Selasa, 01 Oktober 2013

Surat untuk Cinta #8



Semacam ada hembusan, ia menerka
Mungkin aku yang terlalu lupa, Cinta
Seperti sebuah panggilan, ia meraba
Mungkin aku tak pernah mengerti, Cinta

Selamat bertemu kembali, Cinta. Sudah sekian lama kukira aku tak menyapamu. Apakah kau baik-baik disana? Aku seperti bertanya pada diriku sendiri soal itu. Sebab aku lupa. Mungkin saja kita telah menemukan bahagia, sampai akhirnya lupa. Bukan manusia sempurna, sejatinya. Lupa adalah nikmat juga. Tapi jangan sampai lupa pada diri kita sendiri.

Cinta, tentang lupa, ada yang hendak melawannya. Mereka, kalau kau tahu, adalah orang-orang yang sangat dekat dengan masa lalu. Masa lalu seperti sebuah panggilan yang sangat akrab. Serasa berbisik. Ada orang-orang yang senantiasa melawan lupa, untuk keadilan mungkin. Apakah kau berpikir untuk ikut melawan lupa, Cinta? Sebab akupun berpikiran demikian. Sebuah siklus hidupku seolah mengajakku melihat kembali apa yang pernah aku alami dimasa lalu. Kenangan-kenangan, isak tangis, tawa canda, juga repihan potret kebersamaan bersama orang-orang yang sejak kecil membersamai kita.

Mungkin ada yang menyebut ini sebuah kerinduan. Tapi buatku ini seperti mengulang siklus hidupku sendiri. Seperti kembali memutar rol film usang di sebuah bioskop tua. Atau barangkali layar tancap di lapangan, yang pernah kita saksikan keelokannya dimasa itu. Putaran-putaran kenangan itu membuatku ingin menangis, Cinta. Aku ingin bersama mereka, bersama orang-orang yang telah membawaku pada usia yang cukup matang ini. Entahlah, ada semacam ketakutan aku akan melupakan mereka. Benar-benar lupa.

Bagaimana denganmu, Cinta? Apakah kau pernah merasakannya? Menjadi melankoli karena memutar kembali kisah-kisah di saat kita bahkan belum berpikir untuk menjadi seperti sekarang ini. Ini adalah perlawananku terhadap lupa. Seperti juga aku takut dilupakan. Kau tahu? Aku ingin sekali menyematkan namaku pada anak kita nanti. Aku ingin namaku selalu digunakan pada seluruh keturunan kita. Bahkan disinipun aku tak ingin kalah dari lupa. Di suatu masa nanti, sebuah generasi akan mengenang nama kita sebagai orang-orang berbuat. Orang-orang hebat yang lahir dari orang tua kita yang juga hebat. Jauh dari dalam lubuk hati aku bangga dilahirkan dari orang tua yang hebat di keluarga ini, Cinta. Sangat bangga sampai air mataku tak tertahan jika mengingatnya. Aku ingin suatu waktu nanti, kita dikenang seperti aku mengenang mereka.

Pada malam yang terus berlalu ini, aku melihatmu sedang menidurkan anak kita. Anak perjuangan. Dari sini, kudengar rengekan buah hati kita seraya meminta susu. Air kehidupan yang kelak rasanya juga akan dilupakan. Tapi dia tak akan pernah lupa pada gendongan bundanya. Yang dia kenal bukan susu, tapi aroma tubuh seorang ibu. Anak perjuangan kita akan besar dengan Indonesia, Cinta. Aku ingin, dia tak akan lupa dengan nenek moyangnya. Dengan bangsa dan tanah airnya. Banggalah, Cinta. Kita dilahirkan di negeri kaya yang ramah pada masyarakatnya. Hanya saja saat ini kau akan susah menemukannya, Indonesia. Karena ini sedang bermain dengan anak kita. Mereka akan besar bersama-sama. Melawan lupa. Dan pada saat ini, yang kuingat hanya kalian, kau, buah hati kita dan Indonesia. Kita akan berjuang bersama-sama. Kita akan mendengar kembali suara burung-burung yang terbang bebas sembari berkicau sesuka hati. Kita akan melihat kembali jernih air yang mengalir di sungai samping rumah kita. Ikan-ikan yang ingin dipancing, serta padi-padi yang telah menguning.

Jakarta, 2 Oktober 2013