Kamis, 05 Juli 2012

Rumah dan Satu Peristiwa di Waktu Sahur


Pagi-pagi, Ibu membangunkanku, juga seluruh saudaraku. Hari masih gelap. Diantara pukul 02.30 hingga 03.00 Waktu Indonesia bagian Klaten. Beberapa saat kemudian, radio kecil hiburan kami yang paling mewah menyala. Seorang ulama dengan suara khasnya lalu sayup memenuhi ruangan tempat makan. Suara ulama yang sering menyebut kata “betul” dengan nada yang tak kalah khasnya. Bukan ruang makan, karena kami tak memiliki itu. Tak ada meja makan, juga tak ada piring ditata rapi agar meja disebut meja makan.

Lalu, Ibu yang sudah bangun lebih dahulu. Biasanya satu jam sebelum kami dibangunkan, masih menyiapkan nasi atau lauk untuk kami semua. Yang paling saya ingat, telur dadar di piring itu dipotong sesuai jumlah kami yang akan makan sahur. Kenapa tidak memilih di goreng telur mata sapi atau telur? Karena memang tidak ada pilihan itu. Dua butir telur sengaja digoreng dadar agar semua kebagian untuk memakannya. Irisan-irisan telur yang kadang saya rindukan setelah 15 tahun berlalu.

Saya sangat ingat, disaat kami saling berebut untuk mengambil telur pertama kali. Sebab, yang pertama memiliki kesempatan paling besar untuk memilih irisan terbesar telur dadar yang kadang dicampur dengan irisan bawang merah dan cabai. Selanjutnya, mengelilingi suara radio, kami makan sahur tanpa Ibu dan Bapak. Ibu dan Bapak hanya menyiapkan makan sahur untuk kami. Meskipun kami ingin mereka ikut makan sahur dengan kami, tapi kehidupan demokrasi dan kebebasan yang tertanam secara tak sengaja di keluarga kami, membuat kami (ketujuh anak Ibu-Bapak) tidak pernah mempermasalahkan hal itu.

Secuil peristiwa itu adalah rutinitas yang terjadi di bulan Ramadhan, saat 9 anggota keluarga masih berkumpul 15 tahun lalu. Di sebuah tempat yang selalu kami rindukan untuk kembali. Sebuah tempat yang disebut rumah bagi sebuah keluarga besar Suranto Martowardoyo. Saat ini, rumah itu sudah lain. Peristiwa makan sahur di bulan Ramadhan sudah tak ada lagi seperti waktu aku kecil dulu. Waktu itu, kami masih berkumpul, lengkap. Sampai Lebaranpun, kami tetap berkumpul. Tapi saat ini, dan mungkin Ramadhan yang kurang sebulan lagi datang, sebagian kami ada di tempat yang jauh.

Bisa jadi rumah itu sepi. Sulung Ibu, saat ini masih berjuang dan berusaha mewujudkan impian di negeri nun jauh disana, Jerman. Kakak kedua, meskipun lebih dekat, tapi juga berusaha membangun rumah impian untuk keluarganya. Entah di Klaten atau di Ciamis. Aku sendiri, bahkan tahun lalu tidak dapat berkumpul saat Ramadhan dan Lebaran. Aku sedang berjuang membangun apa yang pernah aku impikan. Kedua adik perempuanku, saat ini lebih banyak tinggal di kota tempat mereka merancang masa depan, Yogyakarta. Praktis, hanya kakak perempuan dan adik laki-lakiku yang setia menjaga rumah. Menjaga Ibu dan Bapak. Semoga tetap menjaga suasana tenteram disana.

Kami, pergi untuk selalu kembali. Itulah yang selalu tertanam di pikiranku. Kembali pada keluarga, kembali untuk keluarga, dan kembali ke rumah. Meskipun, saat Ahmad Albar menyanyi, rumahku ‘hanya bilik bambu, tempat tinggal kita, tanpa hiasan tanpa lukisan, beratap jerami beralaskan tanah’, namun itu rumah kami.

Rumah yang senantiasa terbawa selalu dalam perjalanan kami. Sejauh apapun itu, rumah selalu ada di hati kami. Juga seisinya. Kadang tawa, tangis, diam, sunyi, keluh, peluh, marah, pertengkaran. Namun kami mengerti, kami lahir dalam keadaan yang kami syukuri saat ini. Bersama rumah itu, Ibu-Bapak, Kakak-Adik, aku mengerti, aku lahir di sana bukan tanpa alasan. Aku mengerti arti hidup sesungguhnya, arti menghargai pendapat, belajar bijaksana bukan hanya berpijak pada satu sudut pandang, dan arti kebahagiaan itu seperti apa.

Dulu, pertama kali aku ‘pergi’, dalam hati aku berjanji, tak akan pulang sebelum sukses. Akhirnya, sukses itu bukan soal kaya raya. Bukan soal aku punya jabatan tinggi, punya banyak uang. Tapi aku mengerti aku merindukan mereka semua, Ibu-Bapak, kakak-adik, dan rumahku di ‘56’. Ramadhan tahun ini, sepertinya ada kekuatiran tidak dapat pulang lagi. Meskipun pulang, semua akan terasa lain. Tanpa ketiga kakakku dengan keluarganya, tanpa ketiga adikku dengan kenakalannya. Ah, semua begitu indah untuk dibayangkan. Terlebih banyak anggota baru yang akan meramaikan rumah kami. Aku rindu keramaian itu. Gelak tawa diantara canda-canda. Suara jengkel karena digoda. Aku rindu makan sahur dengan suasana sama seperti lima belas tahun lalu.

Untuk semua orang yang kusayangi disana, baik-baik kalian. Jaga baik tempat pulang itu, dan akan kurawat jalan pulang ini. Untuk semua yang tengah berjuang di tempat yang jauh, juga baik-baik disana. Rumah selalu menunggu untuk jadi tempat pulang. Meskipun bukan di Ramadhan ini, mungkin juga di Lebaran nanti. Tapi kita diikat oleh kisah yang besar. Kisah untuk bangkit karena rumah kita adalah rumah impian. Rumah semangat. Rumah perjuangan. Kita adalah keluarga besar. Ibu-Bapakku orang besar. Dari mereka lahirlah tujuh orang besar. Waktu selalu bergerak maju, tapi sejarah menyimpan kisah itu dalam buku kenangan. Rumahku dan juga Ramadhanku. Satu peristiwa di waktu sahur. Waktu itu.

Surabaya, 5 Juli 2012
Agus Raharjo