Senin, 24 November 2014

Menuju 25 November, Cinta

Hari ini, 24 November 2014, kurang dari setengah jam menuju 25 November 2014, aku mulai menulis kembali kepingan peristiwa itu. Hanya dalam 30 menit inilah, usia kami menginjak 3 tahun. Saat itu, 25 November 2011, kami mengikat janji dalam lindungan ayat-ayat Ilahi. Sebuah peristiwa yang akan kami kenang hingga akhir hayat nanti. Saat kuberikan lantunan surat Ar Rahman sebagai bagian dari bukti kecintaan padaNya juga padamu, sosok yang kini telah menjadi Ibu dari anakku. Sebuah perjalanan menuju 25 November yang tersusun dari kepingan-kepingan nasib. Sebab, kata Chairil: Nasib adalah kesunyian masing-masing/ kupilih kau dari yang banyak//. Aku hanya ingin berhenti di bagian ini.

Aku ingin selalu ingat “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Kalimat yang ketika itu jam menunjuk pukul 10 pagi, hari Jum’at, aku ucapkan sebanyak 31 kali saat memintamu jadi pendampingku. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Hingga akhirnya aku menyadari kepingan nasib seperti membawaku padamu, Cinta. Kesunyianku seolah menyembunyikan akhir yang indah agar 25 November 2011 menjadi hari paling indah untuk kita. Kalau kita ingat, betapa menuju hari itu adalah nasib yang akhirnya membuat kita mengakui “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

21 November, ingatkah kau Cinta? Hari masih Senin, aku masih berkutat dengan pekerjaan, meskipun sudah dihantui batuk dan radang tenggorokan. Aku ingat jelas, sebelum meliput pertemuan dua kubu organisasi masyarakat Islam yang berseteru, aku belum sarapan, justru minum obat untuk meredakan batuk dan radang tenggorokan. Apa yang kulakukan dibayar dengan keluarnya seluruh isi perut bahkan disertai diare. Hingga akhirnya aku terlalu lemas untuk beranjak dari kamar kecil Polrestabes Yogyakarta. Beberapa polisi dibantu teman sesama jurnalis akhirnya membopongku. Lalu yang kuingat aku terbangun di sebuah ranjang rumah sakit. Di rumah sakit, aku ditemani rekan kantor, lalu muncullah Teguh dan Mas Nono yang kemudian mengambil alih tugas menjagaku. Saran dokter, aku harus menginap di rumah sakit. Namun kau tahu Cinta, aku selalu tidak menyenangi rumah sakit. Aku memaksakan diri untuk pulang ke kontrakan Condong Catur.

22 November 2011, waktu masih menunjukkan pukul 3 pagi, perutku semakin bergejolak. Sudah tidak ada lagi saudara di kontrakan. Aku menahan sakit pada lambungku selama beberapa jam. Lalu setelah sholat Shubuh, kuhubungi Anas, seorang teman yang juga tinggal di Jogja, memintanya untuk mengantarku ke rumah sakit kembali. Kupilih rumah sakit terdekat. Setelah diperiksa akhirnya aku harus mengalah dan menginap di rumah sakit itu. Selang infus dipasang di tangan kiriku, perawat memberiku makanan bertekstur lembut. Kuhubungi kau Cinta, ingatkah kau? Aku memberimu kabar sedang dirawat di rumah sakit, padahal 25 November di depan mata.
Rabu, 23 November, akhirnya kau datang bersama saudara dari Solo. Memastikan kondisiku tetap terjaga. AKu ingat Cinta, baru sehari menginap di rumah sakit, sudah memaksakan diri untuk segera pulang. Padahal, kau ingat? Dokter bahkan belum membolehkanku pulang. Hari itu, seperti kau menjemputku untuk pulang. Sore itu, sehabis langit mencurahkan gerimisnya, kau mengantarku pulang ke Klaten. Sedangkan kau sendiri melanjutkan perjalanan pulang ke Pati.

Malam hari, rekan kantor di Jogja datang kerumah menjengukku. Waktu itu aku masih ingat atasan mengizinkanku untuk istirahat sampai kondisiku pulih benar. Aku diizinkan kembali kerja hari Senin, 28 November. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Nasib membawakan kemudahan untuk kita menuju 25 November itu.

Kamis, 24 November, aku yang masih dalam perawatan akhirnya menempuh perjalanan 6 jam untuk menuju kotamu, Pati. Tengah malam, bersama rombongan yang disiapkan Bapak Ibu, tiba di Pati. Kau tahu, Cinta, sampai detik itu aku masih gugup untuk menghafal surat Ar Rahman. Meskipun dalam kondisi belum pulih benar, pikiran selalu membawaku pada lantunan surat itu. Ibu beberapa kali menyuruhku beristirahat, mengkhawatirkan kondisiku yang belum pulih benar sudah menempuh perjalanan jauh tapi tetap tak bisa memejamkan mata. Sembari terus menghafal, aku berusaha memaksakan diri untuk memejamkan mata meskipun sejenak. Sampai pagi menjelang, tidurku tidak nyenyak. Sebab, hari sudah mulai menunjukkan nasib siapakah yang akan diingat hari itu.

Akhirnya mentari menunjukkan bahwa hari itu Jum’at, 25 November 2011. Pagi itu, gerimis masih enggan menuntaskan air untuk Ibu Pertiwi. Bau tanah basah, kicau burung, suara air mengalir sungai, juga lagu Jawa mengalun dari rumahmu. Satu jam menuju kalimat yang akan membebaskan tanggung jawab orang tuamu terhadapmu. Sebab, mulai detik itu, kau menjadi tanggung jawabku, Cinta. Perjalanan menuju kesunyian untuk kita berdua. Nasib yang akhirnya membawaku pada ikrar untuk berani menanggungmu. Saat dengan fasih aku ucapkan ‘Saya terima nikah dan kawinnya Putri Khoirina Ferikasari binti Hadi Pramono dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!’

Jakarta, 24-25 November 2014
Agus Raharjo