Rabu, 25 November 2009

Surat Untuk Cinta #2

Night at November Rain

Cinta…
Apakah kau merindukanku? Atau hanya aku saja yang merasakan kerinduan ini. Betapa besar dan berat rasa ini harus kutanggung. Aku tidak mengerti, tentang kisah yang coba kita pahat dalam hidup ini. Begitu besarnya cinta, namun begitu sempitnya ruang dan waktu. Namun aku lebih senang ketika apa yang kita alami ini dengan menyebutnya liku asmara. Meski ada jarak pada ruang juga ada jeda untuk waktu,namun tidak memberi pengaruh padaku. Justru rasa itu semakin besar.

Aku lupa menceritakannya, apakah kau masih merindukan hujan? Kau tahu, kerinduanmu telah mengirim hujan padaku. Setiap malam, ketika rasa rindu ini begitu dalam, lalu seolah rasa rindu kita bertemu dan menari dalam hujan.

Aku pernah menulis puisi, ketika cinta memberi tanda awal perpisahan kita. Apakah kau juga membacanya? Jika nanti kau merindukan aku/ Kutitipkan kenangan pada wajah hujan/ Karena aku tahu, hujan mengingatkanmu padaku// Jika nanti kau tak kuasa menahan tangis/ Kuikutkan airmatamu pada derai hujan/ Disanalah kerinduan kita bertemu// Jika nanti kau merasa jauh dariku/ Mendekatlah pada belai hujan/ Dengannya, kutarik kau menari bersamaku// Jika nanti kau lelah menungguku/ Bicaralah pada hujan/ Darinya, kutahu aku harus datang/ Dan kebahagiaan/ Menjelma rintik gerimis di wajahku//

Semoga kau suka. Secara pribadi ada begitu banyak tanda dalam wajah hujan. Dia seolah mengerti tentang perasaan ini. Dengan begitu lambat dia mengajakku menikmati setiap bulir rasa yang mengalir deras. Ada kesejukan yang ditawarkan padaku dengan mengingatmu. Namun, tak dapat kupungkiri ada semacam sesak yang menekan. Hatiku koyak, jiwaku melayang bersama bau tanah basah. Tetapi, itu menjadi sebuah candu bagiku. Karena hujanlah yang membuatku merindukanku semakin dalam.

Dengannya, aku merasa berterima kasih, membuatku menemukanmu meskipun dari sebuah elegi. Simpul-simpul peristiwa yang diatur dengan sempurna hingga mempertemukan kita pada taman takdir. Hujanlah yang membuatku meletakkanmu pada tempat terdalam, karena Hujan memberiku nama/ Ketika dia datang/ Dan kau memanggilku// Hujan memberiku kesempatan/ Ketika dia jatuh/ Dan kau membutuhkanku//

Cinta…
Sungguh terasa ganjil bukan? Bukan bunga, bukan coklat, atau bukan rayuan mesra yang membuat kita saling merindui. Tapi hujan. Dia memang berkah, dia memang media bagi rasa yang telah tumbuh dalam hati kita. Maka sampaikan rindu ini padanya, dan titipkan ikhtiar ini padaNya. Bukankah kita sudah menasehati diri kita sendiri dengan itu.
Cinta, apa kau masih akan mencintaiku, dengan ketulusan yang tak bimbang? Kita simpan rasa ini sama-sama. Bukan lagi kutanggung sendiri perasaan ini. Karena aku yakin, kau juga memberi ruang di hidupmu untukku, kelak. Aku masih seperti dulu, ketika kau pertama mengenalku. Aku masih sama seperti apa yang telah kau gambar dalam pikiranmu. Kita mungkin akan sama-sama payah, bisa jadi kita akan lelah, namun bukankah itu sebuah perjuangan? Dan yang kutahu, perjuangan itu tak pernah mementingkan hasil. Kita hanya mampu untuk merasainya, dan anggaplah ini sebuah tantangan.

Perjuangan kita adalah perjuangan yang mungkin sangat berat. Juga melelahkan. Tapi aku yakin, dirimu lebih kuat daripada aku. Bukan lagi membuatku payah, namun juga menyakitkanku. Tapi bukankah sekarang lebih baik dari hari kemarin? Aku telah punya pegangan yang lebih kuat dari sebelumnya. Aku telah seutuhnya berpegang pada rasa yang telah hadir pada hati kita.

Perpisahan ini, bukanlah untuk selamanya. Akan ada kerinduan yang begitu besar setelahnya. Di hari itu, kita tumpahkan semua pada bingkai hidup yang menemani berikutnya.

Jangan merasa ada noda. Atau dosa dari yang pernah kita lewati. Bukankah itu sebuah pengingatan. Pengingatan untuk kita yang pernah lupa. Juga alpa. Atau sekadar awal dari sebuah perbaikan terhadap diri. Ah, aku terlalu tidak sanggup untuk melihatmu menangis karenanya. Jangan menangis…jangan menangis…jangan menangis. Aku merasa lebih tersiksa dengannya. Aku ingin melihatmu bahagia, bukannya sebaliknya.

Jangan menangis…dosa bukan untuk ditangisi. Dia butuh perbaikan. Dia butuh kebenaran. Agar dia merasa utuh sebagai sebuah dosa.

Cinta…
Jika kau menangis, apa yang dapat kuberikan agar kau kembali tersenyum? Aku tahu kau tidak akan meminta permen seperti anak-anak. Jikapun kau seperti itu, aku akan rela memberikannya untukmu. Tapi kumohon, jangan menangis lagi. Kesedihanmu menjadi berlipat untukku. Kau ingat? Dulu aku pernah bicara padamu, ketika pertama aku menerangkan sebuah hakikat hidupku. “Aku lebih bisa menahan diriku tersakiti, daripada melihat ‘orang dekatku’ tersakiti dan menangis.” Maka jadikan semua ini sebuah babak baru. Jadikan ini fragmen yang akan berlanjut untuk mendaki tahap berikutnya.

Kau tahu, ketika kau menangis, aku seolah linglung. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Senantiasa dirimu hadir dalam pikiranku. Karena aku tidak dapat menghiburmu. Jika kau ingin menangis, bukan sekarang waktunya. Aku tidak bisa memelukmu untuk menenangkanmu. Simpanlah semua itu untuk nanti. Aku akan selalu menjadi penghiburmu. Menyandarkanmu pada bait tawa ketika kau sakit, meneduhkanmu di bawah rindang malam saat kau terlalu penat, dan mencairkan harimu dengan cerita-cerita. Maka janganlah menangis sekarang. Aku tidak akan tahu apa yang dapat kulakukan untukmu. Karena kita terpenjara.

Cinta… sekarang inipun aku bingung. Apa yang aku tuis ini sebuah kebimbangan, atau keresahan yag linglung. Tak tahu arah mana yang kutuju pada kalimat-kalimatnya. Ah, betapa aku merasa menjadi manusia paling ganjil dengan semua ini. Mungkin aku memang aneh, tak seperti yang kau kenal kebanyakan. Tapi inilah aku, dan aku bangga menjadi diriku.

Cinta… jagalah baik-baik dirimu, dan akan kujaga dengan baik diriku. Karena sampai saat ini kita belum mampu sepenuhnya saling menjaga. Kita adalah setengah yang belum menjadi satu. Kita belum menjadi utuh bagi sebagian yang lain. Biarkan hati kita merasakannya, tapi jangan biarkan yang lain mengikuti. Karena mungkin ini sebuah dosa. Dosa yang nikmat, dosa yang melenakan, dosa kedewasaan.

Ah, begitu mudahnya cinta, begitu beratnya rindu, dan begitu nikmatnya dosa. Pada nada diam perpisahan kita. Pada ruang dan waktu yang tak sama.

Selalu yang ingin ada untukmu,
(AR)