Rabu, 30 Maret 2011

Surat untuk Cinta #7: ‘Dari Ayah untuk Bunda’

Selamat bertemu kembali, Cinta…
Dan selamat datang untuk hidup baru bersama…

Semoga hari-harimu yang lalu tak seperti hari ini yang terasa murung. Hari ini, menjadi hari yang sedikit ganjil. Hari yang harusnya membuka kisah kita dengan kalimat-kalimat gembira, justru mendung menahannya menjadi kata-kata gelisah. Untuk satu waktu yang kita selami maknanya—setelah bersama. Pada ruang yang kita coba urai maknanya—seusai merapat. Kalau kata Dee,”karena ada jarak kita mendekat”. Itulah kita saat ini, Cinta…

Kita yang telah lama memendam duka, kita yang semakin rajin memilin kisah dengan diam-diam. Akhirnya apa yang kita harap datang, akan datang sebagai anugerah paling indah bagi kedua kita. Jangan lupa kita pernah membuka waktu secara perlahan, dan sabar. Kita sesekali menggeser jarak dalam ruang, hingga akhirnya aku panggil kau, Cinta…

Cinta…
Apakah hari ini kau masih merinduiku? Seolah bertanya apakah kita menjadi manusia biasa yang akan lelah dan menjadi bosan? Bosan pada cerita-cerita indah yang makin lama menjadi hal biasa. Bosan pada kata-kata mesra yang akhirnya menjadi kalimat berakhiran titik saja. Atau bosan pada ungkapan cinta yang bagimu hanyalah suara tak mesra? Jika mulai lelah, dekapkan dirimu pada pelukanku, sandarkan hatimu pada cerita tentang betapa beratnya jalan yang pernah kita lalui. Aku bukan malam, dan kau bukan siang yang tak akan pernah bertemu. Kau juga bukan bintang, sedang aku bukan bulan, yang mengenal waktu menemanimu.

Cinta…
Jika memikirkannya, aku tahu hatiku terlalu kecil untuk menampung perasaanku padamu. Bukan hanya kecil, hatiku hanya ada satu, dan itu telah kutitipkan padamu. Maka jagalah ia selayaknya kau jaga hatimu sendiri. Aku telah berpaut denganmu, kau telah mengikat denganku. Tak lebih jika sebentar lagi kita bernama ‘ayah dan bunda’. Kedua kata itu seakan mengusik keadaan yang paling nyaman untuk minta didengarkan. Akan ada ayah bagi lahirnya idealisme yang tak akan mati. Juga bunda untuk melindungi segala yang kau kandung.

Mari, Cinta…atau mari bunda… kita lahirkan kisah-kisah yang terkenang sepanjang sejarah. Kita bangun impian dengan penerus-penerus yang mampu berpikir, bertindak dan tak lupa berdoa. Ia adalah benih, yang lahir dari getirnya laju waktu membuktikan cinta, maka tiupkan nafas hidup bagi sesamanya. Ia adalah awal dari kisah sejarah tentang kita. Maka bahagialah kita dalam masa yang tak akan kita lupa.

Bunda…
Ah, sapaan itu terasa membuatku nyeri. Begitu lembut dan sarat melankoli. Ada ruang-ruang manja yang mengisinya. Apakah kau suka dengan itu? Panggilan yang bagitu, ternyata membuktikan tingkatan yang lebih tinggi dari sekadar cinta. Karena dia melahirkan buah dari cinta. Sedang cinta hanya menjelma tindakan.

Bunda, hari ini kau terlihat begitu cantik—meskipun biasanya memang kau cantik. Tapi hari ini, setelah masa yang sudah lalu, kau membuatku merasa menjadi seorang ayah yang tak lagi mencerna frasa-frasa duka. Ayah yang tak lagi mengungkit bait-bait sakit. Terkadang juga harus berbisik lirih pada perih. Ayah telah menjadi seorang yang siap untuk membaca kisah yang akan jadi sejarah. Karena ada jarak kita mendekat…

Bunda… kau adalah jelmaan Cinta dari segala cinta yang kupunya, aku adalah puisi sebagai hadiah keberadaanmu. Semoga selalu jadi puisi paling indah untukmu, juga buah cinta yang akan ikut meramaikan dunia. Aku sadar adanya sabda bahwa lahirku memang untukmu. Karena aku sayang kau, Cinta.
Terlebih, aku cinta kau, Bunda…


31 Maret 2011
Agus Raharjo