Jumat, 15 April 2011

Monas




Proklamasi

Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia, hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan, dan lain-lain, diselenggarakan, dengan cara dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 1945
Atas nama bangsa Idonesia

Seokarno-Hatta


Naskah proklamasi tersebut dibaca Ir. Soekarno. Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, dan menandai tonggak lahirnya negara kepulauan bernama Indonesia. Ir. Soekarno kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia pertama, dan Hatta menjadi wakilnya.

Saya mendengar naskah itu langsung dibaca oleh Ir. Soekarno, meskipun hanya lewat rekaman. Pada tanggal 5 Februari 2011 di Monumen Nasional, Monas. Saya tertegun mendengarnya, meskipun tidak melihat sosok Soekarno secara langsung. Terasa ada yang bergetar dalam dada saya. Mungkin karena saya mengingat momentum sejarah dimulainya kisah tentang bangsa Indonesia. Dan saat ini, telah hampir 66 tahun usia Indonesia sejak saat itu.

Monas, menjadi salah satu bangunan penanda yang begitu monumental. Didalamnya, kita dapat melihat diorama perjalanan sejarah bangsa Indonesia—meskipun tak lengkap. Dan yang pasti, ia menjadi tonggak yang tetap kokoh menjadi identitas Indonesia, terutama Jakarta. Biarpun udara Jakarta semakin berpolusi, sinar matahari semakin menyengat, dan sampah bertebaran, Monas seolah menopang Ibukota.

Pada hari itu, saya tak sempat melihat lanskap kota Jakarta dari puncak Monas. Kabarnya, kalau ingin dapat sampai puncak Monas, kita harus datang sebelum jam 9 pagi. Saat itu saya memang datang terlalu siang. Hampir setiap hari, antrian selalu ada untuk naik puncak Monas menggunakan lift. Meskipun tak sempat melihat lanskap Ibukota, saya cukup senang ketika telah mengunjungi Monas.

Monas, menjadi miniatur tonggak berdirinya republik Indonesia, maka tak heran dekat dengan sejarah. Ketika monas dibangun, sejarah mengikutinya menjadi sebuah identitas yang terekam dalam bangunan tegak menjulang dengan puncak yang berlapis emas. Monas, seolah menjadi satu tiang pancang yang mengingatkan kita pada bersatunya berbagai suku, ras dan agama atas nama bangsa Indonesia. Beribu-ribu pulau, berjuta-juta manusia menjadi sebuah identitas satu, negara Indonesia. Dan semuanya, tersimpan rapi dalam sejarah menjelma Monas.

Bagi saya, ketika melihat sejarah seolah mendengarkan kakek bercerita tentang masa lalunya—meskipun hanya dalam khayalan, karena saya tidak pernah mendengar kakek bercerita atau mendongeng. Dari sanalah masa lalu saya, asal muasal saya. Dan dari sanalah saya mengerti siapa saya. Sejarah menjadi dasar identitas yang melekat dalam diri saya. Sebagai orang Indonesia. Maka tidak salah ketika padamu negeri kami berbakti, padamu negeri kami berjanji, padamu negeri kami mengabdi, dan bagimu negeri jiwa raga kami....

Itulah sepenggal tentang Monas yang tak mungkin lengkap.

***


Tanggal 5 februari 2011. Berawal pada ketika pernah berjanji. Maka pada hari itu, tepatnya hari sabtu. Pagi-pagi dada saya telah berdebar-debar. Nanti, saya akan meakukan hal yang bagi saya sungguh dramatis. Darah saya akan diambil. Maka seperti yang telah direncanakan, saya berangkat menemui seseorang. Lalu berangkat menuju sebuh tempat yang sangat asing bagi saya. Palang Merah Indonesia. Letaknya di daerah Senen. Dua kali saya harus ganti busway untuk sampai ke tempat itu.

Saya tidak tahu telah melewati apa saja. Saya seperti orang yang akan disunat kembali—bahkan lebih mengerikan. Ada semacam rasa takut, tapi tidak ada kelegaan setelahnya. Yang dapat saya ingat hanya Monumen Nasional, disebabkan oleh suatu janji juga. Jadi akhirnya sampai juga saya ke PMI. Saya mengambil formulir pendaftaran dengan gugup, lalu mengisi kotak-kotak kosong dengan tulisan sesuai dengan petunjuknya.

Seorang ibu bertanya pada saya, yang lebih saya rasakan seperti sebuah hal yang wajar, apakah itu pertama kalinya saya donor darah. Saya jawab dengan perasaan yang takut, iya.

Lalu, tibalah waktunya jarum ditusukkan di lengan sebalah kiri saya. Rasanya seperti yang telah saya bayangkan sebelumnya, ada rasa nyeri yang meggesek-gesek daging saya. Bagi saya bukan masalah rasa sakit, tapi lebih pada rasa geli dan nyeri yang mungkin saya takutkan karena merasa ada benda asing dalam tubuh saya.

Itulah pertama kali saya mendonorkan darah. Sebelumnya, tak pernah ada keinginan sama sekali untuk donor darah. Alasannya bukan karena rasa sakit, tapi semacam rasa geli dan terganggu dengan benda atau semacamnya yang menempel di kulit dan menghisap darah saya. Saya persembahkan donor darah itu pada seseorang yang sangat berarti bagi saya. Donor darah itu akan jadi sebuah pemberian paling istimewa untuk hari yang istimewa buatnya.

Hari itu, bukan hanya jadi hari istimewa untuknya, tetap juga untuk saya. Alasan sebuah janji juga akhirnya dia menemani saya berkunjung ke Monas. Sejak sebelum menginjakkan kaki di Ibukota saya memang telah berniat untuk mengunjungi Monas. Saya ingin menikmati sensasi mengingat sejarah tentang Indonesia. Lalu juga kenyamanan bersama orang yang menemani saya.

Kami berfoto, jalan-jalan, mendengarkan Presiden Soekarno membaca naskah proklamasi, dan makan bersama. Benar-benar hari yang istimewa untuk kami. Tapi masih belum lengkap.suatau hari nanti, kesemuanya itu akan lengkap, dan kami akan benar-benar merasa sempurna seutuhnya menikmati hari yang istimewa. Seperti hari itu. Iyakan? Na....


2011
Agus Raharjo