Minggu, 23 Mei 2010

Surat Untuk Cinta #6

Cinta,,
Apa yang harus kukatakan, jika engkau telah memenuhi warna hidup ini? Jika kuhirup udara pagi nan sejuk, terasa bagaikan embun di pucuk daun. Hampir jatuh dan terlepas bersama tetes resah mencium tanah. Lalu tanah telah basah akan doa dan keinginan. Menjalar, menyusup, dan membelai lembut akar-akar hidup. Dan kembali untuk menggapai bunga dan daun nafasku.

Sapalah aku cinta.
Dengan merdu langkah-langkah anggun menuju tanah terang. Sapalah aku dengan suara dari ayat-ayat hayat. Akan kudengar setiap katamu bagaikan intonasi dan nada berharmoni tinggi. Akan kucerna bait demi bait suara yang menggemakan hatimu. Hingga kurasakan setiap tarikan nafasmu adalah obat dari segala rindu. Dia adalah penawar, dia adalah racun, dia adalah cinta.

Sapalah aku ketika bulan merasa menang dari mentari. Di setiap cahaya jingga parasnya, meski disekeliling kita adalah malam tergelap. Akulah cahayamu, atau kamulah cahayaku. Dan katakanlah bahwa kita saling merindu kepada bulan. Agar dia tak lagi angkuh menjadi cahaya yang sementara pada gelap kita. Sapalah aku, Cinta.
Cinta, tidakkah kau lihat kita tengah dipermainkan. Bagaikan boneka aku pasrah, bagaikan boneka kau selalu tersenyum. Kita menjadi lautan yang tak lagi diterka dalamnya. Dengan lantunan syair biru langitnya. Apakah kau malu pada pandangannya? Apakah kau takut kata tak setia? Namaku hanyalah nama. Sebab aku dipanggil oleh mereka. Tapi bukan namaku yang datang meminta cintamu. Jikapun namaku lain, aku tetap menjadi aku. Aku tetap yang mengurai makna keberadaanmu. Aku tetap mencintaimu. Cintaku hanya untuk Cinta. Untukmu.

Cinta,
Disini aku seperti hidup dalam kepingan kisah yang tak utuh. Ada bayangmu yang mengintai sejak senja menemukanku dalam airmata kehilangan. Kau jauh. Jauh dalam tapal imaji yang menggoda. Yang dibalik bukit kukira aku menemukan cakrawala. Tapi kau selalu ada dibatas malam. Ketika sabda Sang Esa terasa mendekat di telinga. Memanggil, memanggilku untuk takluk pada rayuan pagi yang melankoli. Hari esok yang terdengar lain dari saat ada kau.

Aku menghitung detik-detik yang berganti. Menandai bahwa kau terlalu lama bersembunyi. Adakah kau merasa bahwa kita seharusnya terbuka? Karena ada hal lain dari sekadar untuk bertahan hidup. Ada sosok yang muncul tenggelam diruang ego kita. Apakah cinta mendengarku? Apakah kau mau menyapaku?

Aku tubuh dari derita semesta. Aku jiwa yang tertahan dunia. Apakah masih sama seperti impian berujud kata? Kata serupa mengganti frasa puitis. Kau adalah senja selamanya. Rawan, resah, melankoli, tapi tak mampu ku menolak cinta. Bibirmu memberi alunan setiap kata terdengar tak semestinya. Bagai sabda ratu menawan pencari hati. Melintang, dalam garis jelas penjaraku. matamu, hidungmu, rambutmu, dan semua tentangmu terlukis pada dewi keindahan. Aku takluk, aku tunduk, bersama bait-bait pembawa kabar gembira. Tentang kita yang semakin merasa dekat. Meski kau tak mendengarku. Meski ku tak melihatmu.

Cinta, aku ingin mengirim puisi terindah padamu. Puisi yang bukan aku penulisnya. Penulisnya berkata,”Berikanlah puisi terindah pada cinta terindah. Serahkanlah puisi teranggun pada cinta yang terpilih. Karena puisi ini hanya untuk dia yang berhak. Puisi ini lebih indah dari semua yang pernah ditulis. Karena puisi ini adalah kau! Maka serahkan jiwamu pada dia yang mampu membimbingmu! Dia bukan pencari dunia, tapi dia menyusun setiap keping pasir menjadi istana di surga. Dia adalah cinta yang akan abadi. Maka berikanlah puisiKu padanya!”

Cinta, itulah kau. Yang tengah menyusun pasir-pasir kebijaksaan hingga menjelma istana di negeri sana. Aku ingin menyerahkan puisi terindah itu. Karena kau adalah cinta. Karena kau memang patut dipuja.

Maka, berikanlah aku sapa. Agar aku menjelma puisi seindah lantunan ayat-ayat hayat!

Klaten, 22 Mei 2010
Agus Raharjo

Mei: Setangkai bunga Morishcha yang Indah

Pada kisah Mei selanjutnya, saya ingin bercerita tentang sebuah imajinasi yang banal. Kisah ini bisa jadi akan selalu mengingatkan saya dengan bulan yang paling sedikit hurufnya, namun banyak cerita yang lahir di dalamnya. Ini tentang sebuah bunga, yang anggap saja kita mengenalnya seperti kita mengenal anggrek maupun melati—saya lebih menyukai anggrek. Terlebih anggrek putih yang meskipun tergolong murah, namun baunya sangat wangi. Ini kisah tentang setangkai bunga yang bisa kita gambar dalam imajinasi kita. Kisah tentang ‘setangkai bunga Morishcha’.

Setangkai bunga Morishcha, adalah setangkai bunga yang pernah saya dengar baru sekali. Entah nama latin untuk bunga apa atau nama bunga dari bahasa mana, saya tidak tahu secara pasti. Namun, saya pernah merasa kehilangan bunga itu pada bulan Mei, tahun lalu. Nama bunga itu untuk pertama kali saya dengar dari seseorang yang pernah diberitahu oleh seseorang yang dahulu adalah penari.

Kisah perkenalan saya dengan bunga Morishcha adalah sebuah kesengajaan yang tidak disengaja. Jauh sebelum saya mengenal bunga itu, jauh dalam imajinasi saya telah melukis sesosok bunga yang membuat saya merasa terkesan. Bunga itu, saya gambarkan sebagai bunga yang menyimpan misteri dalam keangkuhannya. Aura yang terpancar dari anggun warnanya membuat seseorang yang melihatnya akan tertawan jiwanya. Dari dasar imajinasinya segera menjelma sebuah misteri yang tak terjangkau dalamnya. Dan bunga itulah yang senantiasa membuat saya merasa ikut menjadi seorang yang angkuh.

Dan untuk pertama kalinya saya merasa bahwa saya menemukan sosok bunga itu hanya dalam setangkai bunga Morishcha. Hanya setangkai. Karena memang bunga ini mekar tidak bersama-sama, hanya setangkai saja. Maka, itulah yang menarik. Bunga ini menjadi setangkai bunga yang anggun dan menawan. Keindahannya terletak pada satu tangkainya. Jika bunga ini menguncup pada tangkai yang banyak, maka keindahan itu akan sama saja dengan bunga-bunga yang lain. Maka, inilah bait-bait perpisahanku dengan setangkai bunga itu.

Pada bulan ini satu tahun yang lalu, saya dengan bunga Morishcha juga gambaran keindahannya mengarungi suatu masa ketika pada suatu malam kita kembali ke jaman Majapahit. Saat itu, kita dengan damai memasuki wilayah Majapahit yang tengah terjadi huru-hara. Sampai akhirnya kita bertemu dengan sosok yang penuh karismatik Pangeran Banjaransari—orang yang erat hubungannya dengan lahirnya nama Sukoharjo. Saya, bersama setangkai Morishcha, menjadi saksi betapa dengan gagahnya, pangeran yang berguru pada Sunan Kalijaga ini membantu rakyat alas Taruwongso keluar dari masa paceklik yang telah lama dialaminya. Meskipun hanya kisah yang pendek, namun saya memahami, begitu dekatnya saya, bunga Morishcha, dan Pangeran Banjaransari waktu itu.

Namun, seperti halnya saya kehilangan Pangeran Banjaransari yang hanya dapat saya kenang melalui makamnya di Tamansari, Sukoharjo, sayapun merasa kehilangan bunga Morishcha dan hanya dapat mengenangnya melalui nisan yang tertancap dalam hati saya. Kisah itu begitu singkat, namun penuh liku. Dari sana, ada keberanian, ketakutan, kegelisahan, ketenangan, rasa pasrah, cemburu, tawa, tangis, dan kebijaksanaan serta ketololan. Hanya dari setangkai itu, telah lahir kisah yang selalu dapat saya ingat. Mungkin juga tidak akan pernah saya lupakan.

Jikapun ada sesal, sesal itu tak akan merubah apa-apa. Bunga itu telah hanyut dalam tangkainya entah pada imajinasi siapa. Saya masih dapat mengingatnya dengan jelas, ketika hujan menandai betapa kita saling membutuhkan. Hujan memberiku airmatanya, dan hujan mengantarkannya padaku sebagai setangkai bunga yang menakjubkan. Angkuh, anggun, namun menyimpan misteri yang menawan.

Jika saya masih mempunyai kesempatan untuk membelai bunga itu lagi, saya ingin menyimpannya erat-erat dalam hati dan kutanam agar benih yang angkuh itu merebak dengan wangi didalam imajinasi. Akan kusiram tanah yang merekah menerimanya sebagai bunga abadi nan puitis. Setidaknya akan kujelmakan ia dengan bahasa yang santun. Tapi pada bulan Mei itu, saya harus merelakannya tercabut dari akar imajinasi saya. Dan mungkin saya masih ingin mengirimkan puisi ini untuk mengingatnya.

Dalam rawan kelopakmu
Kutemukan sabda ratu keindahan
Meskipun angkuh, titahmu pernah menawanku
Dan pada bait sepi, tertulis lirik-lirik sedih
Aku telah kehilangan,
Sebuah melankoli kokohnya setangkaimu
Dari kata menjelma rupa, mewujud frasa takdirku
Pergimu, kuharap bukan tanda baca nihilmu
Aku lelap, dalam hujan yang membelaiku
Pada bau tanah basah,
Mengingatmu merindukan tanah merekah
Tempat disemainya bulir-bulir keanggunan
Setangkai bunga menjelma cinta, Morishcha.

(RA: ‘Setangkai Bunga Morishcha yang Indah’)

Solo, 21 Mei 2010 (02.45)
Agus Raharjo

Mei: Kisah 1

Hari ini, tanggal 12 Mei 2010, pada malam hari, jam menunjuk pukul 23.38, ketika mendengar lantunan nasyid, saya seperti memutar sebuah mesin waktu untuk kembali pada Mei tahun yang lalu. Atau bahkan pada hari, bulan, dan tahun yang lebuh lalu. Ini bukan cerita tentang peristiwa 12 Mei yang menjadi tonggak kepahlawanan mahasiswa menggulingkan rezim Orba. Yang tadi siang ketika saya lihat di televisi, tengah dilangsungkan upacara peringatan gugurnya mahasiswa Trisakti pada 12 Mei, 12 tahun yang lalu. Tapi ini adalah cerita yang mungkin saja tak layak untuk diceritakan pada orang banyak. Tapi kelak, saya ingin menulisnya lebih lengkap. Minimal untuk saya kenang sendiri.

Ketika saya mendengarkan lantunan lagu berlirik Islami, saya teringat dengan teman-teman saya dulu. Teman-teman yang ikut andil dalam proses mencari siapa diri ini. Teman-teman yang senantiasa kuingat dengan kerinduan yang sungguh. Teman-teman yang membantuku untuk mengenalkan nuansa Islami yang bisa jadi saya dambakan sejak dulu. Karena baru ketika saya menginjakkan kaki di kampus tercinta ini, saya benar-benar baru mulai mengenal sebuah keyakinan yang seharusnya sejak kecil saya yakini. Entah kenapa, ketika saya mendengarkan lagu nasyid, ingatan saya membawa pada memori tentang banyak hal. Perihal yang dalam hati kecil sangat saya rindukan, keberadaan dan peristiwanya. Seolah saya ingin mengulang peristiwa itu berkali-kali.
Ingatan saya pertama tertuju pada sebuah peristiwa ketika saat itu saya yang berada di masjid Nurul Huda, mengambil keputusan untuk ikut FRAKSI (saat itu dengan keterlaluan niat saya hanya pada sisi ekonomi, yaitu dengan duit 10 ribu, saya bisa hidup tiga hari dan nambah ilmu). Tapi dari kegiatan itu, saya dapat menitikkan airmata, ketika saya dan teman-teman melihat sebuah film dokumenter tentang kekerasan dan penindasan yang dialami oleh rakyat Palestina. Saya melihat adanya ketidakadilan dan kekejaman disana.

Peristiwa kedua adalah peristiwa yang nantinya akan melatih saya bertanggungjawab pada orang lain. Yaitu ketika malam-malam, saya dan sepuluh orang teman saya ada di hik di gerbang belakang kampus UNS. Saat itu, sebelas orang beserta saya ketika itu tengah mendiskusikan pembentukan sebuah forum yang dapat mempererat hubungan persaudaraan kita, dan teman-teman muslim angkatan 2004 di Fisip. Maka malam itu, lahirlah FORMMAT (Forum Mahasiswa Muslim Dua Ribu Empat), dan saya ditunjuk sebagai koordinatornya. Maka setelah itu, ketika kita diskusikan dengan perwakilan muslimah di Fisip, maka lahirnlah FORSA (Formmat+Sahabat). Sahabat adalah forum dari muslimah atau akhwat 2004.

Maka sejak saat itulah saya seperti mempunyai tanggungjawab lebih pada keberlangsungan forum ini. Walaupun hingga sekarang ini, saya merasa tidak bisa sepenuhnya memenuhi semua beban itu. Terlebih ketika saya berada di penghujung masa kuliah sekarang ini. Saya pun tidak mengetahui, apa yang ada di pikiran teman-teman saya sekarang tentang FORSA. Saya masih ingin mempertahankan teman-teman dan forum ini, sampai kelak saya tak lagi mengenal mereka dalam kematian.

Lalu, banyak peristiwa silih berganti datang, baik suka maupun duka. Tentang lika-liku saya ada di Lembaga Kegiatan Islam, tentang saya yang masuk dalam barisan perjuangan politik BEM FISIP, atau tentang cerita-cerita saat saya harus ikut syuro’. Ah, cerita itu sungguh sangat indah untuk dikenang. Saya selalu dapat mengenang itu, karena saat itu meskipun saya harus berjalan tidak dekat untuk mencapai tempat syuro, tapi saya selalu menyukainya. Dalam hati saya selalu berpikir, suatu saat, apa yang saya lakukan itu akan membawa kebaikan pada diri saya. Dan apa yang ingin saya perjuangkan bukan menjadi sebuah hal yang sia-sia. Saya yakin itu. Dan tanpa terasa saya ada di BEM FISIP selama tiga tahun berturut-turut. Dari tahun pertama saya jadi staf Sosial Mayarakat, staf POSDM (karena menterinya Mbak Tika menikah 3 bulan sebelum kepengurusan habis, maka ditahun itu juga saya menggantikannya sebgai Menteri POSDM), lalu benar-benar menjadi menteri POSDM di FISIP. Tahun pertama ikut BEM saya tenang-tenang saja dan terbuka bahwa saya ikut BEM. Tapi untuk tahun kedua dan seterusnya nanti saya tidak memberitahukan hal itu pada keluarga. Saya hanya ingin menjalani apa yang menjadi keinginan saya, meskipun hal itu membuat saya tidak tenang dan merasa was-was.

Lalu tahun keempat, karena suatu hal (Menteri sebenarnya mengalami musibah), maka saya diminta bergabung dalam barisan BEM UNS sebagai Menteri PSDM (menggantikan menteri yang kena musibah), yang niatnya sementara akhirnya sampai pada penghujung kepengurusan. Saya tidak pernah menyesali kalau saya hanya menjadi pengganti saja. Mungkin dengan begitulah Allah membuat jalan yang memang harus saya lalui. Karena dari sanalah, saya mengenal orang-orang hebat dengan idealisme yang hebat pula (walaupun sekarang saya tidak tahu pasti apakah idealisme itu masih ada pada mereka. Semoga masih!).

Dan lagu nasyid itulah yang membuat saya menjadi teringat dengan mereka semua. Ada satu lagu yang hingga saat ini membuatku bertahan pada satu ingatan yang kuat dan membuat saya selalu ingin menangis ketika mendengarnya. Lagu itu, pertama kali saya dengar adalah di tahun kedua kuliah (yang saat itu saya belum berminat untuk mendengar lagu nasyid), tapi dua tahun setelah itu baru saya tahu judul dan belajar menyanyikannya. Lagu itu judulnya “Ainaul Mardiyah”. Ah, kalau saya mendengarnya, rasanya saya ingin menitikkan airmata. Mengingatkan saya pada yang hingga kini masih tak pernah pergi dari ingatan. Perihal itulah yang membuat saya hingga sekarang merasa punya penopang ketika jatuh, dan memberi embun ketika ada gersang. Saya ingin dapat mengingat hal ini selamanya. Bahkan mungkin dalam kematian.

Terima kasih telah membuatku seperti ini. Terima kasih untuk semua kejujuran, kelembutan, kekerasan jiwa, keteguhan prinsip, senyuman, amarah, kedewasaan, kekanak-kanakan, dan semua yang sangat pantas untuk dikenang. Suatu saat nanti, saya ingin kita semua berkumpul dalam setiap kenangan yang pernah kita buat bersama. FORSA, LKI FISIP, POSDM BEM FISIP, PSDM BEM UNS, dan semuanya. Saya benar-benar merindukan kalian.

Sekadar melantukan tulisan ini tadi malam, di pagi hari, seusai sholat shubuh dan menekuri ayat-ayat suci, rasanya saya ingin mengirimkan puisi untuk kalian. Meskipun tidak seindah lantunan kata Sapardi, atau semistis Chairil, setidaknya saya menuliskan kata-kata ini dengan goresan sedih yang kelam.

Ingatanku padamu,
Bukan pada akhir perjalanan kita
Yang kini semakin kita resapi sabdaNYA,
Tapi pada perjalanan itu sendiri, yang ada percakapan kita
Mungkin kita berada di ruang berbeda
Lagu dan baju jirah yang berlainan
Tapi kita ada dirumah yang sama
Tempat meneduh dan menyulam mimpi
Menikmati dari lelap yang angkuh,
Selepas peperangan dalam medan nafsu dan keyakinan.
Ingatan itu,
Membuat kita saling kenang
Pernah pada ketika sering berjabat tangan,
Dan senyum seusai salam
Kemudian ayat-ayat yang kita lantunkan
Adalah embun di padang gersang
Ah…betapa indah ingatan itu,
Betapa patut untuk dikenang.


Solo, 12-13 Mei 2010
Agus Raharjo