Senin, 28 Februari 2011

Maaf, dan Selamat Jalan!

Pada suatu waktu, rumah saya kedatangan ‘keluarga’ baru. Dua ekor. Satu warnanya hitam dengan sedikit corak coklat, dan satu lagi warna putih dengan totol warna hitam. Sosok itu tak lain adalah dua ekor anjing. Saya sengaja memberi tanda petik pada kata keluarga bukan tanpa sebab. Saya ingin memberi tekanan pada kata itu. Alasannya adalah waktu itu, saya terpaksa menerima kehadiran dua anggota keluarga baru itu.

Saya memang terpaksa menerima kedatangan dua anggota keluarga baru itu, dengan beberapa alasan. Yang pertama, jelas, saya sebagai seorang muslim menghindari berinteraksi dengan anjing, karena air liur dari anjing yang dapat menyebabkan najis. Karena sepengetahuan saya, air liur anjing mengandung bakteri yang berbahaya bagi manusia. Meskipun itu hanya alasan logis yang belum dapat saya terima sepenuhnya, karena kita juga tidak mengharamkan air liur Komodo yang nyata-nyata banyak sekali kandungan bakterinya. Akan tetapi alasan keyakinanlah yang lebih besar.

Alasan kedua adalah, saya meragukan nasib dua anjing yang datang kerumah itu. Akan seperti apa nantinya mereka kedepannya. Dan catatan saya ini, adalah arah dari nasib kedua keluarga baru tersebut. Kisahnya seperti ini:

Dari kedua anjing itu, sebut saja yang jantan namanya Kampret, dan betina saya panggil Pini. Pini telah melahirkan anak kecil-kecil yang lucu-lucu. dari 4 anaknya, 2 diminta oleh saudara, jadi hanya tinggal 2 di rumah. Yang satu warnanya seperti Kampret, dan yang satu seperti Pini. Dari dua anak anjing ini, yang mirip Pini waktu kecil menderita lumpuh. Dia tidak bisa lari-lari seperti saudaranya. Saya merasa iba padanya, maka ketika saya dirumah, saya yang biasa memberi makan dan menemaninya. Hal itu terjadi sampai akhirnya dia bisa berjalan dan berlari lagi.

Ketika dia bisa berlari-lari, saudaranya yang mirip dengan Kampret telah pergi dari rumah dan tak pernah kembali. Maka kami menyebutnya ‘hilang’. Alhasil, hanya tinggal tiga ekor. Beberapa waktu setelah anak anjing itu ‘hilang’, ternyata Kampret juga dinyatakan hilang, karena keluar tapi tak pernah kembali pulang. Pada akhirnya tinggalah dua anjing yang memiliki warna dan kesetiaan yang begitu hebat. Karena dua anjing ini ternyata yang selalu kembali ketika letih keluar.

Pini dan anaknya, saya kira tipe-tipe anjing pemburu. Saya melihat tipikal dari posturnya yang kecil kurus, tapi gesit dan kebiasaan anjing itu yang suka membawa ayam mati ketika pulang dari keluar. Terlebih Pini. Saya tidak heran karena pernah melihat anjing yang tipikalnya sama dengan anjing itu di acara televisi yang digunakan untuk berburu babi hutan.

Entah mengapa kedua anjing ini juga sangat setia, terlebih anaknya Pini, terhadap saya. Bisa jadi dia masih mengingat bahwa yang merawatnya di waktu lumpuh adalah saya. Namun, catatan ini adalah ungkapan maaf yang mungkin tak akan pernah sampai. Saya begitu bodoh dan mungkin lebih hida dari dia. Saya tak akan marah, kalau dikatakan seperti itu. Ketika mengingat kejadian di suatu pagi itupun saya merasa menyesal dan selalu ingin menangis.

Pada pagi itu, ketika saya pulang dari Jakarta, saya mendengar bahwa Pini dan anaknya akan dijual. Sebelumnya saya sempat tidak percaya, akan tetapi hal itu ternyata kabar yang benar-benar terjadi. Pagi itu, datanglah seorang yang bernama Jenal. Laki-laki itu mungkin masih jadi satu-satunya penjual sate anjing di daerah saya. Lalu tawar menawar tentang harga dimulai. Saat itulah, saya benar-benar ingin marah dan ingin memaki orang-orang yang ada dirumah. Ketika saya tanya, kenapa anjingnya mau dijual, alasannya sungguh tidak bijaksana sama sekali. “Karena anjingnya suka menerkam ayam!”

Sungguh, siapa sebenarnya yang tidak bermoral? Anjing yang berkelakuan sesuai naluri atau manusia yang menuntut anjing berkelakuan seperti manusia?! Bagi saya sungguh tidak bijak ketika menuduh seekor anjing ‘cluthak’ ketika menerkam ayam. Karena justru itulah naluri dasarnya sebagai seekor anjing pemakan daging!

Waktu itu, anaknya Pini yang akhirnya disepakati dijual. Saya sudah tidak bisa berpikir jernih ketika itu, yang saya lakukan sesegera mungkin adalah pergi dari rumah. Saat itu saya piker apa yang dilakukan orang-orang di rumah saya sungguh keterlaluan. Kesetiaan dibayar dengan pengkhianatan. Itulah yang ada dalam kepala saya. Rasanya saya tidak ingin kembali lagi kerumah itu, atau pulang.

Pada saat anaknya Pini—saya sebut Pini kecil—akan ditangkap, orang-orang rumah kesulitan. Pini kecil selalu mendekat ke saya. Lalu ibu saya yang waktu itu juga ingin menangkapnya memerintahkan saya untuk menangkapnya. Saya, yang saat itu menahan air mata, menjawab dengan kata “Rasudi!” yang memang kasar. Tapi, itu adalah ungkapan emosi saya atas apa yang terjadi. Setelah itu saya yang rencananya akan ke Solo siang, saat itu juga berangkat ke Solo. Saya tidak sanggup katika harus melihat apa yang akan terjadi dnegan Pini Kecil. Karena saya membayangkan Pini Kecil akan dibunuh dengan cara yang paling biadab, seperti oaring membunuh anjing pada umumnya untuk dijadikan sate.

Untuk Pini Kecil, maaf saya juga menjadi seorang pengkhianat karena tidak bisa menolongmu. Saya benar-benar menyesal tidak bisa menolongmu. Ketika mengingatmu, saya teringat dengan sebuah cerpen karya Martin Aleida, “Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh”. Sebuah contoh manusia bisa lebih rakus dan biadab dari seekor anjing. Sama seperti apa yang dikatakan Martin Aleida, “Mati Baik-baik, Kawan!”

Maaf, dan selamat jalan!

27 februari 2011
agus raharjo