncur pagi.
Ungkapan selayak janji,
Ibarat cinta adalah cinta mati. Bukan dari seseorang yang biasa. Juga bukan pada seseorang yang biasa. Seseorang itu, sosok yang tak akan ada padanannya. Pada keduanya adalah setengah yang melengkapi. Padanya adalah ungkapan untuk meretas keyakinan. Menjawab keraguan.
Dengan ungkapan, muncullah kepercayaan, lalu berubah keyakinan, kemudian ada tindakan. Laku hidup yang seharusnya diteruskan. Meski ada rentang pada ruang, ada jeda untuk waktu. Semua tak merubah.

Ada yang lengkap dari perpisahan. Merasa kehilangan, sejujurnya. Ada rentang pada ruang, ada jeda untuk waktu. Meski tak merubah perasaan. Atau justru membuatnya semakin utuh. Seperti pagi ketika kita ada di ambangnya. Detik-detik yang mungkin diingat dan dirindukan.
Tawa anak kecil membuat suasana semakin melankoli perpisahan. Lugu yang ditunggu, lucu yang sederhana. Perpisahan. Perpisahan. Perpisahan.
Sampai kapan tak ada pertemuan? Sampai kapan rasa ini tertahan? Dan sampai kapan rindu ini hanya tersimpan?
Hanya tulisan-tulisan. Dia mampu menyelesaikan ucapan. Dia sanggup menyempurnakan ungkapan. Pada rentang ruang, pada jeda waktu. Dia menisbikan perpisahan.

Kalaupun hanya tulisan. Ada ucapan selamat tinggal, ada harapan secepatnya bertemu kembali. Ada doa di setiap gerak bibirnya. Ada air mata untuk mengingatnya. Itulah ucapan-ucapan cerita tentang kita.
Meskipun sekadar ungkapan. Ada jawaban-jawaban.
Semakin tinggi, akan terasa semakin sakit jatuhnya. Maka aku tak akan membiarkanmu terjatuh. Jikapun kau terjatuh, akupun akan jatuh. Sakitku adalah lebih dari sakitmu.
Tapi bukankah kita menuju atas? Dan ingatlah bahwa kita adalah sayap yang belum sempurna. Tak harus merisaukan rasanya terjatuh. Karena ketika telah lengkap, maka kita dapat tenang menuju ke atas. Ke langit. Ke Surga barangkali.
Aku ingin sayap yang sempurna. Aku ingin melengkapinya dengan impian-impian nyata. Aku ingin bercerita tentang segalanya. Aku ingin mengungkap semua rasa. Aku ingin tak ada perpisahan.
Ada doa untuknya. Juga ada air mata merindukannya. Karena tak akan ada malam yang sama setiap harinya.

Klaten, 25-26 Oktober 2009
Agus Raharjo

Sabtu, 17 Oktober 2009

Sebuah Catatan Pribadi

Dari sekian hari yang tertempuh, ada saat kita merindukan kembalinya sang waktu. Saat itulah kenangan ingin kita ulang. Namun, apa yang bisa kita perbuat untuk mengulangnya. Tak ada. Yang tersisa adalah ingatan kita sendiri tentang kenangan itu. Dan jalan paling akrab untuk kembali pada kenangan adalah mengingat kembali setiap detail peristiwa itu. Hanya itu.
Pada suatu saat, terkadang saya juga sangat ingin mengakrabi kenangan yang telah saya tinggalkan. Ada moment-moment dari suatu peristiwa yang ingin kuulangi. Setidaknya sekali lagi. Tapi tak mungkin. Waktu tak pernah dapat kembali.
Namun, pada suatu saat, sejenak aku tak ingin mengulang kenangan, cukup tersimpan saja dalam ingatan saya. Tentang sesuatu, atau mungkin seseorang. Dia begitu membuat saya merasa ‘sakit’. Kadangkalanya kesedihan harus ditumpahkan. Kadangkala perpisahan tak diinginkan. Dan terkadang saya begitu dalam mengingatnya.
Tulisan ini adalah untuknya. Sesuatu itu telah ada pada suatu hari. Dan setelahnya, semakin hari seperti sebuah pohon yang terus mengakar. Semakin hari semakin kuat. Dan semakin lama juga meneduhkan. Ada bunga-bunga yang mewarnainya. Juga ada batang yang kadang menopang, ada ranting yang juga patah. Namun, semua tetap berdiri.itulah yang membentuknya.
Sesuatu itu, padanya kuikatkan sebuah kekang padaku. Aku telah rela mengikat diri untuknya. Dengan niatan, dengan ucapan, dan nanti pasti tindakan. Suatu hari nanti.
Dia, yang membuat sesuatu itu. Padanya hanya pujian. Untuknya mengalir persembahan, dan baginya terlahir kesempurnaan.
Terasa aneh, bahkan untuk waktu yang lama. Tak kudapati redup, terlebih padam. Yang ada selalu saja mengembang. Dulu, awalnya adalah perbedaan. Tapi siapa mengira padanya adalah persamaan semata. Siapa sangka jalan kita sama. Lalu mengapa kita tak bersama-sama?
Aku pernah mendaki puncak tertinggi inginmu. Lalu kau tabur telingaku dengan ayat-ayat sucimu. Begitu dalam dan menggetarkan. Kemudian aku bangun pada sepertiga malam. Dengannya aku dapat mengingatmu. Atau entah aku mengingatmu lalu mengingatNya. Yang kutahu selalu saja Dia dan dirimu bersama-sama. Berkelebatan dalam renunganku. Setiap saat.
Lalu peristiwa di pagi hari itu. Tatkala kau bertanya padaku tentang sebuah impian. Lalu kuterjemahkan dalam bahasa bijaksana. Dan kau menerimanya seperti permintaan. Tapi memang permintaan. Kau telah meneduhku dalam impianku sendiri. Kau terima, mungkin dengan senang hati. Atau aku yang terlalu memikirkan. Aku yang merencanakan? Lalu kau masuk dalam bagiannya, sebagai peranmu.
Namun, tak ada yang lebih indah dari pagi itu. Adalah “Semoga niatnya segera terwujud menjadi tindakan.” Lalu “kita berjuang dan berdoa sama-sama.”
Adakah yang kuinginkan sekarang? Aku ragu. Tak ada yang kuharapkan mungkin. Hanya tentang sesuatu itu segera menemui kebenarannya. Lalu kita berjuang bersama-sama. Ada doa yang terlantun untuknya, dari seorang ibu yang menekuri ayat-ayat suci. Di rumah suci. Seorang ibu yang memanggilku dnegan sebutan yang aneh. Tapi tak mengapa. Toh itu hanya sebutan untukku. Yang terpenting adalah harapan juga doanya. Sungguh naïf jika aku tak mengamini.
Catatan ini, adalah tanda pengingatku. Juga sebuah persembahan tak sempurna. Karena padanya belum lagi terlaksana tindakan nyata. Masih sebatas usaha…usaha…usaha…dan doa.

Sukoharjo, 17 Oktober 2009 (00.15)
Agus Raharjo

14 Oktober 2009

Perahu telah menemukan labuhannya
Dalam badai kabut
Menyamarkan jejak yang tertinggal untukku

Sepi yang terlalu perih
Tak rela
Terbaca jawaban
Dari penantianku

Aku telah menemukanmu
Bukan dalam tanda khayal
Tapi pada kata
Terangkai di bibir jemarimu

14 Oktober 2009,
Ada hati
Tak lagi sepi
Ada senyum
Menawar duka
Ada percaya
Membagi asa
Ada persembahan
Aku untukmu

(AR, 16 Oktober 2009)

Ramadhan dan Lebaran: Ibadah, Kultur, atau Rutinitas

Lebaran memang baru saja kita tinggalkan. Tapi pengalaman yang menyertainya bisa jadi tak akan begitu mudah kita lupakan. Meskipun itu adalah pengalaman yang sangat mungkin hanya monoton mengulang Lebaran tahun-tahun yang lalu. Atau bahkan dengan mengulangnya dari tahun ke tahun menjadikannya sebuah ingatan yang mengakar dalam memori kita.
Ketika peristiwa-peristiwa monoton saat Lebaran kita jumpai setiap tahunnya. Sadar atau tidak ada yang justru kita lupakan ketika kita terbangun pada hari itu. Itu adalah dosa-dosa yang pernah kita lakukan sebelum kita merasa dilahirkan kembali menjadi suci. Ya…selama satu bulan kita dipaksa untuk ikut dalam suasana yang islami. Bagi sebagian orang mungkin menjadi sebuah formalitas dari kultur yang terjadi selama kurang lebih tiga puluh hari. Tapi masih tetap ada yang benar-benar memaknai bulan suci itu.
Satu bulan penuh kita menerima ‘pelajaran’ bahwa kita harus benar-benar memfokuskan diri untuk beribadah…beribadah…dan beribadah. Tak lain dan tak bukan karena Ramadhan adalah bulan yang banyak sekali terdapat kemuliaannya. Kita ‘dipaksa’ untuk melupakan kehidupan duniawi. Dan pada akhirnya, kita dijanjikan mendapatkan ‘kelahiran kembali’ sebagai manusia yang suci. Kita kembali ‘fitri’. Moment itulah yang membuat sebagian orang merasa sangat senang dengan kehadiran Lebaran.
Namun, tidak semua orang bahagia ketika Lebaran telah tiba. Ada yang justru sangat bersedih ketika dia ditinggalkan oleh bulan Ramadhan. Yaitu orang-orang yang sesungguhnya mengerti arti mendekatkan diri dengan Sang Khalik. Jika bisa meminta, mungkin orang seperti itu akan meminta bulan yang lain menjadi bulan Ramadhan.
Terlepas dari Ramadhan, Lebaran membawa pengertian baru tentang kelahiran kembali. Kita merasa suci layaknya bayi yang baru saja lahir. Tak ada dosa yang menempel pada kita. Pengertian semacam itu, menurut saya adalah pengertian yang sombong. Misalnya saja setiap tahun kita merasa menjadi orang yang suci lagi, berarti setiap tahun bisa jadi kesombongan kita juga semakin bertambah. Ataukah kita merasa tidak mempunyai dosa seumur hidup? Mustahil! Sedangkan kita tidak dapat memastikan apakah puasa kita selama bulan Ramadhan diterima oleh Sang Khalik, meskipun kita juga telah menunaikan zakat.
Pikiran yang naïf ketika kita merasa menjadi orang yang suci tanpa dosa. Di sisi lain, makna suci bagi saya juga sungguh sangat berbahaya terlalu digembar-gemborkan. Bisa jadi, pikiran yang terbentuk akan membawa kita pada pengertian bahwa kita punya sebuah ‘tiket’ penebusan dosa ketika kita telah melewati Ramadhan. Dan akhirnya dosa yang pernah kita lakukan sebelum-sebelumnya senantiasa dengan ringannya kita ulang…ulang…dan ulang terus menerus.
Sedikit berbeda ketika kita menilik kembali kondisi zaman ketika Martin Luther membangkang dari doktrin-doktrin gereja. Saat itu, gereja dapat mengeluarkan sebuah ‘surat sakti’ yang menyatakan orang tersebut terbebas dari dosa-dosanya dengan membayar sejumlah uang. Ibaratnya, dengan surat penebusan dosa tersebut itu, pemegangnya menjadi manusia suci. Jika saja semua orang mempunyai uang untuk membeli ‘surat sakti’, maka di dunia ini tak ada orang yang berdosa menurut anggapan mereka.
Kondisi itukah yang akan terjadi pada Islam? Dengan merasa terlahir kembali menjadi suci, apakah tidak ada orang islam yang tak berdosa? Meskipun hanya sehari saja, saat Lebaran. Saya kira tidak semudah itu.
Pengertian inilah yang akan dengan mudahnya membuat kita melupakan dosa-dosa yang pernah kita lakukan sebelumnya. Dengan memaknai seperti itu, kita akan menyandang gelar manusia yang tak pernah belajar. Belajar itu bukan sekadar untuk mengetahui, tapi bagaimana menerapkan apa yang sudah kita ketahui. Saya kira bulan Ramadhan juga mempunyai tujuan mulia itu. Bukan hanya sebuah kebangkitan kultur Islam selama satu bulan lamanya. Walaupun tak bisa dipungkiri, memang kultur Islam begitu mencolok saat bulan ramadhan.

Solo, 6 Oktober 2009
Agus Raharjo

Minggu, 04 Oktober 2009

Sebuah Tulisan Untuk Nama

Hujanmimpi; ibarat hujan, mimpi terlalu dalam untuk diresapi. Adalah sebuah nama, atau sebutan atau petanda dari sebuah perenungan. Tidak ada maksud menempelkan bahasa yang muluk-muluk. Yang ada adalah sebuah harapan. Harapan agar mimpi-mimpi lebih dapat ditafsirkan, juga dinikmati. Terutama dibaca.
Mimpi, mungkin bagi Sigmund Freud adalah salah satu bentuk pengungkapan dari hal-hal yang tersimpan di dalam alam bawah sadar kita. Dan menyepakati pendapatnya tersebut, hujanmimpi lahir untuk membahasakan mimpi-mimpi penulis. Tentang apa saja. Karena bagi penulis, menulis itu tentang sesuatu yang diketahui. Ketika sesuatu tidak pernah terlintas dalam pikiran, mustahil ada tulisan tentang hal serupa.
Apa-apa yang tertulis dalam hujanmimpi adalah media menerjemahkan pengetahuan penulis yang masih sedikit ini, juga dengan bahasa yang masih dalam taraf belajar. Karena seperti yang dikatakan Joni Ariadinata, menulis itu butuh proses, semakin kita sering menulis, tulisan kita akan semakin bagus. Semangat itulah yang selama ini penulis coba pegang. Meskipun masih dalam taraf belajar, setidaknya penulis berani menerjemahkan impian pribadi menjadi seorang penulis sesungguhnya.
Mengapa hujan? Bukan sesuatu yang lain untuk menggambarkan betapa tak terhingganya mimpi-mimpi itu? Bukan pasir yang mustahil kita hitung, atau rambut yang juga mempunyai keadaan yang sama? Cukup sederhana saja, karena pribadi yang menyukai hujan. Itu saja. Kenapa suka hujan? Juga cukup sederhana, karena ada pengalaman yang membuat hujan mempunyai tempat tersendiri dalam pikiran penulis. Juga perasaan yang menyertai ketika hujan turun yang dialami oleh penulis mengingatkan pada sesuatu yang menjadi impian.
Namun, ada yang mengganjal ketika pertama kali hujanmimpi lahir. Penulis resah dengan pikiran penulis sendiri bahwa hujanmimpi akan dikatakan mengekor dengan yang lain. Tak lain dan tak bukan adalah rumahmimpi. Awalnya penulis tidak terlalu memikirkan hal itu, namun lama kelamaan justru pikiran-pikiran seperti itu seperti mengetuk-ketuk minta tempat pada penulis. Tapi tidak sama sekali. Hujanmimpi murni sebuah nama yang tidak serta merta hanya ikut-ikutan ataupun numpang tenar. Hujanmimpi benar-benar lahir dari penerjemahan tentang gambaran perenungan penulis. Dapat dikatakan, hujanmimpi adalah penggambaran penulis. Tentang sebuah mimpi, harapan, juga perenungan-perenungan.
Meskipun memang, penulis merasa kenal dengan rumahmimpi dan banyak belajar darinya. Namun, lahirnya hujanmimpi terlepas dari rumahmimpi. Tulisan ini lahir karena saat ini penulis semakin gelisah dengan pikiran-pikiran yang mengganggu bahwa hujanmimpi lahir untuk mengekor rumahmimpi. Walaupun juga hujanmimpi tak akan sanggup meskipun hanya mengekor saja. Tulisan ini adalah sebagai bentuk ungkapan sekaligus pertanyaan apakah yang harus penulis lakukan pada hujanmimpi?

Klaten, 3 Oktober 2009
Agus Raharjo