Kamis, 14 Januari 2010

Fragmen: Khianat

“Aku ingin menjadi seorang penyendiri,” kata lelaki itu. Dan sang wanita menatapnya penuh curiga.
Semalam, lelaki itu tak kunjung pulang. Sang wanita merasa sepi dalam penantiannya. Detak jam membuat mereka terpisah.
“Aku ingin menjadi seorang penyendiri,” kata lelaki itu ketika di depan pintu. “Aku tidak akan terluka seperti ini!”
Mata sang wanita mengikuti hingga lelaki itu masuk kamar mandi.
“Apa maksudmu?” teriak wanita itu.
“Biarkan aku sendiri! Dan aku tak akan pernah merasa sakit ketika dikhianati seorang istri!” Lalu suara debur air menenggelamkan suara lelaki itu dalam perasaannya.
Wanita itu gugup. Segera dia sadari bau parfum di seprei tempat tidurnya memang bukan milik lelaki itu.
Di dalam kamar mandi, ada gemuruh suara air, juga kaca pecah sekali. Air itu, tetap seperti suara hujan, hingga sang wanita menyadari kata-kata sang lelaki bukan gertakan semata.

14 Januari 2010
Agus Raharjo

Perempuan dan Lahirnya Rezim Orde Baru

Ketika tragedi ’65 terjadi, saat itulah Orde Lama mengalami akhir masanya. Sebagai gantinya, bagi saya Orde Baru lahir dari sebuah ironi yang tak lucu. Ada banyak pertanyaan yang ‘dibungkam’ terkait peristiwa yang kita kenal sebagai Gerakan 30 September (G30S PKI) setelah rezim baru itu muncul bak sang juru selamat. Peristiwa yang disusun sangat apik dalam tatanan politik untuk sebuah kekuasaan. Bahkan ‘pembungkaman’ itu berlanjut hingga berakhirnya rezim Orde Baru itu diruntuhkan oleh Reformasi.

Ketika saya masih kecil, yang ada dalam bacaan buku sejarah saya adalah bahwa PKI adalah partai yang ‘seharusnya’ tidak ada di Indonesia. PKI adalah manifestasi dari bahaya laten sebuah kudeta. Sampai akhirnya peristiwa ’98 membuat semuanya seolah mengalami pembalikan.

Yang saya tahu sebelumnya dalam buku sejarah, juga film terkait G30S PKI—yang tak tahu malu-- bahwa PKI adalah kumpulan algojo yang dengan entengnya mengakhiri hidup sesama manusia. Bahkan dalam film yang baru saja sekilas saya saksikan, sosok yang digambarkan menenteng palu dan arit tersebut menghabisi orang-orang yang selesai menjalankan sholat shubuh di masjid. Semua itu menjadi sebuah hal yang wajar dan dimaklumi ketika kita ada dalam masa kekuasaan rezim paling lama di Indonesia sampai saat ini tersebut. Namun, ketika lembaran fakta-fakta mulai dibuka kembali, semua propaganda itu menjadi sebuah tontonan yang tak lebih dari sebuah lelucon belaka.

Di satu sisi, saya menertawai diri saya pribadi dan orang-orang yang telah dibodohi sekian lamanya. Di sisi yang lain, saya ingin menertawai sekeras-kerasnya pada semua pembuat propaganda itu, karena mereka dapat membuat serial komedi yang berbentuk buku dan film. Namun tak bisa dipungkiri, propaganda saat itu seolah disusun dengan sangat lihai oleh ahlinya.

Wajah Perempuan Komunis
Perempuan Komunis adalah bagian lain dari sebuah elegi G30S PKI. Mereka adalah perempuan-perempuan ‘yang sengaja dikorbankan’. Terlebih bagi mereka anggota Gerwani dan semua ormas yang berafiliasi dengan PKI. Setelah tragedi pembunuhan para Jendral di Lubang Buaya, perempuan komunis menjadi sosok yang diburu dan paling banyak mengalami siksaan. Tak salah ketika Wieringa mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut membuat banyak pihak mempersetankan perempuan komunis. N Bukan hal yang main-main, perempuan komunis menerima hukuman yang tak pernah tahu apa kesalahannya.

Banyak tuduhan ditimpakan pada perempuan-perempuan komunis sehingga banyak pihak yang seolah menganggap mereka adalah perempuan biadab. Hal ini sangat bisa dimaklumi, sebab Indonesia adalah negara yang mayoritas adalah penganut Islam. Ketika dihadapkan pada ‘sandiwara’ bahwa perempuan komunis telah melakukan tindakan senonoh dan keji pada jenderal-jenderal yang mati di Lubang Buaya, maka penganut Islam akan menganggap bahwa mereka adalah perempuan setan. Sungguh ironis namun cerdik. Seolah semua hal itu telah lama dipikirkan oleh ‘sang sutradara’. Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah kenapa begitu bodohnya yang mengaku muslim tersebut termakan hasutan?! Hingga tidak terasa ikut andil dalam menghilangkan banyak nyawa yang seharusnya tidak terjadi demikian gampang.

Lagipula, anggapan bahwa penganut paham komunis adalah seorang ateis yag patut ‘diperangi’ masih dipertanyakan. Namun, semua itu telah terjadi, dan biarlah menjadi masa kelam bagi rakyat Indonesia.

Ada banyak hal yang patut kita ketahui perihal tentang gerakan membumikan rakyat Indonesia tersebut. Juga cerita-cerita tentang tindakan semena-mena yang diterima ‘perempuan setan’. Banyak kisah yang perlu kita cermati tentang penderitaan mereka. Akan tetapi, hingga sekarangpun banyak yang masih menyimpan memori bahwa PKI adalah bahaya laten dari manifestasi kekejaman dan keberingasan atas kekuasaan.

Beberapa waktu yang lalu, kita mendengar akan dilaksanakannya syuting film Lastri. Film tersebuat adalah film yang menceritakan keadaan perempuan korban dari kebengisan sesungguhnya dari lahirnya Orde Baru. Namun diluar dugaan, syuting film tersebut mendapat tentangan dari sebuah ormas Islam di Solo. Pertanyaannya adalah kenapa hal itu ditentang? Ketika hal itu ditakutkan menimbulkan kembali bahaya laten PKI, bukankah itu adalah sesuatu hal yang tidak perlu? Ataukah karena ditakutkan bahwa film tersebut akan menampilkan adegan-adegan penyiksaan seksual pada kaum perempuan? Diluar nanti terhalang dengan badan sensor, lagipula itulah realita yang sebenarnya terjadi disekitar lahirnya Orde Baru. Setidaknya hal itu saya ketahui setelah membaca “Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65”nya Ita F. Nadia.

Dalam bukunya, Ita menulis pengalaman kejam yang dialami oleh perempuan-perempuan komunis untuk melahirkan rezim Orde Baru. Dalam kesaksian pertama akan kita temukan kata-kata “Akhirnya Pemerkosa itu Jenderal Pensiun”. Sungguh ironis, sang penjahat malah dapat menikmati ketenangan dalam masa pensiunnya. Siapakah sebenarnya yang tidak mempunyai hati nurani?

Lalu ada satu peristiwa yang bagi saya seorang laki-laki sungguh sangat biadab, ketika salah seorang korban menuturkan dalam buku Ita ketika dipenjara di Tanjung Gusta: “Mereka sengaja ingin mempertontonkan kepada suami saya, bagaimana saya diperkosa oleh beberapa laki-laki bergiliran. Jika suami saya menundukkan wajahnya, mereka menampar mukanya.” Sekali lagi saya bertanya, siapa sebenarnya yang biadab disini? Apakah mereka orang-orang PKI itu? Yang mengajari masyarakat kecil membaca dan menulis? Ataukah serdadu yang ‘menjadi’ juru selamat? Sungguh ironis.

Maka saya sedikit berlelucon, bahwa Orde Baru lahir dari rahim-rahim perempuan yang diangggap setan. Atau seperti kutipan dari salah seorang korban yang bernama Yanti, bahwa Orde Baru “Membangun Kekuasaan di atas Perkosaan.”

13 Januari 2010
Agus Raharjo

Rabu, 06 Januari 2010

Surat Untuk Cinta #4

Kuturutkan dengan sebuah hati…

Cinta,
Bagaimana keadaan yang menyertaimu sekarang? Semoga kau masih merindui dan bertahan dari apa yang sampai saat ini ada pada diri kita. Apakah kita masih dapat berpuasa seperti ini terus, senantiasa menjaga apa yang coba kita buat? Aku selalu merindukan hal-hal tentang dirimu. Tentang apa yang pernah kita tulis bersama, juga tentang apa yang akan coba kita wujudkan hari depannya.

Ditengah perihal yang tak menentu ini, kita akan menjalani dengan senang hati. Sampai sekarang kita masih diperbolehkan menangis untuk Ibu penjual macaroni di depan sekolah. Yang hanya sekeranjang saja dagangannya. Kita juga masih diperbolehkan menangis untuk seorang Ibu yang kau lihat sedang mencari jalan hidup ditengah terik yang menyengat. Kita masih boleh menangisi semua itu. Ah, bisa jadi kita bukan siapa-siapa bagi mereka, tapi apa harus kita kenal dulu sebelum dapat membantu mereka? Tidak, bukan yang seperti itu yang nantinya akan kita lakukan bersama. Kita tak harus mengenal siapa yang butuh dikeluarkan dari kubangan derita.

Apa yang kita saksikan hari ini, adalah sebuah pekerjaan besar yang nantinya akan kita bangun. Kita akan bukakan mereka pintu-pintu keluar dari lumpur. Bahkan aku ragu Negara ini masih berpikiran tentang semua itu. Apakah salah ketika mereka menjatuhkan diri pada hal hina hanya untuk bertahan hidup, sedangkan di lain tempat ada orang-orang yang dapat menghabiskan jutaan rupiah hanya dalam waktu satu malam saja dengan sekadar makan gengsi dan katanya untuk bersosialisasi.

Sungguh, begitu pandai manusia modern itu mencari kesenangan dan alasan. Sangat picik dengan semua hal yang begitu terlalu tolol tapi masih bisa berkata untuk bersosialisasi. Apakah semahal itu untuk mencari seorang teman? Bisa jadi bukan teman yang mereka dapatkan sebenarnya, tapi mereka menyewa robot-robot berbentuk manusia sempurna. Picik dan naïf.

Cinta,,, kita mungkin akan menjadi manusia yang dianggap aneh. Atau bahkan kau tidak menghendaki hal seperti itu? Apakah kau masih mau hidup yang hanya bukan memikirkan makan dan kesenangan semata? Dengan segala yang ada pada kita, aku ingin membuat surga hadir untuk orang-orang terpinggirkan itu. Aku ingin membuat surge bagi hidup kita secara otentik. Bukan tentang yang hanya semata kita lihat dimata. Bukan, bukan itu sesungguhnya. Tapi ada yang lebih jujur dan lebih mulia dari semua itu. Kita tak perlu memikirkan perselisihan orang-orang bertopeng yang saling berebut kekuasaan itu. Kalau diperlukan, kita manfaatkan keberadaan mereka, kita tak harus berpihak. Hanya siapa yang lebih dapat membuat surge bagi yang terpinggirkan itulah, kita akan menerima. Tapi kita bukan berpihak pada mereka, melainkan pad terbukanya pintu-pintu yang akan membawa orang-orang yang senasib dengan Ibu pedagang makaroni itu keluar dari keterpurukan. Semoga kau juga masih berpegang pada cita-cita dan keyakinan itu.

Hfff… semakin aku merasa, merinduimu sama juga merindui sebuah impian, yang ingin aku bangun dan aku wujudkan nanti.

Sampai saat ini, kita harus mempersiapkan segalanya. Kita akan belajar menyusun balok-balok kepedulian hingga nantinya utuh membentuk rumah yang indah bagi semua hati yang menempatinya. Kita tahan dulu apa yang memang belum boleh untuk kita. Bukankah kita masih ingin melanjutkan puasa ini? Dan setapak-demi-setapak, puasa ini seharusnya meningkat. Aku tak akan pernah menyesalinya. Meskipun mungkin, derajat ikhlas masih jauh dari jangkauanku—karena aku masih takut kehilanganmu. Tapi dengan puasa ini, semoga kita bisa mengikhlaskan apa yang akan menimpa kita di depan. Jalan masih panjang, dan waktu masih membuat jurang. Hanya satu saja yang akan aku pegang, bahwa aku punya janji dan impian. Dan aku akan menuju padanya, menujumu, hingga pada waktunya nanti telah ada.

Cinta, setelah ini adalah pengembaraan. Ada jarak jauh yang harus kita tempuh dan lewati. Ada jeda waktu yang panjang menghalang. Tapi ini adalah jalan kita. Jalan kita untuk saling menjaga. Hanya doa-doa yang masih saja kita lantunkan sebelum ada cahaya. Ada keluh kesah dan harapan serta kerinduan yang masih tertahan di kebesaranNya.

Ah, betapa aku menjadi terlalu cengeng mengingat semua ini. Ada hal yang senantiasa akan selalu tertanam dalam hati tentangmu. Ada senyum yang tercekat dalam kelopak mataku. Ada airmata yang membasahi relung hatiku. Semuanya adalah milikmu. Dan semua dariku akan kuberikan untukmu. Sampai saat kita akan berjuang bersama, setelah pengembaraan ini. Setelah kita merasa kuat sebagai individu-individu. Dan kita akan membuat nyata apa yang telah kita dapatkan dalam kehidupan ini. Bukan untuk kita pribadi, tapi untuk orang lain yang kurang beruntung dari kita. Mereka yang diacuhkan, mereka yang dianggap sampah oleh manusia yang mengganggap diri mereka makhluk kota.

Ah, dunia ini memang bulat. Tak seharusnya digunakan manusia menggelindingkan manusia lain menjadi tersingkir dari harapannya sendiri. Dengan kebulatan ini, seharusnya kita diajarkan mengerti saat di atas dan saat di bawah. Dengannya kita belajar untuk peduli. Darinya kita menikmati hidup.

Cinta,
Puasa ini adalah puasa tingkat akhir dari semua puasa yang memang kita jalani. Dan pada tingkat akhir inilah, semua hal bisa terjadi diantara kita. Tanpa kita dapat saling memberi senyum lagi, tanpa sapa yang menguatkan kita, semua hal dapat menjadi berat pada kita. Pada tingkat tertinggi ini, hanya pada Yang Memberi Cinta kita berpegang. DenganNya pula kita saling menggenggam benang penyatu hati. Selama kita masih selalu mendekat denganNya, maka benang itu tetap terjaga. Meskipun kita diruang berbeda. Ada tabir yang sementara menghalangi, ada ego yang coba kita luluhkan. Ingatlah, bahwa benang itu telah terikat mati pada genggamanku. Dan aku tak akan terlepas darinya. Kecuali kau memutuskan benang itu. Tapi dengan itu, bararti aku telah terlepas dari pegangan. Aku tak dapat menebak kemana aku akan terjatuh. Tapi semoga semua ini mengajariku sebuah keikhlasan. Ikhlas dalam menjagamu, ikhlas dalam mendekatiMu, dan ikhlas pada perjuanganku.

Cinta, inilah babak akhir dari semua perjalanan ini. Ada doa disetiap sujud kita, doa yang melantun lirh karena besarnya kerinduan yang mendesak kita. Doa itu, serupa harapan agar kita menjadi orang yang lebih baik lagi dengan melewati semua ini. Kita selesaikan babak ini sampai akhir. Dan akhir yang bahagialah yang coba ingin kita rangkai. Akhir dari perjalanan panjang, dari penuntasan sebuah keyakinan yang masih belum sempurna untuk kita.

Maaf ketika pertemuan terakhir kita tak pernah sanggup kututup dengan kalimat yang sebenarnya ingin aku katakan, hanya padamu. Ah, aku terlalu tidak punya keberanian untuk mengatakannya langsung bahwa ‘aku sayang kamu’. Bukan karena aku tak punya nyali, hanya aku tidak ingin menggores hati yang kau miliki karena memang belum seharusnya kukatakan. Nanti, setiap pagi aku akan mengatakannya padamu. Setiap pagi ketika kita terbangun, juga sebelum kita terbuai dalam mimpi.

Jangan pernah merasa ragu pada keyakinan ini. Jangan pernah lelah untuk perjuangan ini. Ada aku yang akan selalu ada untukmu.


With Love and Spirit
Dari Ra untukmu Na


Solo, 1 Januari 2010
Agus Raharjo