Minggu, 28 Februari 2010

Bulevard

Pada suatu pagi yang mendung, saya berkesempatan menikmati Bulevard dengan agak bingung. Setelah hampir enam tahun saya ikut menjejaki Universitas hijau Sebelas Maret, ini kali kedua saya menengok gerbang utamanya pada hari minggu. Saya tak tahu mengapa bukan sejak dulu saya sering menikmati keramaian minggu pagi Boulevard.

Kalaupun lewat, tak terhitung lagi saya melakukannya. Bahkan saya ingat, saya pernah ikut aksi disana, juga pernah saya dan teman-teman BEM aksi ulang untuk meminta maaf pada wartawan. Teman saya itu—Presiden BEM UNS waktu itu—telah mengeluarkan statemen yang melukai profesi wartawan. Saya sendiri tidak tahu menahu tentang hal itu, karena saat itu saya memang telat datang. Meskipun begitu, saya juga tetap mendampingi teman-teman untuk aksi “permohonan maaf dan pencabutan statemen.” Pada waktu itu, saya sangat menyayangkan statemen rekan saya itu. Tapi, kesalahan sekali tidak akan membuat segala kebaikan dan pengorbanan menguap begitu saja. Itulah yang dapat saya pahami.

Saya telah mengenalnya sejak masih di bangku SMP, dan saya tahu siapa dia bukan dari interaksi kita, tapi malah pada apa yang terpancar dari komunikasi tak verbal kami. Namun, saya tak menyesali untuk ikut aksi ulang bersama teman-teman. Saya merasa, saya harus selalu membersamai orang-orang yang saya tahu hidupnya untuk memikirkan orang lain tersebut. Dan keyakinan saya tak akan luntur dengan statement itu, terlebih saya juga menganggap diri sebagai calon wartawan. Saya bertekad akan selalu ada diantara mereka, dengan atau tanpa kehadiran fisik saya. Karena kita punya tujuan sama.

Di bulevard, saya selalu mengingatnya sebagai sebuah janji. Janji bertemu juga janji menanti. Ah, tempat itu menjadi sebuah kenangan tersendiri bagi saya mengingat teman-teman saya. Saya ingat, ketika pada suatu waktu, saya dan teman-teman saat hendak bepergian kemana saja, Bulevard menjadi satu tujuan untuk kita saling menanti. Dari sanalah saya memahami, bahwa menunggu itu terasa lebih indah ketika saya tahu janji memang selalu terpenuhi.

Di pagi itu, bukan seperti pagi-pagi sebelumnya. Mungkin juga tak akan pernah ada minggu pagi yang akan sama. Akan ada perpisahan, meskipun bukan perpisahan otentik. Pada malam sebelumnya, saya tahu bahwa sekarang saya sangat merasa kehilangan teman-teman. Semua, telah meninggalkan Bulevard dan menatap dunia luar. Maka malam sebelumnya itu, saya memberanikan diri untuk sekadar melihat seseorang yang masih mau menemani saya. Dalam kasus ini, apa yang saya lakukan adalah sebuah hal yang memang tak seharusnya dilakukan, meskipun hanya sekadar bertemu dan melihat saja. Tapi, hal itu memang saya lakukan, bukan karena saya berniat melanggar sesuatu, tapi lebih pada saya yang merasa sendirian dan membutuhkan uluran semangat.

Dengan seseorang itu, menjadikan saya sebagai manusia seutuhnya. Darinya, saya merasa bukan hanya menjadi seonggok tubuh yang terlalu pasrah pada alur sang nasib, tapi dengannya saya ingin mengatur nasib sendiri, bahkan kalau dikabulkan, saya ingin membantu nasib-nasib orang lain. Dengannya, semalam, saya hanya melihatnya sekilas—tidak berani memandangnya. Hanya sekilas, namun saya mampu merekam keberadaannya. Saya ingat gaya bicaranya, khas suaranya, juga gelora semangatnya. Meskipun malam itu gerimis membuat kisah pertemuan sebentar kami seolah murung. Tapi sebuah nada gembira justru terucap pada senandung kebersamaan kami.

Dan Bulevard, menjadi lambang pagi atas perpisanan sementara kami. Ada janji yang masih harus dipenuhi. Dan penantian yang tertera pada lambang gerbang pertemuan dimana semua kenangan terjalin seperti mimpi-mimpi. Mimpi ini masih belum sempurna, kenangan ini masih tak lengkap, sama seperti janji itu sendiri. Seseorang itu menjadi satu dari semua yang menyimpan diri dari kenangan saya mengawali perpisahan dengan Bulevard. Ada pohon menjulang menopang segala kisah di bait-baitnya. Ada nama tertera pada pangkal gerbangnya, itu penanda. Dan Bulevard selalu menyimpan kenangannya sendiri. Bagi kisah yang pernah melewatinya, juga singgah di kedalamannya.

Pagi itu, kuingat hari sebagai hari minggu, dan di penanda waktuku tertera tanggal 31 Januari 2010.

28 Februari 2010
Agus Raharjo

Kamis, 18 Februari 2010

Surat Untuk Cinta #5

Dengan hati dan seluruh jiwaku,
Kuturutkan menyertai kegelisahanmu,
Bukan untuk memperingati hari kasih sayang…
Hari ini!
Tapi inilah sebuah kisah sedih.


Bagaimanakah adanya Cinta hari ini? Apakah hari yang serasa pilu ini juga membuatmu tertambat pada sedih yang mendung tawarkan? Atau langit memang sengaja membawa kegelisahanmu agar tampak dimataku dari tanda hujan?! Aku memang tak pernah merasa bisa untuk mengenyahkan gelisahmu seutuhnya. Tapi ingatlah bahwa aku juga tak akan pernah berhenti untuk mencoba melakukannya. Sampai nafas terakhir.

Cinta… Ada sesuatu yang tak selamanya dipandang dari satu pandangan saja, bahkan mungkin untuk kesemuanya barangkali. Aku juga tak tahu, apa memang begitu adanya. Yang pasti ada keyakinan ketika kita menjadi makhluk kritis saja kita bisa mencari kebenaran yang hakiki. Bukankah akal digunakan untuk hal itu?

Hari kemarin, hari ini, juga hari esok adalah hari-hari yang seterusnya tetap berjalan seperti ini. Inilah hidup. Inilah kehidupan. Dan inilah putaran nasib yang selalu sigap memeluk keseluruhan kita. Kita hanya berusaha untuk bertahan darinya saat kita ada di bawah, dan kita harus ingat pada keyakinan kita, ketika kita ada di atas. Itulah bertahan hidup.

Cinta… kegelisahanmu adalah bagian dari kesedihanku. Dan sepertinya hujan senang mengirim rintik tangisnya menyertaiku. Ah, hujan, kenapa lagi kau menjelma pada nyanyian sedih seorang yang selalu ada di hidupku?!

Kau tau? Hal yang membuatku sering bersedih adalah ketika seseorang membutuhkanku, dan aku tidak bisa memenuhinya. Aku tidak ingin menjadi seorang yang seperti itu!! Aku benci! Sangat membenci keadaan seperti itu!! Rasanya seolah hidupku adalah sesuatu yang tak ada nilainya. Menjadi orang yang tak berguna itu sungguh memuakkan. Mungkin inilah alasan aku tidak pernah benar-benar menyukai diriku sendiri. Terkadang memang harus seperti itulah badan ini diperlakukan. Agar ia terbiasa dengan sakit yang dirasakan badan-badan yang lain. Agar ia tahu rasanya sedih dari kesedihan yang lain.

Tubuhku ini hanyalah alat. Hanyalah tulang yang dibalut daging dan dialiri darah. Darinya, seharusnya aku mampu untuk menjadi sesuatu yang kuat memikul kesedihan dan beban orang lain. Dengan pikirannya, harusnya aku dapar mencarikan pemecahan dari semua permasalahan. Tapi yang terjadi, justru badan ini hanyalah seonggok tulang dibungkus daging yang terlalu tak berguna. Masih ikut larut memikirkan hal-hal remeh yang tak seharusnya. Apa sih pentingnya punya status? Apa sih perlunya pangkat? Kalau dengannya ada ketakutan manusia tamak. Ada penyesalan karena bersikap egois. Bukan itu yang seharusnya didambakan.

Aku bersyukur Muhammad adalah teladanku. Dialah manusia yang tak akan digugat sebagai sosok yang paling mulia. Tak ada alasan bagi orang kaya karena kekayaannya untuk berwelas asih. Juga tak ada alasan bagi orang miskin untuk menunggu kaya baru dapat menolong sesama. Karena Muhammad adalah representasi yang tak terbantahkan. Dia adalah orang kaya, tapi tak lebih dari tiga hari kekayaan itu ada padanya. Seluruh hartanya adalah harta untuk orang lain. Dan dia juga orang miskin, yang dengan kemiskinannya dia masih mampu untuk bersedekah pada sesama. Dia adalah sosok yang gagah, garang bagi semua musuh keyakinannya. Tapi dia juga lemah lembut bagi sesamanya. Bahkan bagi seorang yang membenci dan sering memakinya.

Siapa yang sanggup memberi makan tiap hari pada seorang buta yang selalu saja memakinya. Meskipun Muhammad tahu persis bahwa orang buta itu adalah golongan dari musuh keyakinannya. Hingga seorang buta itu menyesal karena pada akhirnya tahu bahwa orang yang setiap hari menghampirinya dan member makan adalah orang yang senantiasa dia caci maki, bahkan ketika Muhammad ada di hadapannya. Siapa yang sanggup membantah kebaikan seperti itu? Dan badan ini, seharusnya bisa mencontohnya.

Cinta… Itulah adanya dirimu. Seluruh jelmaan dari segala kebaikan. Dan akan menuju kebaikan. Aku tak pernah menganggap ini sesuatu yang berlebihan. Ini hanyalah harapan. Ini adalah keyakinan, bahwa hadirnya dirimu akan menjelma kebaikan bagi seluruh badan-badan ini. Ada sikap ramah yang akan menentramkan kegarangan. Ada kelembutan yang memeluk keras hati. Namun juga ada amarah yang senantiasa mengingatkan. Ternyata memang bukan hal yang berlebihan bukan?! Aku hanya ingin menjadi seorang yang mampu seutuhnya memperlakukan raga ini pada tempatnya. Maka jangan tepiskan keberadaanku di kehidupan ini. Karena kematian pasti akan datang ketika pada waktunya. Aku hanya tak ingin menyesali hidup yang terbuang percuma. Yang hanya tahu bagaimana memikirkan diri sendiri. Adanya diriku adalah karena ada kau. Denganmu, kita ubah penderitaan menjelmamu. Sebuah kebaikan yang akan menuju kebaikan. Dan pada akhirnya, tak akan kusesali adanya aku.

Cinta… sungguh kau menjadi yang selalu kurindukan. Selalu. Segera, akan kutemukan dirimu dalam hidup ini. Akan kujemput kau pada tegapnya kesetiaanmu. Sebentar lagi, akan ada babak yang mengeliminasi semua hal yang membuatku terkungkung ini.

Cinta…
Please, give me your smile...
And look at my face, you’ll find the sun…
(Lalu kita lantunkan Surat Ar Rahman sama-sama. Semoga ada airmata di wajah, namun ada bahagia di hati!)

Solo, 14 Februari 2010
Agus Raharjo