Minggu, 20 Desember 2009

Mahasiswa dan Demonstrasi

Beberapa waktu lalu ada sebuah catatan yang sengaja ditempel di dinding Facebook saya. Isinya terkait dengan eksistensi mahasiswa—kurang lebih—dan aksi yang dilakukannya beberapa waktu lalu hingga peristiwa anarkisme terjadi. Membaca note tersebut, dalam hati ada sedikit pembenaran, bahwa memang aksi demontrasi mahasiswa sekarang ini memang bukan jalan terbaik untuk melakukan perubahan. Mungkin saja cara itu dianggap kuno oleh sebagian orang, dan terlebih lagi pada kenyataannya demontrasi adalah ‘angin lalu’ bagi pemerintah. Entah kenapa hal itu juga masih saja mendapat sorotan dari media. Karena tidak menjadi hal yang ‘wah’ lagi sebuah demonstrasi.

Pelik memang, atau telah ada dalam kebuntuan gerakan, hingga aksi sudah tak berarti lagi. Melihat atau mungkin mengikuti demonstrasi, memaksa saya untuk mengenang ‘aksi-massa’ yang dulu pernah menjadi sebuah senjata yang begitu diperhitungkan dan ditakuti. Tan Malaka, tokoh yang bagi saya menjadi korban ‘pengkhianatan’ dari kekuasaan, telah membuat ketar-ketir pemerintah dengan ideologi dan gerakannya untuk menegakkan kemerdekaan seratus persen Indonesia.

“Aksi-massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka.” Begitu Tan Malaka menerangkan aksi-massa.

Bisa jadi aksi-aksi yang dilakukan oleh berbagai mahasiswa belakangan ini hanyalah sebuah ‘tindakan berani seorang pahlawan’, atau malah keputusasaan dalam kungkungan status sebagai seorang mahasiswa. Bisa jadi kita lupa, banyak hal yang dapat dilakukan seorang mahasiswa melebihi sebuah aksi demonstrasi. Dalam hal ini saya sepakat dengan isi note dan beberapa komentar yang ditempel di dinding FB saya. Saya sangat sepakat ketika mahasiswa seharusnya terlepas dari kungkungan status seorang mahasiswa yang menampakkan diri dengan demonstrasinya. Dan saya sangat yakin aksi-aksi yang dilakukan tidak mempunyai pengaruh apapun selain diliput oleh media massa.

Tapi terlepas dari itu semua, ada komentar yang menggelitik saya ketika ada yang berkomentar bahwa “mahasiswa yang seperti itu—anarkis—adalah seorang bajingan”. Betapa bodohnya yang berkomentar, atau mungkin dia bukan mahasiswa?! Entahlah, yang jelas sebagai mahasiswa yang seharusnya mempunyai pandangan lebih dalam menyikapi masalah, dia terburu-buru menjatuhkan vonis. Bukankah sebagai mahasiswa kita tidak diajarkan untuk berpandangan sesempit itu?! Perihal anarkisme, itu memang salah dari konteks perilaku sosialnya. Akan tetapi, perlu kita melihat dari sisi lainnya juga. Saya pribadi melihat anarkisme yang dilakukan oleh mahasiswa beberapa waktu yang lalu bisa dimaklumi. Saya tegaskan, bisa dimaklumi, bukan berarti saya sepakat dengan tindakan tersebut. Ketika melihat berita di media massa, terlihat bahwa mahasiswa merusak salah satu rumah makan cepat saji dengan label merk terkenal dan mungkin prestisius bagi sebagian orang.

Terlepas dari akibat tindakannya, bukankah tindakan tersebut dapat diterjemahkan dalam konteks nasionalisme? Atau memang saya yang tidak tahu bahwa merk itu milik anak bangsa? Saya pikir, mungkin memang sudah saatnya kita tanamkan nasionalisme sedalam-dalamnya, dan tegakkan itu dalam setiap perilaku kita—bukan anarkismenya. Lagipula, ketika demonstrasi yang tertib dan sopan tak ada pengaruhnya bagi pembuat keputusan, lalu dengan demonstrasi yang seperti apa yang membuat aksi itu ‘diperhatikan’ oleh pembuat keputusan?!

Masalahnya kita tidak punya pemahaman dalam perilaku boikot. Hanya menjadi sekadar kampanye saja. Padahal, kita telah lama belajar bagaimana kekuatan ‘boikot’ bagi korban-korbannya. Dan kita telah melihat betapa ampuhnya hal itu dalam langkah perjuangan kita.

Juga ada sebuah diskusi yang ada dalam note tersebut. Ketika saya menanyakan perihal apa yang telah dilakukannya untuk perubahan, saya pancing dengan sebuah pertanyaan “Lalu apa yang telah Anda lakukan? Jangan-jangan Anda hanya menonton televisi dan melihat mereka—mahasiswa—berdemo saja?” Tanpa saya duga, jawabannya meleset jauh dari perkiraan saya. Jawaban itu tertulis kira-kira begini,”Setidaknya dengan menonton televisi saya tidak membuat masalah lagi.”

Ah, saya sempat beberapa saat merasa kecewa. Saya pikir orang yeng berkomentar akan memberi jawaban yang lebih dari apa yang telah dilakukan oleh mahasiswa yang demonstrasi. Ternyata, jawaban yang saya dapatkan adalah jawaban dari pikiran kerdil seorang mahasiswa. Bukankah sebagai mahasiswa, pikiran seperti itu seharusnya dikikis jauh-jauh hari? Atau memang benar komentar dari seorang pengamen yang suatu kali pernah saya dengar, bahwa mahasiswa sekarang ini bukan dicetak menjadi seorang intelektuil, tapi dididik untuk menjadi seorang buruh?

Jikapun demikian adanya, maka prediksi Tan Malaka tentang akan banyaknya kaum terpelajar memang benar adanya. Tan Malaka pernah menulis dalam “Massa-Aksi”nya melihat bahwa dulu kaum terpelajar hanya sedikit adanya, bahwa “mereka akan luntang-luntung dan merasakan kemelaratan sebagai buruh industry dengan penuh ‘kegembiraan’ dalam medan perjuangan.” Hanya saja, disini ‘kegembiraan’ itu bukan pada sebuah perjuangan, tapi dalam pikiran sempit.

Jadi, sampai disinikah seharusnya seorang mahasiswa? Jikapun saya menjadi salah satu dari mahasiswa yang berdemo, saya akan bertanya pada para komentator itu,”Buktikan bahwa kalian bisa berbuat lebih dari kami! Atau berilah solusi, dan kita sama-sama berjuang untuk rakyat dan Indonesia!”

“Kubu”

Bagaimana akan bergembira kalau pada detik ini
ada bayi mati kelaparan atau seorang istri
bunuh diri karena sepi atau setengah rakyat terserang
wabah sakit - barangkali di dekat sini
atau jauh di kampung orang,
Tak ada alasan untuk bergembira selama masih
ada orang menangis di hati atau berteriak serak
minta merdeka sebagai manusia yang terhormat dan berpribadi -
barangkali di dekat sini atau jauh di kampung orang.
Inilah saatnya untuk berdiam diri dan berdoa
untuk dunia yang lebih bahagia atau menyiapkan senjata
dekat dinding kubu dan menanti.
(Subagyo Sastrowardoyo)

Semoga dapat dijadikan perenungan!

20 Desember 2009
Agus Raharjo

Surat Untuk Cinta #3

Na, setiap waktu akan berlalu
setiap sedih menyisakan perih,

Na, jangan kau simpan kenangan ini, namun
jangan kau buang perasaanmu,

Na, sepertinya kau terlalu lelah
Sepertinya aku terlalu lemah, kita sama-sama payah…
(RA)

Cinta…
Aku pernah menulis itu dalam sebuah saat yang sedih. Ketika itu, saat-saat merindukanmu adalah perihal yang menyiksa bagiku. Begitu berat, dan begitu menyesakkan. Ada sesuatu yang terasa tak lengkap saat kau tak ada. Dan begitu juga saat aku kesepian secara utuh. Kau, telah menawanku dalam alunan hidupmu.

Kau masih tetap seperti dulu, ada di dalam ruang terdalam dalam hatiku. Ada hal yang tak pernah bisa kita mengerti, mungkin kau adalah hal yang paling indah bagiku, tapi kau tak merasakannya. Tapi apalah artinya pengakuanmu, aku hanya mengerti tentang perasaanku sendiri. Tak bisa menyelami perasaanmu, meskipun aku berusaha menyelami hatimu.

Kau bilang bahwa kau membutuhkanku, aku sungguh sangat senang dangan hal itu. Aku tak akan membuatmu terluka, karena aku juga ingin selalu ada untukmu.
Aku telah semakin kuat, tapi masih saja aku merasa lemah. Aku belum sanggup untuk sepenuhnya tak memikirkanmu. Dalam hidupku, kaulah ‘Rembulan di Langit Hatiku’. Ah…terlalu berlebihankah aku?

Cinta…
Mungkinkah kau juga telah lelah? Menunggu itu memang melelahkan, tapi buah dari kesabaran adalah manis, semoga. Kau tahu, saat aku lemah, kaulah kekuatanku. Kau yang sanggup membimbingku untuk segera berbenah dan bangkit dari keterpurukan. Bukan melalui tangan-tanganmu, tapi hanya semangat dan kata-katamu, juga doa dan perhatianmu. Aku benar-benar merasa menjadi seorang yang seutuhnya ketika ada dirimu. Mungkinkah kau merasakan hal serupa itu?

Ketika aku tahu bahwa perasaanmu sepertiku, kita adalah orang-orang yang ternyata masih lemah. Bukan salahmu, bukan salahku, bukan salah kita. Perasaan itu seolah mengalir tanpa sepengetahuan kita, merasuk semakin dalam, dan semakin kuat dalam hati kita. Lalu kita adalah sebagian yang saling membutuhkan. Berharap akan segera ada pertemuan. Dan kita jalani kehidupan selanjutnya.

Cinta…Aku selalu ingat setiap melodi yang mengalun dari kata-katamu. Aku masih terngiang gemuruh semangatmu. Dan aku setiap hari dapat menggambar kenangan yang pernah kita lalui. Sebelum puasa yang kita lakukan ini.

Ini adalah puasa. Dari kekotoran diri di dunia. Lalu kita berharap menjadi suci untuk perasaan ini.

Ini juga meditasi. Penenangan diri dari segala angkuhnya ambisi, sombongnya ego pribadi. Dan kita beranjak menjadi seorang yang selalu sadar diri.

Puasa ini bukanlah tentang penderitaan. Ini adalah perihal bagaimana menjaga. Tentang saat yang tepat untuk menikmati waktu berbuka, bukan ketika adzan Maghrib berkumandang. Tapi waktu aku meluruhkan perasaanku pada kata indah itu. Cinta.

Mengertikah kau betapa aku mungkin terlalu memuliakanmu? Selayaknya pangeran yang akan menjemput permaisurinya. Seumpama aku Bandung Bondowoso, Prambanan telah kubuat untukmu. Tapi aku tidak akan menjadikanmu arca bagi sempurnanya candi itu. Karena aku ingin menikmati kemegahan candi itu bersamamu.

Cinta…
Jalani hidup ini dengan semua impian yang melekat dalam diri kita. Kita masih punya itu, dan kita akan wujudkan itu bersama-sama. Aku selalu ada untukmu, ingatlah itu. Biarpun sekarang ini ada ruang yang berbeda diantara kita, tapi hati kita telah sama-sama dekat. Kita terangi jalan ini dengan apa yang telah kita yakini, apa yang telah kita pahami, dan apa yang menjadi pegangan kita. Jangan terpancing dengan egonya dunia, jangan merasa iri dengan nikmatnya neraka di kanan-kiri, karena kita adalah kita. Dan kita adalah sebagian yang ingin menyatu dengan puasa ini.

Biarpun aku masih lemah, biarpun aku terlalu payah, tapi aku juga masih ingin menjadi yang terbaik untukmu. Jangan lelah, jangan pernah lelah untuk menuntaskan puasa ini. Karena kita sebenarnya tidak ingin menjadi payah, meskipun kita adalah makhluk yang sebenarnya terlalu payah.

Ingatlah setiap baris kata yang coba kita sematkan. “Ada aku yang membutuhkanmu” dan “aku yang selalu ada untukmu”. Itulah pegangan yang akan kita pegang, karena kita akan mewujudkan itu seutuhnya ketika saatnya kita telah berbuka. Dari puasa ini.

Solo, 20-21 Desember 2009
Agus Raharjo

Kamis, 10 Desember 2009

Mimpi

Tak seorang akan tahu
kur siapa yang nyanyi
pada sebuah magrib
dalam mimpiku

…. (GM, “sajak sehabis mimpi”)

Tak seorangpun akan tau. Begitulah sang penyair memberi batas dengan orang lain terhadap alam nyata dan alam bawah sadar yang dialaminya. Tak seorangpun akan tau, menjadi sebuah gertakan yang tegas selayaknya bahwa mimpi kemarin malam telah terjadi dan tidak akan seorangpun yang akan tau tentang mimpi apa. Bahkan ketika nyata sekali bahwa dalam mimpi itu bersuara keras, dan mungkin serempak seperti sebuah alunan kur.
Mimpi, itu menjadi sebuah rahasia yang paling intim dalam kehidupan seseorang. Maka siapa yang dapat mengetahui mimpi setiap orang yang dialaminya setiap hari. Masing-masing dari kita menyimpan mimpi kita sendiri. Dan banyak cara untuk mengekspresikan itu semua. Atau lebih tepatnya banyak hal untuk dapat menjadikan mimpi itu menjadi sebuah ekspresi tertentu.
Maka, hal manakah yang membuat mimpi kita menjadi sesuatu yang pantas ditafsirkan oleh orang lain? Harusnya kita sendiri yang paham akan arti mimpi itu. Karena kita dan apa yang pernah kita alamilah yang membentuk mimpi itu. Membuatnya seolah menjadi sebuah tanda yang akan dialami pada suatu waktu di hari depan. Bukan ramalan, tapi rekaan. Dari semua hal yang membentuk mimpi itu, secara tak sadar kita dapat mengasosiasikan hal itu dalam kehidupan nyata kita.
Ketika kita mengingat sebuah nama, seorang filosof, Sigmund Freud, dengan teori psikoanalisisnya, erat hubungannya dengan keadaan alam bawah sadar manusia. Dengan membantu menterjemahkan setiap mimpi yang dialami seorang pasien, dia sedikit demi sedikit membantu pasien keluar dari kungkungan rasa tertekan yang dialaminya. Atau setidaknya bisa dikatakan menurut Freud, mimpi kita adalah manifestasi dari semua hasrat, juga keinginan yang dibentuk dari alam sadar kita. Kebanyakan mimpi kita lahir dari rasa tertekan karena kita tidak dapat mewujudkan keinginan tersebut dalam alam nyata.
Keinginan-keinginan yang coba dtekan tersebut makin lama makin memenuhi alam bawah sadar kita, dan akhirnya muncul dan tergambar dari mimpi yang kita alami. Dan sejauh itu hanya menjadi sebuah mimpi, maka tak akan seorangpun yang tau, begitu menurut Goenawan Moehammad.
Satu contoh diceritakan oleh Alberto pada Sophie, misalnya, ada seorang lelaki yang telah bermimpi bahwa lelaki itu diberi dua buah balon oleh saudara sepupu perempuannya. Maka, apakah arti dari mimpi itu?
Berdasarkan psikoanalasisnya Freud, ketika seorang lelaki menerima dua buah balon dari saudara perempuannya maka, dikatakan bahwa sang lelaki sebenarnya mempunyai hasrat yang telah dipendamnya untuk memiliki saudara sepupu perempuannya itu. Hanya saja hal itu tidak akan terjadi, karena lingkungan status sosial masyarakatnya yang membuat tabu untuk hal itu. Hal itulah yang membuat hasrat itu hanya menjadi tekanan yang tersimpan dalam alam bawah sadar si lelaki. Sampai disini, arti dua buah balon yang diberikan oleh saudara sepupu perempuan bisa mempunyai arti. Itu menjadi sebuah penanda bagi seorang perempuan.
Namun, ketika kita mengacu pada teori psikoanalisisnya Freud, kita hanya berkutat pada kejadian dan hasrat yang telah lampau. Dalam hal ini saya sedikit kurang sependapat. Kita harus juga ingat bahwa ada sebuah ‘impian’. Konteksnya, ketika mimpi itu terbentuk dari pengalaman masa lampau, maka impian adalah manifestasi keinginan untuk hal-hal yang belum terjadi, namun diinginkan untuk terjadi di masa datang. Sama-sama sebuah keinginan, namun kadangkala sebuah impian tidak bisa dianggap sebuah tekanan.
Dalam mimpi, semua hal bisa sangat mungkin terjadi. Itulah pointnya. Bahkan untuk sebuah hal yang tak masuk akal sekalipun. Namun ada sedikit pertanyaan pada diri saya, apakah ketika kita bermimpi dan mengeluarkan seluruh pengalaman alam bawah sadar kita, kita masih dalam posisi yang tidak sadar? Berdasarkan apa yang saya amati dari model psikoanalisisnya Freud, kita bisa saja tidak sepenuhnya tertidur dan masuk dalam alam bawah sadar kita secara penuh. Maka dengan itu, apa yang sering saya alami menajdi sebuah hal yang sangat biasa terjadi. Walaupun begitu, ketika kita hanya setengah berada dalam alam bawah sadar kita, tetap saja kata GM, tak seorangpun kan/ tau kur siapa yang nyanyi/ pada sebuah Maghrib/ dalam mimpiku//

10 Desember 2009
Agus Raharjo